Senin, 03 Januari 2022

Review "Senja di Jakarta" Mochtar Lubis

Sumber: Wikipedia


๐Ÿ“š Tentang Buku:

Potret dunia Jakarta kala 1950-an di mana Mochtar Lubis menulis buku ini saat masih di penjara. Salah satu buku kritik dalam sastra yang keren dan lugas.

Kisah fiksi di dalamnya menghidupkan beberapa tokoh utama yang terlibat korupsi untuk upaya pemenangan partai dalam pemilu. Bersamanya diselingi tokoh pendukung mulai dari kalangan bangsawan, jurnalis, proletar, hingga medioker.

๐ŸŒŠGaya Penulisan dan Alur:
Meskipun gaya penulisan alurnya dibuat lompat antar tokoh utama, namun benang merah yang dimaksud sangat kentara.

Bagaimana para penguasa memperkaya golongannya, bagaimana media sebenarnya tidak bisa semudah itu dipercaya, bagaimana proletar mudah dibodohi karena tak ada pilihan lain, bagaimana kesemuanya itu menurut saya masih terjadi tipis-tipis di zaman sekarang, hanya dengan metode dan bentuk yang berbeda.

Hingga pada akhirnya semua permainan tersebut merugikan lapisan masyarakat paling rendah dan para biang keroknya dengan mudah hanya mundur dari kabinet untuk kemudian dibentuk kabinet baru untuk kemudian dilawan lagi oleh tim oposisi baru. Begitu saja seterusnya. Pantas saja yang kaya semakin kaya, yang melarat semakin melarat.

๐Ÿง”Penokohan:
Penggambaran kehidupan setiap kelas sosial ditunjukkan dengan relevan di sini. Seperti misalnya bagaimana dua tokoh pemulung, Itam dan Saimun, yang hanya dengan menghirup sebatang kretek saja sudah menjadi kebahagiaan luar biasa. Namun di sisi lain selalu merutuki nasibnya menjadi orang miskin, tak mau berupaya lebih, dan hanya diam menunggu pemerintah yang sebenarnya tidak peduli sama sekali dengan mereka.

Sedangkan misalnya, Pranoto dan Yasrin, sebagai kelas medioker memiliki masalah krisis eksistensialisme pekerjaan di sini. Jurnalis yang selalu merasa menang, Halim, sebenarnya justru iblis paling bahaya dalam konflik ini. Raden Kaslan dan Husin Limbara, politikus dengan segala kemudahannya menghamburkan dan mendapatkan uang.

Satu lagi, jangan lupakan tokoh perempuan dalam kisah ini: Iesye, Fatma, Hasnah, Dahlia, dan Neneng. Kala itu perempuan tak dapat berbuat banyak selain memuaskan gengsi para lelaki. Saya teringat novel Eka Kurniawan, Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas, di mana perempuan juga masih digambarkan tak berdaya, hanya mengikuti arus kehidupan saja. Namun di novel ini, meski tak dapat berbuat, ditunjukkan bahwa cara berpikir para perempuan lebih rasional, fokus, lugas, dan paling penting, intuitif.

๐ŸŽชKeunikan:
Meskipun buku ini mayoritas menggambarkan pesimisme terhadap keadaan sebuah negara, Mochtar Lubis masih menyelipkan perasaan kemanusiaan dan gelisah pada koruptor itu. Suryono dan Sugeng contohnya, dua tokoh yang menurut saya patut diperhatikan dalam pengembangan karakter novel ini.

Pesimisme dan optimisme hidup berdampingan dalam novel ini. Setidaknya, itu yang saya rasakan.

Laporan Kota juga diselipkan dalam setiap bab. Mungkin tujuannya untuk memberi sedikit warna tentang bagaimana keadaan Jakarta di sudut-sudut kota saat itu.

๐ŸŒŸBagian Favorit:
Pendapat Suryono tentang eksistensialisme menjadi bagian favorit saya. Kira-kira apabila saya kutip ulang seperti ini, 

"Nasib manusia dalam sebuah negara tidak dipengaruhi masyarakat sekitarnya maupun susunan ekonominya, akan tetapi dalam dirinya sendiri. Harus yakin bahwa dia itu ada."

Kalau dikaitkan dengan buku The Laws of Human Nature karya Robert Greene, sebenarnya ide eksistensialis ini justru yang paling relevan.

Adegan diskusi sepanjang buku yang dibuat cukup memeras otak, meskipun maksud sebenarnya sebagai sindiran, "kebanyakan analisa dan diskusi tapi tak ada aksi." Saya akui ini bagian paling berkesan.

Kekurangan Menurut Saya:
Beberapa paragraf terkesan terlalu rumit dan diulang-ulang. Kadang agak pusing bacanya. Masalah politik yang kurang komprehensif penjelasannya juga membuat saya kadang kurang paham bagaimana praktik korupsi itu sebenarnya terus lestari di dunia politik. 

Laporan kota yang disajikan kurang relevan dengan kasus utama, namun tak apa, anggap saja sebagai kisah sampingan. Penyelesaian kisah yang cukup pesimis dapat dimaafkan karena tersirat sedikit berkas-berkas harapan.

๐ŸŒKonklusi:
Secara keseluruhan, saya suka bagaimana setiap tokoh memiliki perannya masing-masing untuk menghidupkan novel ini. Salah satu fiksi sejarah Indonesia terbaik sepanjang daftar bacaan saya. Penggambaran Jakarta yang tidak muluk-muluk namun terasa sekali relevansinya, serta membuka wawasan tentang permainan sosial-politik-media secara permukaan.

Kritik tajam tersurat dalam setiap percakapan dan adegannya. Tidak hanya untuk salah satu kalangan, tapi seluruhnya, setidaknya di Jakarta. 

0 komentar:

Posting Komentar

Orang Baik

Powered By Blogger

Jejak Istimewa