Pagi ini sudah hari keempat saya mendengus kesal karena kemacetan sepanjang Jalan Gunawarman hingga tikungan Apotek Senopati. Mobil dan motor benar-benar padat merayap akibat sesuatu yang tak asing terjadi di Jakarta, selalu ada dimana-mana setiap tahun, kok kayaknya nggak beres-beres gitu lho.. Tak lain tak bukan: proyek galian!
Sekitar 8 buah bilik bertuliskan “MOHON MAAF PERJALANAN ANDA TERGANGGU” “SEDANG ADA PEKERJAAN” berjejer rapi di kanan dan kiri jalan. Dalam hati sudah berteriak sumpah serapah. Proyek siapa lagi ini wahai pejabat yang mulia?!! Ah tapi percuma saja, jalan ini akan tetap macet selama beberapa bulan ke depan.
Melihat proyek-proyek galian pagi ini, saya jadi teringat
buku yang baru saya selesaikan tadi malam. Buku gubahan Ahmad Tohari yang
berjudul Orang-Orang Proyek. Buku super berani yang pernah saya temui, entah
itu fiksi atau fakta yang ada di dalamnya. Ahmad Tohari menggambarkan kebobrokan
pemerintah, rekayasa anggaran, kepentingan partai politik, dalam satu proyek pembangunan
jembatan di Desa Cibawor pada tahun 1991.
![]() |
| Sumber: ebooks.gramedia.com |
Tersebutlah seorang insinyur muda, Mas Kabul, yang ditunjuk sebagai pelaksana proyek jembatan tersebut. Insinyur yang kokoh dengan idealismenya, bahwa seorang kontraktor proyek, yang membangun jembatan untuk rakyat, harus menyelesaikan jembatan tersebut dengan masa manfaat minimal 10 tahun. Kualitas bahan bangunan harus yang terbaik, masa pengerjaan harus sesuai dengan linimasa. Tidak lebih cepat dan tidak lebih lambat.
Naasnya Ia harus berhadapan dengan atasannya yang tamak dan
para penguasa proyek yang ingin menjadikan jembatan ini sebagai bahan kampanye Pemilu
1992 mendatang. Dari sinilah Kabul mulai membenci pekerjaan lapangan. Betapa
joroknya keserakahan manusia menistakan kehidupan rakyat miskin yang mengharapkan
kesejahteraan dari pemerintah.
Pembaca diajak menebak, apakah Kabul akan tetap teguh pada
pendiriannya untuk membangun jembatan dengan kualitas super namun sebagai ancamannya
Ia akan kehilangan pekerjaan dan reputasi, atau akan menyerah mengikuti kemauan
atasan yang rakus akan harta, membangun jembatan dengan kualitas buruk, namun arus
kas mengalir deras dalam kantongnya.
Sembari menemukan jawaban, tokoh-tokoh sampingan akan muncul untuk mewarnai kisah Mas Kabul. Mulai dari romansa dengan Wati, Mas Kabul yang malu-malu kucing itu saya rasa sosok yang peduli dalam diam, tidak suka berkoar kalau memang belum pasti, sosok yang menunjukkan dan bukan hanya kebanyakan bicara. Juga kisah persahabatannya dengan kepala desa, kalian pasti punya, teman yang kalau sudah bertemu ngobrolinnya tentang negara, berat sekali kelihatannya, hehe. Serta kisah pensiunan PNS, Pak Tarya, yang menjadi sosok haha hihi untuk menghibur Mas Kabul dengan hobi mancingnya.
"Mas aku hanya minta satu pisang. Kenapa Mas bawakan sesisir?" tanya Wati kebingungan pada Kabul.
"Tidak apa-apa, kan? Kalau kamu minta satu sisir, akan saya bawakan satu tandan."
Saat membaca dialog ini saya senyum-senyum sendiri. Kabul bisa so sweet juga ternyata. Romantisnya orang zaman dulu kadang terasa lebih menyenangkan. Tidak melulu tentang kemewahan seperti anak muda zaman sekarang. Restoran mewah, coklat mahal, kado Iphone terbaru, wah anak muda zaman sekarang kurang menghargai kesederhanaan menurut saya.
![]() |
| Sumber: ebooks.gramedia.com |
Ada sedikit nuansa klasik yang saya rasakan. Dengan latar tempat
yang hanya berputar-putar di lokasi proyek, tepi sungai, warung Mak Sumeh, jalanan
terik menuju proyek, dan jembatan. Serta penggambaran suasana desanya yang terasa
nyata. Saya bisa merasakan bagaimana teriknya lokasi proyek, bau ikan asin di
warung Mak Sumeh, hingga berisiknya suara dentuman atau mesin-mesin proyek. Tak lupa pula nyanyian gahar Tante Ana yang menjadi satu-satunya hiburan bagi buruh-buruh proyek ini. Kabul selalu merasa berhutang budi besar pada Tante Ana karena telah membuat pejuang nafkah ini tertawa dan berjoget ria, melupakan sejenak beban kehidupan, permasalahan proyek, serta menerima kenyataan bahwa rakyat miskin inilah yang menjadi korban utama penistaan proyek pembangunan di Indonesia.
Ahmad Tohari sosok yang realistis, konfliknya sederhana, alurnya rapi dan tidak
terburu-buru. 258 halaman mengalir saja seperti kehidupan sehari-hari. Tokoh-tokohnya pun
tak muluk-muluk. Namun pesannya, sangat sampai to the point kepada
pembaca. Bagaimana “Orang-Orang Proyek” tersebut menjadi pelajaran berharga
bagi para pemimpin hari ini. Agar menyadari bahwa dengan menyalahi proyek
pembangunan rakyat, ada berjuta kepala yang sengsara karena sifat tamak harta.
Kalau boleh mengutip Ahmad Tohari dalam buku ini,
“Trima sing nglakoni, ora trima sing ngemongi”
“Artinya?” tanya Kabul pada Pak Tarya.
“Jangan anggap enteng orang-orang tertindas tapi hanya bisa diam. Sebab yang ngemong, Gusti Allah, ada di belakang mereka..”
Selamat membaca!



0 komentar:
Posting Komentar