“Jakarta, kota yang senantiasa bergegas tapi kerap kita rasa tak bergerak kemana pun.” -Catatan Editor Cerita Cerita Jakarta, Teddy W. Kusuma dan Maesy Ang.
Saya benar-benar tertawa saat membacanya. Memang selalu
seperti itu, Jakarta dan segala hiruk pikuknya, lampu merah dimana-mana yang
selalu membuat saya tak berhenti melihat jam tangan, mata yang perih setiap
menghabiskan empat puluh menit perjalanan berangkat dan pulang kantor, memastikan
jam berangkat setiap kereta komuter atau transjakarta jangan sampai ketinggalan
karena sekali ketinggalan hancur sudah rencanamu seharian, atau bagaimana
mengantri obat dan layanan publik yang minimal menghabiskan setengah jam
mungkin? Kita semua tahu itu, Jakarta selalu bergegas, kalau tidak kamu akan
ketinggalan.
Tapi pada kenyataannya, saya hanya terjebak dalam kota penuh
romansa, suka cita, masygul, dan pelik kehidupan ini, yang selalu membuat saya
jatuh cinta lagi dan lagi. Jatuh cinta pada setiap sudut tempat pedagang
asongan atau tukang ojek mangkal, pada proyek-proyek mangkrak yang entah kapan
akan berhasil mengurangi kemacetan Jakarta, pada sudut-sudut kedai romantis di
Blok M atau Jalan Sabang, pada gedung-gedung pencakar yang selalu membuat kepala
saya mendongak sepanjang Jalan Sudirman, pada setiap halte dan trotoar yang
dipenuhi pejalan kaki yang entah kemana tujuan mereka hari itu, hingga pada
setiap langit senja atau malam pekat penuh polusi, namun saat bulan purnama atau
langit jingga tiba, saya tak pernah berhenti bersyukur pernah menjadi bagian
dari kota ini.
Sekali lagi buku atau tulisan tentang Jakarta memang tak
pernah mengecewakan. Setelah sebelumnya menggandrungi Affair yang didapuk sebagai
obrolan urban homojakartanesis oleh Seno Gumira Ajidarma, semalam saya
baru saja menyelesaikan kumpulan cerita pengalaman dari sudut pandang 10 spesies
homojakartanesis lainnya.
![]() |
| Dokumen pribadi |
Kumpulan cerita dalam Cerita-Cerita Jakarta terasa ditata sedemikian rupa sehingga sejak catatan editor, pilihan cerita pembuka, hingga pilihan cerita penutup, semuanya berhasil mengiringi emosi pembaca dengan sangat tenang sekaligus menyenangkan. Tidak terkesan buru-buru untuk mencapai klimaks, menyebut setiap sudut tempat di Jakarta yang ingin disebutkan, menciptakan apapun tokoh yang ingin diciptakan, memanggil latar peristiwa manapun dan kapanpun yang ingin diungkit, hingga berakhir dengan bagaimanapun ending yang diinginkan. Tanpa peduli dengan bagaimana pembaca akan merespon.
Hal itu saya rasakan pada cerita pembuka. Judulnya saja
sudah mengganggu saya sedemikian rupa. B217AN. Ratri Ninditya berhasil membuat
saya menikmati setiap kalimatnya tanpa jeda. Ringan dan cukup membuat saya can
relate. Namun tiba-tiba di akhir bagian, saya hampir dibuat mengamuk dengan
penyelesaiannya yang tak memberi kejelasan. Bahasa kerennya open ending mungkin
ya? Tapi lebih tepatnya yang ada di pikiran saya: apakah saya terlalu bodoh
masa tidak paham dengan ending ceritanya?
![]() |
| Dokumen Pribadi |
Dan setelah mengetahui arti judul tersebut, barulah cerita
tersebut mulai terasa logis dalam otak saya.
Kisah-kisah berikutnya diwarnai latar yang sangat bervariasi,
dan itu yang saya tunggu! Mulai dari kantor pemerintahan, Jalan Gatot
Subroto-yang sehari-hari saya lewati-hingga Senayan, Kampung Melayu Pulo Gebang
di Jatinegara, Dunia Fantasi di Taman Impian Jaya Ancol, Taman Ismail Marzuki, Stasiun
Pondok Cina dan Margonda City milik Kota Depok, serta Kramat Tunggak dan Pantai
Mutiara di Jakarta Utara.
Salah satu cerita favorit saya jatuh kepada Matahari
Tenggelam di Utara gubahan Cyntha Hariadi. Sebuah realita persahabatan
dua manusia berbeda kelas sosial dalam lingkungan sekolah, dua remaja naif yang
baru tahu rasanya melumat bibir manusia dan menjadi ketagihan, dua jiwa yang meskipun
sedalam apapun kalian jatuh cinta, kalau sudah ditampar dengan kejamnya dunia,
naluri untuk menyelamatkan diri sendiri memang akan selalu menang. Menampik keras
sebuah omong kosong “aku rela melakukan apapun demi kamu, meski harus
mengorbankan nyawaku.” Tai kucing! Realistis bro realistis, Cyntha
berhasil merangkai kenaifan remaja yang kebanyakan ditutup-tutupi oleh anak-anak
zaman sekarang dalam cerita ini. Hats off!
Dari dulu saya selalu jatuh cinta dengan tempat-tempat yang
menemani saya tumbuh, jatuh cinta, tersandung, dan bangkit lagi. Salah satunya
Jakarta, tempat saya tumbuh lima tahun terakhir. Buku ini membuat saya ingin
membuat kompilasi cerita sejenis, namun judulnya saya ganti, Cerita-Cerita
Bintaro. Ya, secara teknis saya memang hidup di pinggiran Jakarta, Bintaro.
![]() |
| Dokumen Pribadi |




0 komentar:
Posting Komentar