Minggu, 04 Juli 2021

Cerita Cerita Jakarta a.k.a The Book of Jakarta (Review Buku)

“Jakarta, kota yang senantiasa bergegas tapi kerap kita rasa tak bergerak kemana pun.” -Catatan Editor Cerita Cerita Jakarta, Teddy W. Kusuma dan Maesy Ang.

Saya benar-benar tertawa saat membacanya. Memang selalu seperti itu, Jakarta dan segala hiruk pikuknya, lampu merah dimana-mana yang selalu membuat saya tak berhenti melihat jam tangan, mata yang perih setiap menghabiskan empat puluh menit perjalanan berangkat dan pulang kantor, memastikan jam berangkat setiap kereta komuter atau transjakarta jangan sampai ketinggalan karena sekali ketinggalan hancur sudah rencanamu seharian, atau bagaimana mengantri obat dan layanan publik yang minimal menghabiskan setengah jam mungkin? Kita semua tahu itu, Jakarta selalu bergegas, kalau tidak kamu akan ketinggalan.

Tapi pada kenyataannya, saya hanya terjebak dalam kota penuh romansa, suka cita, masygul, dan pelik kehidupan ini, yang selalu membuat saya jatuh cinta lagi dan lagi. Jatuh cinta pada setiap sudut tempat pedagang asongan atau tukang ojek mangkal, pada proyek-proyek mangkrak yang entah kapan akan berhasil mengurangi kemacetan Jakarta, pada sudut-sudut kedai romantis di Blok M atau Jalan Sabang, pada gedung-gedung pencakar yang selalu membuat kepala saya mendongak sepanjang Jalan Sudirman, pada setiap halte dan trotoar yang dipenuhi pejalan kaki yang entah kemana tujuan mereka hari itu, hingga pada setiap langit senja atau malam pekat penuh polusi, namun saat bulan purnama atau langit jingga tiba, saya tak pernah berhenti bersyukur pernah menjadi bagian dari kota ini.

Sekali lagi buku atau tulisan tentang Jakarta memang tak pernah mengecewakan. Setelah sebelumnya menggandrungi Affair yang didapuk sebagai obrolan urban homojakartanesis oleh Seno Gumira Ajidarma, semalam saya baru saja menyelesaikan kumpulan cerita pengalaman dari sudut pandang 10 spesies homojakartanesis lainnya.

Dokumen pribadi

Kumpulan cerita dalam Cerita-Cerita Jakarta terasa ditata sedemikian rupa sehingga sejak catatan editor, pilihan cerita pembuka, hingga pilihan cerita penutup, semuanya berhasil mengiringi emosi pembaca dengan sangat tenang sekaligus menyenangkan. Tidak terkesan buru-buru untuk mencapai klimaks, menyebut setiap sudut tempat di Jakarta yang ingin disebutkan, menciptakan apapun tokoh yang ingin diciptakan, memanggil latar peristiwa manapun dan kapanpun yang ingin diungkit, hingga berakhir dengan bagaimanapun ending yang diinginkan. Tanpa peduli dengan bagaimana pembaca akan merespon.

Hal itu saya rasakan pada cerita pembuka. Judulnya saja sudah mengganggu saya sedemikian rupa. B217AN. Ratri Ninditya berhasil membuat saya menikmati setiap kalimatnya tanpa jeda. Ringan dan cukup membuat saya can relate. Namun tiba-tiba di akhir bagian, saya hampir dibuat mengamuk dengan penyelesaiannya yang tak memberi kejelasan. Bahasa kerennya open ending mungkin ya? Tapi lebih tepatnya yang ada di pikiran saya: apakah saya terlalu bodoh masa tidak paham dengan ending ceritanya?

Dokumen Pribadi


Karena tak mau dianggap kalah, saya membaca ulang cerita tersebut, saya telusuri setiap bagian, meski tetap saja saya tak mendapat jawaban. Apalagi judulnya yang saya kira terbaca “Brijan”? Sampai akhirnya saya menyerah dan menelusuri google. Setelah mendapat jawaban atas judul tersebut, saya hanya terkekeh dan merasa benar-benar bodoh. “Berdua Satu Tujuan”. Sesimpel itu bodoh!

Dan setelah mengetahui arti judul tersebut, barulah cerita tersebut mulai terasa logis dalam otak saya.

Kisah-kisah berikutnya diwarnai latar yang sangat bervariasi, dan itu yang saya tunggu! Mulai dari kantor pemerintahan, Jalan Gatot Subroto-yang sehari-hari saya lewati-hingga Senayan, Kampung Melayu Pulo Gebang di Jatinegara, Dunia Fantasi di Taman Impian Jaya Ancol, Taman Ismail Marzuki, Stasiun Pondok Cina dan Margonda City milik Kota Depok, serta Kramat Tunggak dan Pantai Mutiara di Jakarta Utara.

Salah satu cerita favorit saya jatuh kepada Matahari Tenggelam di Utara gubahan Cyntha Hariadi. Sebuah realita persahabatan dua manusia berbeda kelas sosial dalam lingkungan sekolah, dua remaja naif yang baru tahu rasanya melumat bibir manusia dan menjadi ketagihan, dua jiwa yang meskipun sedalam apapun kalian jatuh cinta, kalau sudah ditampar dengan kejamnya dunia, naluri untuk menyelamatkan diri sendiri memang akan selalu menang. Menampik keras sebuah omong kosong “aku rela melakukan apapun demi kamu, meski harus mengorbankan nyawaku.” Tai kucing! Realistis bro realistis, Cyntha berhasil merangkai kenaifan remaja yang kebanyakan ditutup-tutupi oleh anak-anak zaman sekarang dalam cerita ini. Hats off!

Dari dulu saya selalu jatuh cinta dengan tempat-tempat yang menemani saya tumbuh, jatuh cinta, tersandung, dan bangkit lagi. Salah satunya Jakarta, tempat saya tumbuh lima tahun terakhir. Buku ini membuat saya ingin membuat kompilasi cerita sejenis, namun judulnya saya ganti, Cerita-Cerita Bintaro. Ya, secara teknis saya memang hidup di pinggiran Jakarta, Bintaro.

Dokumen Pribadi


Sepuluh cerita yang saya rasa tak akan membosankan mau dibaca berapa kalipun. Menemani masa-masa karantina di ibukota, jauh dari orang tua dan saudara, pun sahabat dan rekan kerja yang juga sedang menyelamatkan dirinya masing-masing. Kalian bisa mengunjungi @post_santa untuk mengantarkan buku ini sampai pada rumah tercinta kalian. Selamat membaca!

 

0 komentar:

Posting Komentar

Orang Baik

Powered By Blogger

Jejak Istimewa