Minggu, 26 Juli 2020

Inilah Resensi, Muhidin M. Dahlan, Belajar Menulis di Perpustakaan Tua


Seorang mentor merekomendasikan buku ini kepada saya, “Inilah Resensi” judulnya, digubah oleh Muhidin M. Dahlan. Ia juga mendorong saya untuk “Ayo, kamu belajarlah menulis mumpung masih muda, aku menyesal karena nggak mulai rajin menulis sejak dulu, sekarang ingin rutin menulis sudah tidak bisa fokus karena pekerjaan ini-itu.”

Kalau dipikir-pikir, substansi Inilah Resensi  tak jauh berbeda dengan buku paket Bahasa Indonesia saat SMA dulu. Isinya menjelaskan secara lengkap mulai dari struktur resensi, ilmu dan pengetahuan dasar mengenai apa itu resensi, bagaimana cara memulai sebuah resensi dan menaklukkan tiap bagiannya judul, pembuka, narasi tubuh, hingga penutup. Poin nomor 3 tentang “Metode Penulisan” dan nomor 7 "Cerita yang Menonjol" pada Bab “Narasi-Narasi di Tubuh Resensi” menjadi pilihan untuk saya coba implementasikan pada resensi kali ini. Muhidin M. Dahlan membaca, mengkompilasi, dan memilah 150 peresensi dan 250 resensi sejak 1902 hingga 2015 untuk menjadi bahan baku terciptanya buku Inilah Resensi. Kurang niat apa beliau?

Bagian kesukaan saya seiring membaca sebuah buku ialah setiap menemukan kata maupun kalimat yang benar asing sebelumnya, kisah dan paragraf yang tak pernah terpikirkan mungkin terjadi, nama-nama tokoh yang aestetik, juga judul berbagai karya yang mungkin susah ditemukan hari ini. Misalnya saja, dulu sebelum media sosial merajalela, resensi pernah menjadi alat untuk saling berkomentar pedas satu sama lain.

Bayangkan saja, pada sebuah koran publik Tjan Kiem Bie meresensi roman Mata Gelap karya Mas Marco Kartodikromo dengan kalimat penutup “… Jadi buang saja (buku) itu di dalam keranjang kotor. Memang di situ, menurut seharusnya, itu buku musti dapat tempat.” (teks asli ditulis dalam ejaan lama).

Kira-kira kalau zaman sekarang ada yang menulis seperti itu di koran apa tidak viral dimana-mana? Tuntutan bermunculan, komentar tidak berdasar bertaburan. Bedanya, Marco justru menanggapi resensi tersebut dengan resensi pula, lengkap dengan kllarifikasi dengan kritis setiap paragraf yang dianggap bermasalah.

Berbagai judul buku ekonomi rekomendasi Soemitro Djojohadikusumo juga muncul dalam Bagian Satu buku ini yaitu menilik bagaimana tokoh yang tidak dikenal sebagai penulis justru menggeluti dunia resensi karena bagi mereka, buku sudah menjadi bagian hidup mereka: Soekarno, Hatta, Purbatjaraka, Swantoro, Sumitro, dan Jassin).

(dokumen pribadi)

Melalui buku ini, saya diingatkan, bahwa kekuatan resensi itu tidak main-main. Resensi mampu memperkenalkan karya satu sama lain, alat penyampaian aspirasi, penggali dukungan orang lain, media untuk mengkritisi tokoh politik, bahkan menjelma sebagai surat untuk menuntut turunnya peredaran sebuah buku yang memang dianggap kurang bisa membawa edukasi baik bagi pembaca. Sayangnya, hari ini sepertinya resensi sudah tidak laku dan tidak seseru seperti yang saya temukan di buku ini.

Kata demi kalimat terangkai apik dan elegan, ringkas, langsung ke poin utamanya dengan menyertakan contoh resensi dari berbagai jenis buku dan penulis pada masanya. Tidak ada alasan untuk tidak membaca buku ini, bagi saya, rasanya membaca buku ini seperti menyusuri lorong perpustakaan tua dengan buku-buku antik yang tak akan kamu temukan di tempat lain.

Satu hal lagi, ada tambahan tips dari penulis pada setiap partisi babnya, kurang lengkap apa coba? Memanggil kembali ajakan mentor saya, menulis resensi ternyata juga bisa menjadi kurikulum mengasah kemampuan menulis seseorang. Selamat membaca! 


0 komentar:

Posting Komentar

Orang Baik

Powered By Blogger

Jejak Istimewa