Sabtu, 06 Juli 2019

Senyap yang Lebih Nyaring, Kumpulan Esai Eka Kurniawan



"Menjelajah Pikiran Dunia melalui Senyap yang Lebih Nyaring"

Membaca “Senyap yang Lebih Nyaring” seakan berkelana menikmati bacaan dari berbagai sudut negeri di dunia. Mulai dari karya tanah air, Filipina, Jepang, Spanyol, Argentina, Brazil, Inggris, Amerika, Turki, hingga Italia. Baru saja menyelesaikan sepertiga bukunya, saya bak telah mengenal penulis yang sebelumnya asing di telinga saya seperti Orhan Pamuk, Roberto Bolano, Cesar Aira, Marquiz de Sade, Faulkner, Mc Carthy, Haruki Murakami, Katabawa, Borges, Gabriel Garcia Marquez, dan sejumlah penulis lainnya. Tentu saja penulis ternama pun juga kerap muncul sebut saja William Shakespeare, Hemingway, Pramoedya Ananta Toer, Seno Gumira Ajidarma, dan Eka Kurniawan. Berbagai judul buku dan film juga disebutkan dalam kumpulan esai ini dan sungguh, saya jadi ingin menikmati semuanya. Begitulah kekuatan tulisan Bapak Eka hingga membuat mata saya berbinar-binar, senyum sendiri, tertawa kecil, mengangguk, menggeleng, dan berpikir sepanjang menghabiskan buku ini.

Buku ini berhasil menciptakan sudut pandang baru dalam dunia kepenulisan, seperti novel, esai, cerita pendek, dan khususnya sastra. Tidak membahas dari segi teori, namun lebih dalam dari itu. Dimulai dari hal yang sangat dasar seperti bagaimana cara menulis novel, bagaimana cara menerbitkan karya di sebuah media, kriteria sastra yang baik, apa saja yang dibaca oleh penulis hebat, hingga bagaimana menilai sebuah karya tanpa membacanya.Mungkin hal pertama yang terlintas akan judul tersebut adalah tulisan teoritis. Syukurlah, saya salah. Tulisan hingga 1000 kata Eka Kurniawan tak pernah berbicara seilmiah itu meski dengan segudang pengalaman dan ilmu yang ia miliki. Dengan gaya nyentriknya, tulisan singkat dalam buku ini tak pernah membosankan dan selalu berhasil menyampaikan maksudnya pada pembaca. 

Meski pada salah satu tulisannya ia berkata bahwa tak semua tulisan harus memiliki nilai moral untuk disampaikan, kalau penulis hanya ingin bersenang-senang menulis ceritanya, apakah sebuah pesan masih harus tetap ada di dalamnya? Toh itu karya mereka, bukan untuk menyenangkan kalian, tapi untuk menyenangkan dirinya sendiri.

Buku ini berisi 107 esai sejak 2012-2014 yang ditulis dalam blog pribadinya. Saya menobatkan kumpulan esai tahun 2013-nya adalah yang terbaik-yang lain sama pula baiknya. Bapak Eka mampu menuangkan pikiran berkelitnya dalam kumpulan kata yang sangat efektif-nan indah-namun tetap mengena. Masih menjadi cita-cita saya untuk mampu menulis seperti beliau-setidaknya setelah membaca buku ini.

Menamatkan buku 350 halaman ini membuat saya ingin segera menikmati karya sastra lainnya. Baik dalam negeri maupun luar negeri. Bapak Eka membuka mata hati saya untuk selalu terbuka pada tulisan siapapun-yang sebelumnya skeptis pada sastra luar negeri atau karya penulis tak dikenal. Dalam salah satu esainya ia menyiratkan untuk tidak membaca karya penulis terkenal saja, banyak penulis hebat di luar sana yang karyanya tidak terlalu laris di permukaan, namun berkualitas jauh lebih baik dari itu. Salah satu alasannya ternyata memang penulis-penulis senyap tersebut sengaja tidak memilih penerbit ternama, agar bukunya susah dicari dan hanya penikmat seni tulen yang akhirnya menyentuhnya.

Mencari kutipan bagus? Jangan takut kehabisan kutipan keren dalam tulisan Bapak Eka. Salah tiga yang menjadi favorit saya adalah tentang menciptakan ruang kosong dalam tulisan. Baginya, ruang kosong bukan hanya boleh, namun perlu untuk dimasukkan dalam sebuah cerita. Seperti tanda 0 dalam not musik, jeda dalam sebuah lagu merupakan bagian dari keindahan lagu itu sendiri. Pun dalam lukisan, ruang kosong yang tercipta dalam gambar juga bagian dari gambar itu sendiri. Sama seperti keseharian, manusia juga membutuhkan ruang kosong dalam dirinya. Untuk menghargai orang lain, untuk diisi dengan ilmu-ilmu baru, agar tidak selalu penuh dan menjadi jumawa. Juga ruang kosong dalam kesibukan kita, berilah sedikit jeda dalam setiap harimu. Agar bisa merenungkan hal baik apa yang sudah kita lakukan hari ini dan seberapa besar nikmat Tuhan yang selalu kita dapatkan setiap harinya? Percayalah, kita membutuhkan ruang kosong itu.

Dua kutipan berkelas lainnya:

“Kesadaran akan kerapuhan barangkali akan membuat kita rendah hati, bahwa segala sesuatu tak perlu diperlakukan berlebihan. Sebab segalanya akan mati, punah.”-Eka Kurniawan.
“Ada satu pertanyaan Candide yang sangat menohok di bagian ini: Bagaimana penduduk Eldorado berdoa kepada Tuhan? Jawaban mereka: “Kami tidak berdoa kepada Tuhan, sebab kami tak memiliki apa pun untuk diminta. Tuhan sudah memberikan semua yang kami butuhkan.” Tonjkankeras utuk kaum beragama, bukan? Bahwa orang-orang Eldorado ini, yang tak pernah berdoa, justru mengagungkan Tuhan seagung-agungnya sebagai “memberi semua yang kau butuhkan.”-Eka Kurniawan.
Sekali lagi, itu hanya opini saya. Seperti Bapak Eka bilang, bahwa selera setiap orang bisa berbeda, namun bagi penulis-tak hanya penulis-setiap orang harus belajar bertanggung jawab atas apa yang dikerjakan oleh otaknya-yang menjadi sumber berbagai perkataan, perbuatan, dan prasangka. Berpikir sebelum bertindak, bercakap, dan menilai. Semua orang dilahirkan dengan perasaan, bukan hanya anda saja. Maka sejatinya seni memahami orang lain itu prinsip utama dalam hidup-bagi saya.

Terima kasih Bapak Eka untuk kumpulan esai Senyap yang Lebih Nyaring ini. Berbagai pelajaran hidup sangat banyak saya dapatkan, lebih dari buku berlabel “pengembangan diri.” Tulisan Bapak Eka lainnya dapat dinikmati dalam jurnal pribadinya yang masih aktif hingga hari ini di ekakurniawan.com. Bagi yang sedang haus akan tulisan singkat namun menyenangkan-seperti naik roller coaster, buku ini menjadi rekomendasi saya di paruh tahun 2019 ini, selamat membaca!


0 komentar:

Posting Komentar

Orang Baik

Powered By Blogger

Jejak Istimewa