Minggu, 11 Juli 2021

Atypical: Being Normal Doesn't Suit My Way (A Netflix Original Series)

Let me introduce you to someone. His name is Sam. Sam Gardner. In this series titled Atypical, he roles as an 18-year-old on the autism spectrum. Sam makes me wondering, can I have his real existence here?

Source: Instagram.com/atypicalnetflix

One thing: He got me captivated every time he talks. His pupils dilate and his eyebrows go up and down, his lips move fast, his two hands are busy on their own, or sometimes he gonna scratch his tip of back hair with that frown. He will say "Okay" if he allows it and frankly "No" if it doesn't peer his way. What I like the most is that he always be certain with his words, never hesitate at all. He knows for sure what he says: penguin, hippocampus, The Antarctica, college, or... love.

There's no way you can be mad at him no matter how bothersome he is. At least I think I am.

With all respect, the producer had consulted with a professor from UCLA's Center for Autism Research and Treatment, Michelle Dean, for Sam's character (Keir Gilschrist) and how his environment works. So, I think no offense about how these series represent people on the spectrum. 

As an autistic person, Sam kinda "selective", is that the right word? But.. I love it and sort of want it! He only has one best friend, but the real best one, Zahid (Nik Dodani). He got the most loyal girlfriend that he would never expect he could have, Paige (Jenna Boyd). He got the most protective yet know-how-to-have-fun sister, Casey (Brigette Lundy-Paine). And of course, the most supportive parents ever who stay beside him, Elsa and Doug (Jennifer Jason Leigh and Michael Rapaport).

How blessed he is, right? Sam makes me realize that buzz of having many friends, being nice to people, playing with the trends, oh geez. He already has those-albeit-only 5 persons who rained him with endless genuine care and love, what's more to ask? If God let me, I wish I am gonna stay with that five persons kinda like that for the rest of my life.

Fun fact: this series is practically about Sam and The Penguin. Adelie, Chinstrap, Emperor, and Gentoo. The four species of penguins which is also Sam's magic recitation whenever he got stressed. (It's cute tbh!)

Also, there is my favorite line that Sam told about Penguin. "Unlike most animals, the lens of a penguin’s eye changes shape. When it’s on land, it becomes flatter like a human’s. When it’s underwater, it becomes round like a fish. So no matter where a penguin goes, everything it sees is on focus.”

Source: Netflix


Sam devoted himself to Penguin, ever since her mom taught about it when he was a kid. Until in the fourth season, he finally decided what he really wants to do for his life: HE WANTS TO MEET THE PENGUIN AT ANTARCTICA! I'm delighted with that idea become the main plot of Atypical season 4.

Along with that substance, there are many conflicts that happen among Sam's people. Zahid with his understanding-relationship with Sam. Casey with her boyfriend, Evan (Graham Rogers), and her girlfriend, Izzie (Fivel Stewart). I like that love story too. Paige with her career and lovey-dovey-uneasy dating life with Sam. Elsa and Doug, both as parents and as a married couple.

They all are grip important roles for Sam and vice versa. For example, Casey is the frontier for Sam. But so does Sam, as a big brother, he could take care of Casey too, in his not-so-typical-but-sweet way. Or, Elsa as Sam's mom. She doubting him too much, but they will find a compromising point eventually.

Not only between them with Sam, but they also have their encounter each other among them. Paige with Casey, Casey with Elsa, Elsa with Doug, Doug with Izzie, Izzie with her mom, and so on.

Source: Instagram.com/atypicalnetflix
These two dorks are my favorites! Amazing chemistry and hilarious sibling goals!

Those are the intriguing part about Atypical. Though maybe they are very uncommon and quirky, what does it really mean to be normal, anyway?

There is part of me who wants to be admitted as an "atypical" person. Some things about me cannot be explained because I'm not sure you will understand them. And maybe.. to have a relationship, friend, boyfriend, with an atypical person like Sam, I would really love to! That's why I adore this show very much!

Oh, in the last episode, Sam makes me screaming out loud about how he could be a freakin so sweet boyfriend for Paige. He said... "But just because we’re taking a break from being girlfriend and boyfriend doesn’t mean I’ll ever take a break from being in love with you." That was so freakin cute looking at how he developed with this character since the first season.

This is what I said before, to have someone so pure and genuine like people on the spectrum in my life, I might do not want to lose them ever.

Source: Instagram.com/atypicalnetflix
They are jolly!

So, here I am writing this, just want to share the excitement of Atypical with you all. The lines are witty, hilarious, yet so relate. Their acts and mimics, make you laugh yet sob within minutes. The flow and the matters, brought in an entertaining way. With only about 30 minutes of average duration, this show will never get you bored. And the background music just perfectly placed every moment!

Wish you had the same joyous as I am watching this series on Netflix. Gather, Atypicals!

Notes: When I wrote this, I just finished watching the fourth season and didn't rewatch the previous seasons. You will find many more entertaining things than those above. Let's talk about it when you finished it. Reach me at gmail daniahindonesian87@gmail.com or my Instagram @daniahsipidt. Cannot wait to talk about Sam and The Penguins!

Minggu, 04 Juli 2021

Cerita Cerita Jakarta a.k.a The Book of Jakarta (Review Buku)

“Jakarta, kota yang senantiasa bergegas tapi kerap kita rasa tak bergerak kemana pun.” -Catatan Editor Cerita Cerita Jakarta, Teddy W. Kusuma dan Maesy Ang.

Saya benar-benar tertawa saat membacanya. Memang selalu seperti itu, Jakarta dan segala hiruk pikuknya, lampu merah dimana-mana yang selalu membuat saya tak berhenti melihat jam tangan, mata yang perih setiap menghabiskan empat puluh menit perjalanan berangkat dan pulang kantor, memastikan jam berangkat setiap kereta komuter atau transjakarta jangan sampai ketinggalan karena sekali ketinggalan hancur sudah rencanamu seharian, atau bagaimana mengantri obat dan layanan publik yang minimal menghabiskan setengah jam mungkin? Kita semua tahu itu, Jakarta selalu bergegas, kalau tidak kamu akan ketinggalan.

Tapi pada kenyataannya, saya hanya terjebak dalam kota penuh romansa, suka cita, masygul, dan pelik kehidupan ini, yang selalu membuat saya jatuh cinta lagi dan lagi. Jatuh cinta pada setiap sudut tempat pedagang asongan atau tukang ojek mangkal, pada proyek-proyek mangkrak yang entah kapan akan berhasil mengurangi kemacetan Jakarta, pada sudut-sudut kedai romantis di Blok M atau Jalan Sabang, pada gedung-gedung pencakar yang selalu membuat kepala saya mendongak sepanjang Jalan Sudirman, pada setiap halte dan trotoar yang dipenuhi pejalan kaki yang entah kemana tujuan mereka hari itu, hingga pada setiap langit senja atau malam pekat penuh polusi, namun saat bulan purnama atau langit jingga tiba, saya tak pernah berhenti bersyukur pernah menjadi bagian dari kota ini.

Sekali lagi buku atau tulisan tentang Jakarta memang tak pernah mengecewakan. Setelah sebelumnya menggandrungi Affair yang didapuk sebagai obrolan urban homojakartanesis oleh Seno Gumira Ajidarma, semalam saya baru saja menyelesaikan kumpulan cerita pengalaman dari sudut pandang 10 spesies homojakartanesis lainnya.

Dokumen pribadi

Kumpulan cerita dalam Cerita-Cerita Jakarta terasa ditata sedemikian rupa sehingga sejak catatan editor, pilihan cerita pembuka, hingga pilihan cerita penutup, semuanya berhasil mengiringi emosi pembaca dengan sangat tenang sekaligus menyenangkan. Tidak terkesan buru-buru untuk mencapai klimaks, menyebut setiap sudut tempat di Jakarta yang ingin disebutkan, menciptakan apapun tokoh yang ingin diciptakan, memanggil latar peristiwa manapun dan kapanpun yang ingin diungkit, hingga berakhir dengan bagaimanapun ending yang diinginkan. Tanpa peduli dengan bagaimana pembaca akan merespon.

Hal itu saya rasakan pada cerita pembuka. Judulnya saja sudah mengganggu saya sedemikian rupa. B217AN. Ratri Ninditya berhasil membuat saya menikmati setiap kalimatnya tanpa jeda. Ringan dan cukup membuat saya can relate. Namun tiba-tiba di akhir bagian, saya hampir dibuat mengamuk dengan penyelesaiannya yang tak memberi kejelasan. Bahasa kerennya open ending mungkin ya? Tapi lebih tepatnya yang ada di pikiran saya: apakah saya terlalu bodoh masa tidak paham dengan ending ceritanya?

Dokumen Pribadi


Karena tak mau dianggap kalah, saya membaca ulang cerita tersebut, saya telusuri setiap bagian, meski tetap saja saya tak mendapat jawaban. Apalagi judulnya yang saya kira terbaca “Brijan”? Sampai akhirnya saya menyerah dan menelusuri google. Setelah mendapat jawaban atas judul tersebut, saya hanya terkekeh dan merasa benar-benar bodoh. “Berdua Satu Tujuan”. Sesimpel itu bodoh!

Dan setelah mengetahui arti judul tersebut, barulah cerita tersebut mulai terasa logis dalam otak saya.

Kisah-kisah berikutnya diwarnai latar yang sangat bervariasi, dan itu yang saya tunggu! Mulai dari kantor pemerintahan, Jalan Gatot Subroto-yang sehari-hari saya lewati-hingga Senayan, Kampung Melayu Pulo Gebang di Jatinegara, Dunia Fantasi di Taman Impian Jaya Ancol, Taman Ismail Marzuki, Stasiun Pondok Cina dan Margonda City milik Kota Depok, serta Kramat Tunggak dan Pantai Mutiara di Jakarta Utara.

Salah satu cerita favorit saya jatuh kepada Matahari Tenggelam di Utara gubahan Cyntha Hariadi. Sebuah realita persahabatan dua manusia berbeda kelas sosial dalam lingkungan sekolah, dua remaja naif yang baru tahu rasanya melumat bibir manusia dan menjadi ketagihan, dua jiwa yang meskipun sedalam apapun kalian jatuh cinta, kalau sudah ditampar dengan kejamnya dunia, naluri untuk menyelamatkan diri sendiri memang akan selalu menang. Menampik keras sebuah omong kosong “aku rela melakukan apapun demi kamu, meski harus mengorbankan nyawaku.” Tai kucing! Realistis bro realistis, Cyntha berhasil merangkai kenaifan remaja yang kebanyakan ditutup-tutupi oleh anak-anak zaman sekarang dalam cerita ini. Hats off!

Dari dulu saya selalu jatuh cinta dengan tempat-tempat yang menemani saya tumbuh, jatuh cinta, tersandung, dan bangkit lagi. Salah satunya Jakarta, tempat saya tumbuh lima tahun terakhir. Buku ini membuat saya ingin membuat kompilasi cerita sejenis, namun judulnya saya ganti, Cerita-Cerita Bintaro. Ya, secara teknis saya memang hidup di pinggiran Jakarta, Bintaro.

Dokumen Pribadi


Sepuluh cerita yang saya rasa tak akan membosankan mau dibaca berapa kalipun. Menemani masa-masa karantina di ibukota, jauh dari orang tua dan saudara, pun sahabat dan rekan kerja yang juga sedang menyelamatkan dirinya masing-masing. Kalian bisa mengunjungi @post_santa untuk mengantarkan buku ini sampai pada rumah tercinta kalian. Selamat membaca!

 

Jumat, 14 Mei 2021

Perihal Permulaan, Perjalanan, dan Perhentian



Sadar atau tidak, pada setiap kerangka waktu memiliki permulaan, perjalanan, dan perhentian. Pernah sesusah itu untuk memulai? Pernah seberjuang itu untuk mempertahankan? Pernah serumit itu untuk menentukan perhentian? Sepertinya titik-titik tersebut yang menemani sepanjang dua puluh empat jam garis miring tujuh hari dalam hidup.

Kalau diingat, satu tahun silam, tubuh dan pikiran ini pernah penuh gairah mencapai segala obsesi yang sangat ingin diraih. Tahu tidak? Mencari titik mulai itu saja sudah sesukar itu. Kontemplasi yang terjadi benar-benar rumit. Syukurnya, entah mengapa kala itu, seluruh stamina dan lingkungan alam mendukung upaya-upaya yang berusaha keras dimunculkan.

Prajurit energi yang mengawal petualangan pun tak terhitung berapa banyak peperangan yang harus mereka lewati. Terkadang menang, tak jarang pula kalah. Saat itu mayoritas peperangan kami menangkan dan kami berhasil tetap berada pada jalur. Satu tahun lamanya mendaki gunung menuruni lembah, tibalah kami menemukan sang fatamorgana. Pemandangan di mana kami melihat hasil sedikit demi sedikit, namun terlena karena seakan sudah sedekat itu dengan garis finish.

Di tengah perjalanan itulah, kami kalah. Di hadapannya hanya terpampang jalur yang porak poranda. Rintangan terhebat yang tak pernah mereka harapkan: kebebasan. Meski belum mencapai tujuan akhir, pasukan itu memilih untuk berhenti di sini. Katanya ingin merasakan sedikit kebebasan, lelah harus berjuang di jalan lurus melulu. Bukankah mereka berhak untuk merasakan sedikit hingar bingarnya pesta? Padahal mereka tahu, sekali tercebur dalam pesta memabukkan itu, susah sekali untuk keluar dan menemukan tujuan akhir.

Hingga detik ini, sang komandan pikiran masih terombang-ambing. Mereka kelelahan, terlena dalam kebebasan. Sang komandan belum berhasil menyusun puzzle-puzzle yang berhamburan. Jelas, ini bukan titik perhentian, tapi secara teknis, perjuangan yang pernah dimulai itu sudah terhenti di sini. Mereka perlu menyusun rencana kembali untuk mencapai tujuan semula. Dengan lebih rapi, tertata, dan realistis.

Beruntungnya, kali ini tak perlu memulai dari nol, pengalaman selama perjalanan yang lalu menjadi bahan pertimbangan untuk strategi di kesempatan berikutnya.

Dua puluh satu tahun tumbuh bersama otot, tulang, otak, dan jantung ini, terus saja berulang-ulang seperti itu. Mencari garis start, berperang dalam perjalanan, terhenti di garis finish, entah dengan selamat atau alamat. Satu yang selalu menjadi pengingat: mulai saja, jalani sesuai rencana, jangan berhenti hingga tujuan tercapai. Hahaha, izinkan saya tertawa, mudah diucapkan, namanya juga pengingat.

Eh, tapi rasanya ada yang janggal. Mengapa untuk memulai rasa jatuh padamu semudah itu? Sudah begitu tanpa rencana, berjalan begitu saja tanpa pengawalan. Hingga untuk memutuskan berhenti saja seluruh elemen semesta harus ikut campur. Memangnya kau ini siapa? Tujuanku saja bukan, tapi semerdeka itu mengomandoi perasaan ini. Ah sudahlah, toh ini hanya tentangku, bukan tentangmu, apalagi tentang kita.

Notes: Coba dengarkan lagu gubahan Tyler Ward berjudul Plans in Pencil ini, siapa tahu cocok masuk ke dalam daftar putarmu.

Private document: Photographed at Central Jakarta November, 2019 

Kamis, 13 Mei 2021

Sebuah Malam di Sebuah Kampung


Mengendarai motor malam hari memang selalu menyenangkan bagi Prapti. Melihat suasana kota dan menikmati hiruk pikuknya. Menghirup udara penuh polusi dan merasakan angin malam menerjang. Setiap hari Prapti harus menempuh perjalanan 30 menit lamanya untuk pulang dari kantor menuju kos,
vice versa. Kadang berhenti sebentar kalau tiba-tiba sliwer ngantuk di jalan. Tapi kalau ada teman yang nebeng pulang bareng, Prapti sangat senang, jadi ada teman ngobrol di jalan dan nggak ngantuk.

“Loh kok belok sini, Ti? Kosmu kan masih jalan lurus lagi?” tanya Rini yang nebeng Prapti malam itu. Katanya malam ini Rini menghabiskan waktu di rumah saudaranya yang kebetulan satu kawasan dengan kosan Prapti.

“Aku mau mampir beli jajan sama teh botol, Rin. Di kompleks nggak ada kelontong, kudu belok ke kampung sini dulu,” jawab Prapti.

“Bukannya ada Indomaret to di depan gangmu?” tanya Rini.

“Kalau mau ngabisin duit itu mending ke warung kelontong di kampung gini, Rin. Biar laris dagangan mereka. Kalau Indomaret sama Alfamart mah pasti laris tiap hari!”

“Halah kamu ini sok baik, Prapti..”

“Lho beneran, Rin.. Setiap hari aku ganti-ganti kalo beli jajan. Kalau hari ini sudah di kelontong depan pos satpam, besok aku ke kelontong yang di deket tukang nasi goreng di dalem. Besoknya lagi beli di warung yang 24 jam itu, kadang juga mampir beli pia coklat di warung sebelah portal.”

Kata Prapti biar adil, nggak satu warung aja yang dia larisin, yang lain-lainnya juga biar laris.Rini hanya menggeleng-gelengkan kepala sembari tertawa kecil mendengar cerita temannya itu. Prapti memarkir motornya di depan warung kelontong depan pos satpam yang dia sebutkan tadi. Kata Prapti lagi, warung kelontong yang satu ini jual dimsum terenak sekampung ini.

“Bu mau dimsumnya yang isi 6. Campur saja, Bu” pesan Prapti pada Ibu warung.

“Jalanan rame nggak, Mbak?” tanya Si Ibu sambil menyiapkan dimsum pesanan Prapti.

“Sepi banget, Bu. Sudah pada pulang kampung kalau nggak ya lagi makan opor ayam kali di rumah.” Jawab Prapti sambil memilih-milih jajan yang sedang ingin Ia cemil malam ini.

“Iya ya sepi. Aku ya bingung mau kemana, Mbak. Ini tadi aja aku pas buka puasa nangis Mbak, kangen Ibu nggak bisa pulang kampung. Mangkannya ya jualan aja kayak biasa, biar nggak nangis.” Curhat Si Ibu.

“Hehe iya Bu, yang sabar ya Bu..” kata Prapti.

“Aku kalau sendiri gini Sukanya masak, Mbak. Ini aku masak opor ayam banyak banget sampai om-om ojek online yang mampir tak suruh makan dulu pas buka puasa tadi. Nggak bisa bagi-bagi duit ya bagi-bagi makanan to Mbak, Om-Om Ojol tadi aja pada seneng katanya baru kali ini makan opor pas malam lebaran,” Curhat Si Ibu lagi.

“Wah iya to, Bu? Bener bu, kalau di kampung juga saya mesti disuruh anter-anter lontong sayur ke tetangga.” Kata Prapti sambil menyerahkan uang pas kemudian mengambil kresek dimsum dan jajannya seraya mengucap terima kasih.  Sembari menyalakan motornya kembali Prapti bilang ingin beli opor ayam dulu di warteg pincuk belakang. Rini hanya mengangguk ngikut saja. Sesampainya di warteg, Si Bapak Warteg langsung berdiri dan menyambut Prapti dengan senyuman.

“Bungkus, Mbak?” tanya Si Bapak Warteg.

“Iya Pak, pakai nasi setengah saja ya Pak, sama opor sama orek tempe.” Prapti memesan makanannya.

“Mbak kalau nggak kemana-mana besok lebaran kesini saja mbak, makan opor bareng.” Kata Si Bapak sembari menyendok opor ayam dan menuangkan ke nasi bungkus.

Prapti sedikit terkejut mendengar ucapan si Bapak. Kemudian tertawa kecil dan mengiyakan, membayar, dan mengucap banyak terima kasih. Saat hendak menaiki motornya, Ia terlihat menyeka matanya.

“Loh? Kamu ngapain nangis, Prapti?” tanya Rini kebingungan.

“Kangen rumah, Rin.” Jawab Prapti. Rini baru sadar Prapti terharu karena ucapan Bapak warteg tadi. Sebagai anak rantau, Prapti sudah dua tahun ini tidak pulang kampung di hari besar yang mestinya dirayakan bersama keluarga.

“Kamu emang deket ya sama bapak ibu warung di kampung ini,” kata Rini sambil tersenyum.

“Ya meskipun nggak kenal namanya, tapi mereka kalau aku datang pasti diajak ngobrol, baik-baik emang mereka, kadang juga dibonusin gorengan gitu.” Jawab Prapti.

Rini mengangguk-angguk mendengar cerita Prapti. Kata Prapti lagi, tujuan dia ganti-ganti warung juga biar cerita yang dia dengar setiap hari beda-beda. Ngobrol bersama orang-orang yang jauh dari pekerjaan gedung-gedung pencakar setelah seharian duduk di depan komputer menjadi hiburan tersendiri bagi Prapti, jadi ada teman berbagi dan cerita kata Prapti.

Setelah mengantar Rini sampai ke tujuannya, Rini turun dari motor, dan menerima dimsum pemberian Prapti.

“Lah kamu nggak makan dimsumnya?” tanya Rini.

“Kamu harus cobain, itu enak banget, paling enak yang pernah aku makan.” Seru Prapti dengan mata berbinar-binar.

“Makasih banyak, Prapti..” Rini mengucap sambil menatap mata Prapti.

“Cuma dimsum lho, Rin..” jawab Prapti.

“Nggak cuma dimsum.. kamu ngasih pelajaran banyak buat aku malam ini.” Kata Rini sembari masih menatap mata Prapti.

Prapti tersenyum lebar kemudian pamit. “Kapan-kapan kamu ikut aku ya makan pecel kesukaanku di belakang, mas-masnya kocak.”

Rini hanya tertawa kemudian menyampaikan hati-hati pada Prapti. Prapti melambaikan tangan dan melajukan motornya menuju ke kosan. Sepertinya inilah alasan Prapti rela menempuh 30 menit setiap hari pulang pergi ke kantor padahal banyak kosan juga di dekat kantor Prapti. Dia selalu menyukai interaksi-interaksi kecil bersama ibu warung kelontong, bapak warteg pincuk, mas-mas pecel di jalan belakang, mbak-mbak laundry beranak tiga, bapak satpam yang suka patroli naik sepeda, bapak tukang bakso yang suka berkeliling hingga pukul 11 malam, dan semua kehidupan di kampung ini. Semuanya terasa hidup dan hangat, meski dibalik itu, ada perjuangan yang tak tahu kapan usai.

Empat tahun Prapti tumbuh di kampung ini selama hidup merantau di Jakarta dan Ia menemukan kehidupannya. Ia merasa beruntung dan selalu nyaman mendengarkan cerita sehari-hari dari mereka. Prapti merasa di rumah setiap berada di kampung ini. Mereka tidak hidup dalam rumah mewah dengan mobil mahal, tapi hatinya luar biasa tak ternilai harganya.

Setelah memarkirkan motornya, Prapti membuka pintu kosan, berjalan menuju ke tangga, melihat tiga orang di lantai dasar yang sedang masak opor ayam bersama. Setahu Prapti mereka bekerja di kantor dekat sini. Prapti kemudian naik ke lantai dua menuju kamarnya, kemudian menyantap nasi opor ayam kesukaannya itu. Sembari menyantap makan malamnya, Prapti membuka handphonenya dan mengirim pesan kepada ayah bundanya.

 

Bunda:

Kakak sama siapa di kosan?

Prapti:

Ada teman bun yang tidak mudik juga, berempat ini di kosan.

Bunda:

Alhamdulillah tidak sendirian ya, selamat lebaran ya, Kakak, semoga bisa segera pulang ke rumah.

 

Prapti tersenyum dan membalas "aamiin" pada bundanya. Sambil meneteskan satu dua titik air mata, mendengar letusan kembang api sana sini, Prapti tersenyum, menghabiskan malam lebaran sendirian di tanah rantau.

Song: Bisma Karisma-Rumah
Source: music.apple.com


Sabtu, 01 Mei 2021

Orang-Orang Proyek, Ahmad Tohari (Review Buku)

Pagi ini sudah hari keempat saya mendengus kesal karena kemacetan sepanjang Jalan Gunawarman hingga tikungan Apotek Senopati. Mobil dan motor benar-benar padat merayap akibat sesuatu yang tak asing terjadi di Jakarta, selalu ada dimana-mana setiap tahun, kok kayaknya nggak beres-beres gitu lho.. Tak lain tak bukan: proyek galian!

Sekitar 8 buah bilik bertuliskan “MOHON MAAF PERJALANAN ANDA TERGANGGU” “SEDANG ADA PEKERJAAN” berjejer rapi di kanan dan kiri jalan. Dalam hati sudah berteriak sumpah serapah. Proyek siapa lagi ini wahai pejabat yang mulia?!! Ah tapi percuma saja, jalan ini akan tetap macet selama beberapa bulan ke depan.

Melihat proyek-proyek galian pagi ini, saya jadi teringat buku yang baru saya selesaikan tadi malam. Buku gubahan Ahmad Tohari yang berjudul Orang-Orang Proyek. Buku super berani yang pernah saya temui, entah itu fiksi atau fakta yang ada di dalamnya. Ahmad Tohari menggambarkan kebobrokan pemerintah, rekayasa anggaran, kepentingan partai politik, dalam satu proyek pembangunan jembatan di Desa Cibawor pada tahun 1991.

Sumber: ebooks.gramedia.com

Tersebutlah seorang insinyur muda, Mas Kabul, yang ditunjuk sebagai pelaksana proyek jembatan tersebut. Insinyur yang kokoh dengan idealismenya, bahwa seorang kontraktor proyek, yang membangun jembatan untuk rakyat, harus menyelesaikan jembatan tersebut dengan masa manfaat minimal 10 tahun. Kualitas bahan bangunan harus yang terbaik, masa pengerjaan harus sesuai dengan linimasa. Tidak lebih cepat dan tidak lebih lambat.

Naasnya Ia harus berhadapan dengan atasannya yang tamak dan para penguasa proyek yang ingin menjadikan jembatan ini sebagai bahan kampanye Pemilu 1992 mendatang. Dari sinilah Kabul mulai membenci pekerjaan lapangan. Betapa joroknya keserakahan manusia menistakan kehidupan rakyat miskin yang mengharapkan kesejahteraan dari pemerintah.  

Pembaca diajak menebak, apakah Kabul akan tetap teguh pada pendiriannya untuk membangun jembatan dengan kualitas super namun sebagai ancamannya Ia akan kehilangan pekerjaan dan reputasi, atau akan menyerah mengikuti kemauan atasan yang rakus akan harta, membangun jembatan dengan kualitas buruk, namun arus kas mengalir deras dalam kantongnya.

Sembari menemukan jawaban, tokoh-tokoh sampingan akan muncul untuk mewarnai kisah Mas Kabul. Mulai dari romansa dengan Wati, Mas Kabul yang malu-malu kucing itu saya rasa sosok yang peduli dalam diam, tidak suka berkoar kalau memang belum pasti, sosok yang menunjukkan dan bukan hanya kebanyakan bicara. Juga kisah persahabatannya dengan kepala desa, kalian pasti punya, teman yang kalau sudah bertemu ngobrolinnya tentang negara, berat sekali kelihatannya, hehe. Serta kisah pensiunan PNS, Pak Tarya, yang menjadi sosok haha hihi untuk menghibur Mas Kabul dengan hobi mancingnya.

"Mas aku hanya minta satu pisang. Kenapa Mas bawakan sesisir?" tanya Wati kebingungan pada Kabul.

"Tidak apa-apa, kan? Kalau kamu minta satu sisir, akan saya bawakan satu tandan." 

Saat membaca dialog ini saya senyum-senyum sendiri. Kabul bisa so sweet juga ternyata. Romantisnya orang zaman dulu kadang terasa lebih menyenangkan. Tidak melulu tentang kemewahan seperti anak muda zaman sekarang. Restoran mewah, coklat mahal, kado Iphone terbaru, wah anak muda zaman sekarang kurang menghargai kesederhanaan menurut saya.

Sumber: ebooks.gramedia.com

Ada sedikit nuansa klasik yang saya rasakan. Dengan latar tempat yang hanya berputar-putar di lokasi proyek, tepi sungai, warung Mak Sumeh, jalanan terik menuju proyek, dan jembatan. Serta penggambaran suasana desanya yang terasa nyata. Saya bisa merasakan bagaimana teriknya lokasi proyek, bau ikan asin di warung Mak Sumeh, hingga berisiknya suara dentuman atau mesin-mesin proyek. Tak lupa pula nyanyian gahar Tante Ana yang menjadi satu-satunya hiburan bagi buruh-buruh proyek ini. Kabul selalu merasa berhutang budi besar pada Tante Ana karena telah membuat pejuang nafkah ini tertawa dan berjoget ria, melupakan sejenak beban kehidupan, permasalahan proyek, serta menerima kenyataan bahwa rakyat miskin inilah yang menjadi korban utama penistaan proyek pembangunan di Indonesia.

Ahmad Tohari sosok yang realistis, konfliknya sederhana, alurnya rapi dan tidak terburu-buru. 258 halaman mengalir saja seperti kehidupan sehari-hari. Tokoh-tokohnya pun tak muluk-muluk. Namun pesannya, sangat sampai to the point kepada pembaca. Bagaimana “Orang-Orang Proyek” tersebut menjadi pelajaran berharga bagi para pemimpin hari ini. Agar menyadari bahwa dengan menyalahi proyek pembangunan rakyat, ada berjuta kepala yang sengsara karena sifat tamak harta.

Kalau boleh mengutip Ahmad Tohari dalam buku ini,

Trima sing nglakoni, ora trima sing ngemongi

“Artinya?” tanya Kabul pada Pak Tarya.

“Jangan anggap enteng orang-orang tertindas tapi hanya bisa diam. Sebab yang ngemong, Gusti Allah, ada di belakang mereka..”


Selamat membaca!  



Kamis, 22 April 2021

Semesta dan Kisah Cinta



“Aku tak tahu dengan siapa aku akan menghabiskan sisa waktuku, tapi siapapun itu, bagaimana jika dia tidak mau menungguku seperti kau menungguku tadi? Kau menungguku dengan sangat sabar, tanpa tergesa sedikitpun, bahkan dengan merayuku di akhir waktu."

"Maka biarkan aku yang selalu menemanimu ke sini, biarkan aku yang selalu menunggumu ketika kau ingin mengunjungi tempat ini."

"Sungguh?"

Aku menghentikan langkahku, pun ia juga menghentikan langkahnya karenaku. Aku menghadapkan wajahku padanya, "Pernahkah aku tak bersungguh-sungguh padamu?"

Matanya menatapku nanar. Mulutnya membisu tapi aku tahu bibir manis itu sangat ingin meruapkan segalanya. Aku menatapnya dengan senyuman. Napas kita tertahan oleh kejamnya keadaan.

Aku menikmati wajah rupawannya yang tanpa cela itu. Kemudian aku terkekeh ringan dan berujar, "Kok bisa ya, ada mata yang selalu indah setiap waktu seperti milikmu? Ya Tuhan, Kau curang, Kau memperkenalkan aku pada gadis seindah ini namun Kau tak izinkan aku bersamanya?" Aku mengomel pada hembusan angin.

Dia tertawa lepas dan menggeleng-gelengkan kepala mendengar berisiknya mulutku. “Dasar! Kamu selalu berhasil membuatku tertawa!”

Langkahku dan langkahnya terus beriringan menapak debu jalanan. Sesekali membicarakan pohon mangga atau rumput liar di halaman rumah tetangga. Beberapa kali angin mengacaukan rambutnya, membuatku terus menerus membelai kepalanya merapikan poninya yang berantakan itu. Saat aku terkadang mengatakan sesuatu yang membuatnya terkekeh geli, dia akan memukul lenganku atau mencubitnya. Tawa dan senyum bergantian menemani sepanjang jalan. Tuhan, bisakah kau membuat hari ini lebih lama dari biasanya?

Tak terasa kami tiba di depan halaman rumah yang kami tuju.

"Terima kasih, ya”

"Kau tahu kan? Kau selalu punya aku. Aku selalu milikmu."

“Jangan terlalu baik padaku. Aku sudah bukan milikmu lagi, kau tahu itu.”

“Apa ada yang salah dari kata-kataku? Kamu memang bukan milikku lagi. Tapi aku selalu milikmu. Titik. Tak ada perlawanan.”

Dia tersenyum manis. Getir lebih tepatnya. Akupun menggigit bibir bawahku. Tak tahu harus berkata apa dalam keheningan ini.

“Aku masih ingin bersamamu lebih lama.” Ujarnya membubarkan keheningan. Hembusan angin tiba-tiba menyerang kencang dua sosok yang sedang saling menatap nanar ini. Tubuhku tersentak. Hawa dingin dengan seenaknya menerjang pori-pori sekujur tubuhku. Dadaku sesak. Sangat sesak. Mataku kering penuh pilu. Mengapa kau tak pernah ditakdirkan untukku?

Aku berdeham membersihkan tenggorokanku. “Aku masih punya satu jam sebelum berangkat kembali.”

Suara gemuruh terdengar lantang, langit berubah menjadi kelam seketika. Seakan bumi ikut merasakan pedih dua hati tanpa pilihan ini. Ia menggosokkan kedua telapak tangannya untuk menemukan kehangatan.

“Dingin ya,” ucapnya. Aku masih benar-benar tidak tahu harus berbuat dan berkata apa. Aku hanya mengangguk.

“Duduk dulu di teras, aku buatkan teh hangat,” Ia masuk ke dalam rumahnya sementara aku mengikutinya masuk ke teras rumah dan duduk di kursi jati. Sembari menunggunya membuat teh, aku melihat beberapa bunga lantana putih dan ungu bermekaran di halaman rumahnya. Aku melangkah dan mencabut beberapa bunga itu kemudian merangkainya dan mengikatnya dengan ranting kecil yang berserakan.

Ia datang bersama dua gelas teh hangat racikannya. Sedangkan aku baru saja selesai merangkai buket bunga mini ini. Kemudian aku melangkah perlahan mendekati wajahnya. Kusisipkan rangkaian lantana putih dan ungu tersebut pada daun telinganya. Napas kami bertemu. Aku mengambil jarak sejenak menikmati keindahan raut wajahnya, kemudian berbisik lembut, “Ini terlihat cantik padamu.”

Sesaat sebelum aku mengambil langkah mundur, Ia menahan tubuhku dan menarik punggungku erat ke dalam tubuhnya. Ia memelukku. Disampirkannya kepalanya pada dadaku dan kurasakan napasnya menjerit. Tubuhku kaku, tak bisa melawannya, karena aku juga mendambakan pelukan ini. Kulingkarkan tanganku pada tubuhnya, kucium lembut kepalanya.

Kalau dipikirkan kembali, kali terakhir aku merasakan pelukan hangat seperti ini sudah lima tahun lalu lamannya. Aku tak pernah memeluk siapapun sejak hari itu. Aku terlalu takut. Takut kalau rasanya tidak setenang aku memeluk wanita ini. Hari ini, Tuhan mengizinkan aku merasakannya kembali. Satu-satunya pelukan yang bisa menyembuhkanku dari kejahatan apapun.

Untuk sementara, waktu berhenti berputar, membiarkan dua orang manusia mencoba untuk saling menyembuhkan luka masing-masing dalam aroma tubuh dan irama detak jantung yang sangat dirindukan sejak lima tahun lalu.

***

Setelah pelukan yang cukup untuk membuat teh kami menjadi dingin, kami duduk bersandingan di anak tangga teras rumah. Ia memandang rangkaian bunga amatir yang tadi kubuat sembari tak berhenti tersenyum.

"Kau menyukainya?" tanyaku keheranan. Padahal rangkaian bunga itu jelek sekali, lusuh.

Matamu berbinar sembari mengangguk cepat, senyummu menyimpul. Aku tertawa kecil. Mana bisa aku melupakanmu kalau kau terus tersenyum pada hal-hal kecil tidak penting dari seorang aku ini?

"Kau tahu? Ini hari terbahagiaku sepanjang tahun ini." Aku berbicara pada langit yang mulai merintikkan air matanya.

"Jangan begitu. Kau jahat," katanya sembari mencubit lenganku.

"Mengapa?"

"Kita jahat, kita tak seharusnya seperti ini, kau pun tahu ini dosa."

"Kiranya dosa hadir atas beberapa hal yang menyenangkan, bukan?"

Wanita disampingku hanya tersenyum getir. Matanya kembali berair. Aku menyekanya perlahan dengan jari telunjukku.

“Tahun depan kau akan menemaniku ke sini lagi, kan?” tanyanya padaku.

Sembari memikirkan jawabannya, aku memandang kenangan rumah ini. Kualihkan mataku pada pohon mangga di ujung kanan, kemudian memandang jauh ke pagar yang besinya sudah berkarat, tembok samping rumah yang sudah berlumut, kutoleh ke samping kiriku melihat penyangga kayu yang masih kuat, kutengadahkan kepalaku melihat lampu teras yang masih awet dengan keantikannya namun sudah berdebu penuh jaring laba-laba.  

“Rumah kakekmu akan selalu menjadi tempatku pulang bersamamu, Alinda.” Jawabku sembari memegang tangannya.

“Kakek pasti senang melihat kita bisa bercengkrama lagi, Satya.”

Aku dan dia adalah dua jiwa yang telah sepakat menyerahkan cintanya pada semesta. Tak ada yang merestui hubungan kami berdua baik dari keluargaku maupun keluarganya. Aku masih belum terima pada Tuhan yang menciptakan rasa kasih sayang pada manusia, namun hanya karena status sosial, kelamin, ras, suku, keyakinan, atau apapun itu dalam penghakiman masyarakat, dua rasa ini tak bisa menemukan titik penyatuannya.

Pada akhirnya kami memilih untuk membahagiakan mereka yang selalu ada sejak kami lahir di muka bumi ini. Kita berdua sadar, kita tak hidup sendiri di dunia ini. Ada orang tua yang harus dibahagiakan, ada adik kakak yang harus dijaga, ada sahabat yang harus dipedulikan.

Hanya Kakek Alinda yang selalu bahagia jika kami berdua bahagia. Beliau selalu berkata, “Dua orang yang saling jatuh cinta, hanya ingin menautkan hatinya satu sama lain, tak peduli apapun itu. Mereka adalah manusia yang ingin saling membahagiakan, maka tak ada apapun yang bisa menghentikan dua orang yang sudah memutuskan untuk menyerahkan hatinya kepada satu sama lain.”

“Kalian sangat berhak berbahagia, rumah ini akan selalu menjadi tempat kalian meruapkan cinta.”

Sebelum akhirnya Kakek meninggal lima tahun lalu, rumah ini benar-benar diwariskan oleh Kakek pada Alinda, dan kami tidak siap dengan apapun itu yang akan menerjang kami berdua. Semua orang sangat marah pada hubungan ini dan ingin menghancurkan segalanya di antara aku dan wanita yang sangat aku cintai ini. Kalau diingat kembali, pilu sekali. Kita berdua sepakat untuk menghilang tanpa mengabari satu sama lain. Jariku telah tersemat cincin yang dipakaikan oleh istriku, pun Alinda akan segera dipinang calon suaminya.

Setelah lima tahun lamanya, semesta benar-benar menunjukkan kekuatannya. Pagi tadi saat aku akhirnya memutuskan untuk mengunjungi makam Kakek karena ingin menumpahkan rasa lelah ini, aku tak sengaja bertemu dengannya yang sudah berada di samping makam Kakek terlebih dahulu. Alinda tahu ada aku di sekitarnya, namun Ia tetap melanjutkan doa-doa serta segala ceritanya pada batu nisan. Ia bercerita bahwa calon suaminya maupun orang tuanya tak ada yang mau menemaninya mengunjungi makam Kakek karena Alinda selalu menghabiskan berjam-jam bercengkrama dengan kakeknya.

Rasanya semesta tahu, beban yang selama ini bernaung di pundakku dan di pundak Alinda sudah sangat ingin ditumpahkan dan membutuhkan obatnya. Cinta yang tulus akan tahu dimana tempat mereka pulang.

Sekali lagi, dua jiwa ini telah sepakat untuk menyerahkan cintanya pada semesta. Entah semesta ingin mereka tetap saling mengasihi, atau memberikan kekuatan pada keduanya untuk melenyapkan rasa itu, biarkan semesta yang bekerja. Meskipun tak tahu harus berapa lama lagi sampai mereka bisa benar-benar saling merelakan satu sama lain.

Satu jam terakhir telah berlalu dan aku berpamitan untuk menuju ke stasiun terdekat. Malam ini juga Alinda akan dijemput oleh calon suaminya untuk kembali ke kota.

"Apakah kau bahagia, Satya?"

"Sangat bahagia, Alinda."

---

Epilog.

Keesokan harinya, setiba aku di rumah, istriku mencoba mengenakan mantel yang baru sempat kuberikan padanya buah tangan perjalanan dinasku minggu lalu.

"Aku pikir mantel ini terlihat indah padaku, bukan?" Ia bertanya padaku sembari mencoba mantel barunya itu.

Mulutku terdiam, mataku menatap matanya kosong, napasku terhenti sejenak, dadaku sedikit sesak.

Sedetik kemudian aku menjawabnya dengan mereka senyum, "Tentu, mantel itu terlihat sangat cocok untukmu,"

"Aku pergi merokok sebentar ya," kataku berjalan menuju teras sembari menikmati hujan yang semakin lebat.

Hembusan asap bercampur dengan tumpahan air langit tepat menari di hadapanku. Aku melipat tangan mencoba menahan dingin. Hujan memang sejahat itu, selalu membangunkan memori yang entah sudah coba kubunuh berapa kali.

"Aku suka sekali dengan mantel ini, terima kasih banyak ya," kata-kata yang terujar dari mulut wanita itu, 5 tahun silam, seenaknya muncul di kepalaku saat aku melihat istriku mencoba mantel itu tadi.

"Kota ini sedang dipenuhi musim hujan, aku perlu memastikan kau tetap hangat dan baik-baik saja,"

"Terima kasih ya,” senyumnya cantik, rautnya manis, matanya indah, Tuhan benar-benar Sebaik-baiknya Pencipta di muka bumi ini.

Aku melangkah perlahan mendekatinya. Terdiam sejenak lima sentimeter di hadapannya. Tubuhku mendekap tubuhnya erat, kuhirup aroma tubuhnya, kubisikkan lirih padanya, "Milik siapapun kau nantinya dan milik siapapun aku nantinya, kau tetap wanitaku dan kau tetap memilikiku. Selamat tinggal, Alinda."

Aku masih mengingat dengan jelas, air matanya mengalir deras hari itu, pun air mataku. Wahai semesta, terima kasih telah memelihara rasa ini, hingga hari ini.

 

Song: The Avett Brothers-I and Love And You
Source: Amazon.com

 

Rabu, 21 April 2021

The Old Man and The Sea (Review Buku)

127 halaman 1 bab: penuh dengan lelaki tua, sampan, ikan, dan laut. 

Seringkali orang berpikir, bahkan saya sebelum membaca buku ini,

"Ah, baca sastra klasik kok kayaknya berat banget gitu. Pasti susah memahaminya, otak nggak nyampe."

Coba nikmati karya Hemingway yang satu ini. Karya klasik sebenarnya tidak butuh otak pemirsa. Ia hanya membutuhkan perasaan dan kemurnian.

Membaca buku ini seperti nunggu adzan maghrib, butuh kesabaran, parah, hampir menyerah membacanya kalau bukan karena geregetan Santiago tak kunjung menangkap ikannya. Sebuah refleksi pergelutan "memancing ikan" pada nilai kehidupan.

The Old Man and The Sea menjadi karya Ernest Hemingway yang pertama kali saya selesaikan. Saya membaca versi inggrisnya. Kadang saya baca sambil menunggu koneksi internet laman pekerjaan atau saat menjelang tidur. 

Sumber: amazon.fr


Apa hikmah terbesar yang saya ambil dari buku ini?

Bahwa sesungguhnya ternyata keberadaan sebuah bab atau chapter dalam buku itu penting, hahaha. Rasanya sedikit menjengkelkan membaca buku tanpa ada jeda babak sama sekali. Seperti sesak napas, haha.

Namun justru itu yang membuat buku ini unik dan kental sekali dengan sastra klasik. Artinya apa? Karya klasik didapuk sebagai tulisan yang tak kenal waktu, akan selalu hidup kapanpun kamu membacanya. Saya pikir tepat sekali dengan isi buku ini hehe.

Mula dari kisah ini cukup hangat. Bagaimana Santiago sang lelaki tua bersama seorang anak laki-laki yang dianggapnya seperti anak sendiri. Menggambarkan bagaimana dua orang manusia dapat saling berkorban, peduli, meski tak sedarah daging atau tak ditakdirkan menjadi tulang rusuk satu sama lain.

"The thousand times that he had proved it meant nothing. Now he was proving it again. Each time was a new time and he never thought about the past when he was doing it."

Lelaki tua selalu berkata pada anak lelaki itu, bahwa Ia bukan nelayan hebat kendati Ia sungguh dihormati oleh seluruh nelayan di penjuru pesisir tersebut. Ia merasa perlu untuk selalu bekerja keras setiap hari baru yang datang. Every tomorrow is a second chance.

Hingga kemudian dimulailah perjalanan nelayan tua yang memulai pergelutan dengan batinnya. Sederhana, saat memancing ikan. Begitulah bagaimana 2.5/3 buku ini menceritakan tentang "orang tua  yang sedang memancing ikan di tengah lautan" tak disangka mengajarkan banyak hal mengenai kasih sayang, kepedulian, saling merasakan, kerendahan hati, ketekunan, bahkan sebuah rasa syukur.


Sumber: medium.com


Lelaki tua itu bahkan pernah merasa pilu ketika menusuk seekor ikan betina dengan tombaknya. Ia meminta maaf dengan sangat sopan pada ikan jantan yang selalu menemani berenang berputar-putar di sisi ikan betina sampai akhirnya mendarat di sampan lelaki tua. Sang jantan bahkan melompat lebih tinggi hingga ke mulut sampan, Ia berduka kekasihnya telah menjadi santapan lelaki tua. Sejak saat itu Santiago selalu berkontemplasi dengan batinnya saat hendak menangkap ikan apapun itu. Padahal Ia tahu, namanya juga nelayan, pekerjaannya apalagi kalau bukan menangkap ikan?

Bahwa sesungguhnya di dunia ini manusia tidak hidup sendiri. Bumi bukan hanya punya manusia. Ada hewan, lautan, bintang, dan angin malam yang bernafas bersama manusia.

"You did not kill the fish only to keep alive and to sell for food, he thought. You killed him for pride and because you are a fisherman. You loved him when he was alive and you loved him after. If you love him, it is not a sin to kill him."

Lihatlah bagaimana Santiago berdebat dengan batinnya. Rumit. Saya selalu mengernyitkan dahi setiap membaca bagian ini. Jadi teringat saat Ibrahim menyembelih Ismail karena Tuhan. Mungkin ini jawaban yang tepat ya, Ibrahim pasti mencintai Ismail, dan Ia tak membuat dosa dengan menyembelihnya. Maka Tuhan memang Maha Penyayang. 

***

"I wish I had a stone for the knife," the old man said after he had checked the lashing on the oar butt. "I should have brought a stone." You should have brought many things, he thought. But you did not bring them, old man.

Now is no time to think of what you do not have. Think of what you can do with what there is.

Salah satu pepatah yang banyak muncul di halaman motivasi saat ini dengan berbagai versi ternyata sudah lahir dari mulut lelaki tua sejak tahun 1951. Karya klasik membuka jalur yang luar biasa pengaruhnya pada kehidupan modern hari ini. 

Alur ceritanya mungkin akan terkesan monoton. Saya akui sangat monoton. Tapi entah mengapa setiap perjalanannya di lautan terasa menenangkan dan hidup. Mengajarkan banyak hal. Utamanya kesabaran dan ketekunan. Classic yet unique, this is Heming-way.

Selamat membaca!

Orang Baik

Powered By Blogger

Jejak Istimewa