127 halaman 1 bab: penuh dengan lelaki tua, sampan, ikan, dan laut.
Seringkali orang berpikir, bahkan saya sebelum membaca buku ini,
"Ah, baca sastra klasik kok kayaknya berat banget gitu. Pasti susah memahaminya, otak nggak nyampe."
Coba nikmati karya Hemingway yang satu ini. Karya klasik sebenarnya tidak butuh otak pemirsa. Ia hanya membutuhkan perasaan dan kemurnian.
Membaca buku ini seperti nunggu adzan maghrib, butuh kesabaran, parah, hampir menyerah membacanya kalau bukan karena geregetan Santiago tak kunjung menangkap ikannya. Sebuah refleksi pergelutan "memancing ikan" pada nilai kehidupan.
The Old Man and The Sea menjadi karya Ernest Hemingway yang pertama kali saya selesaikan. Saya membaca versi inggrisnya. Kadang saya baca sambil menunggu koneksi internet laman pekerjaan atau saat menjelang tidur.Apa hikmah terbesar yang saya ambil dari buku ini?
Bahwa sesungguhnya ternyata keberadaan sebuah bab atau chapter dalam buku itu penting, hahaha. Rasanya sedikit menjengkelkan membaca buku tanpa ada jeda babak sama sekali. Seperti sesak napas, haha.
Bahwa sesungguhnya ternyata keberadaan sebuah bab atau chapter dalam buku itu penting, hahaha. Rasanya sedikit menjengkelkan membaca buku tanpa ada jeda babak sama sekali. Seperti sesak napas, haha.
Namun justru itu yang membuat buku ini unik dan kental sekali dengan sastra klasik. Artinya apa? Karya klasik didapuk sebagai tulisan yang tak kenal waktu, akan selalu hidup kapanpun kamu membacanya. Saya pikir tepat sekali dengan isi buku ini hehe.
Mula dari kisah ini cukup hangat. Bagaimana Santiago sang lelaki tua bersama seorang anak laki-laki yang dianggapnya seperti anak sendiri. Menggambarkan bagaimana dua orang manusia dapat saling berkorban, peduli, meski tak sedarah daging atau tak ditakdirkan menjadi tulang rusuk satu sama lain.
Lelaki tua selalu berkata pada anak lelaki itu, bahwa Ia bukan nelayan hebat kendati Ia sungguh dihormati oleh seluruh nelayan di penjuru pesisir tersebut. Ia merasa perlu untuk selalu bekerja keras setiap hari baru yang datang. Every tomorrow is a second chance.
Hingga kemudian dimulailah perjalanan nelayan tua yang memulai pergelutan dengan batinnya. Sederhana, saat memancing ikan. Begitulah bagaimana 2.5/3 buku ini menceritakan tentang "orang tua yang sedang memancing ikan di tengah lautan" tak disangka mengajarkan banyak hal mengenai kasih sayang, kepedulian, saling merasakan, kerendahan hati, ketekunan, bahkan sebuah rasa syukur.
Lelaki tua itu bahkan pernah merasa pilu ketika menusuk seekor ikan betina dengan tombaknya. Ia meminta maaf dengan sangat sopan pada ikan jantan yang selalu menemani berenang berputar-putar di sisi ikan betina sampai akhirnya mendarat di sampan lelaki tua. Sang jantan bahkan melompat lebih tinggi hingga ke mulut sampan, Ia berduka kekasihnya telah menjadi santapan lelaki tua. Sejak saat itu Santiago selalu berkontemplasi dengan batinnya saat hendak menangkap ikan apapun itu. Padahal Ia tahu, namanya juga nelayan, pekerjaannya apalagi kalau bukan menangkap ikan?
Bahwa sesungguhnya di dunia ini manusia tidak hidup sendiri. Bumi bukan hanya punya manusia. Ada hewan, lautan, bintang, dan angin malam yang bernafas bersama manusia.
Lihatlah bagaimana Santiago berdebat dengan batinnya. Rumit. Saya selalu mengernyitkan dahi setiap membaca bagian ini. Jadi teringat saat Ibrahim menyembelih Ismail karena Tuhan. Mungkin ini jawaban yang tepat ya, Ibrahim pasti mencintai Ismail, dan Ia tak membuat dosa dengan menyembelihnya. Maka Tuhan memang Maha Penyayang.
Mula dari kisah ini cukup hangat. Bagaimana Santiago sang lelaki tua bersama seorang anak laki-laki yang dianggapnya seperti anak sendiri. Menggambarkan bagaimana dua orang manusia dapat saling berkorban, peduli, meski tak sedarah daging atau tak ditakdirkan menjadi tulang rusuk satu sama lain.
"The thousand times that he had proved it meant nothing. Now he was proving it again. Each time was a new time and he never thought about the past when he was doing it."
Lelaki tua selalu berkata pada anak lelaki itu, bahwa Ia bukan nelayan hebat kendati Ia sungguh dihormati oleh seluruh nelayan di penjuru pesisir tersebut. Ia merasa perlu untuk selalu bekerja keras setiap hari baru yang datang. Every tomorrow is a second chance.
Hingga kemudian dimulailah perjalanan nelayan tua yang memulai pergelutan dengan batinnya. Sederhana, saat memancing ikan. Begitulah bagaimana 2.5/3 buku ini menceritakan tentang "orang tua yang sedang memancing ikan di tengah lautan" tak disangka mengajarkan banyak hal mengenai kasih sayang, kepedulian, saling merasakan, kerendahan hati, ketekunan, bahkan sebuah rasa syukur.
![]() |
| Sumber: medium.com |
Bahwa sesungguhnya di dunia ini manusia tidak hidup sendiri. Bumi bukan hanya punya manusia. Ada hewan, lautan, bintang, dan angin malam yang bernafas bersama manusia.
"You did not kill the fish only to keep alive and to sell for food, he thought. You killed him for pride and because you are a fisherman. You loved him when he was alive and you loved him after. If you love him, it is not a sin to kill him."
Lihatlah bagaimana Santiago berdebat dengan batinnya. Rumit. Saya selalu mengernyitkan dahi setiap membaca bagian ini. Jadi teringat saat Ibrahim menyembelih Ismail karena Tuhan. Mungkin ini jawaban yang tepat ya, Ibrahim pasti mencintai Ismail, dan Ia tak membuat dosa dengan menyembelihnya. Maka Tuhan memang Maha Penyayang.
***
"I wish I had a stone for the knife," the old man said after he had checked the lashing on the oar butt. "I should have brought a stone." You should have brought many things, he thought. But you did not bring them, old man.
Now is no time to think of what you do not have. Think of what you can do with what there is.
Salah satu pepatah yang banyak muncul di halaman motivasi saat ini dengan berbagai versi ternyata sudah lahir dari mulut lelaki tua sejak tahun 1951. Karya klasik membuka jalur yang luar biasa pengaruhnya pada kehidupan modern hari ini.
Alur ceritanya mungkin akan terkesan monoton. Saya akui sangat monoton. Tapi entah mengapa setiap perjalanannya di lautan terasa menenangkan dan hidup. Mengajarkan banyak hal. Utamanya kesabaran dan ketekunan. Classic yet unique, this is Heming-way.
Selamat membaca!
Selamat membaca!



0 komentar:
Posting Komentar