“Kamu mau memilih secara rasional atau emosional? Semuanya kembali ke kamu.”
Beberapa hari sebelum merayakan 20122020 saya dapat wejangan
ini dari Mas Gita. Ah seperti biasa, Mas Gita kalau ngasih saran selalu
mencerahkan. Kebanyakan bikin tertampar sih. Kalau saya dilahirkan kembali dan
diberi kesempatan ingin punya kakak seperti siapa, mungkin Mas Gita jawabannya.
Tiga tahun lalu saya ketemu Mas Gita di salah satu
kepanitiaan kampus, awalnya nggak tahu itu siapa, tiba-tiba nanya IPK terus
minta saya jadi wakil ketua dalam organisasi yang akan beliau pimpin saat itu.
Wah, ini orang kenal saya saja belum tiba-tiba menghakimi hanya dari nilai
keberuntungan saya di tahun pertama ngampus.
Kesan pertama memang agak skeptis sih, pemikirannya
terlampau visioner, teori dan pengalamannya banyak sekali, cukup bertolak
belakang dengan sudut pandang saya waktu itu. Ternyata saya seberuntung itu
bisa kenal Mas Gita. Beliau membuka paradigma yang nggak pernah saya tahu
sebelumnya, memperkenalkan saya dengan banyak orang baru, keren-keren pula, semakin
menyadarkan bahwa saya hanya remahan rinso.
Sebelum kuliah, saya tidak pernah baca buku selain buku
pelajaran. Ya terkadang novel-novel teenlit semacam “Love Detective” atau “Pacarku
Juniorku”. Mas Gita inilah yang mengimbau saya untuk mulai suka membaca. “Mulai
baca aja dulu, buku apa aja boleh.” Seingat saya itu kalimat yang sering beliau
ulang-ulang. Mau nggak mau jadi mulai minjem-minjem buku buat dibaca, sampai sekarang
jadi suka checkout buku dari @post_santa.
Nggak berhenti di baca buku, disuruh nulis juga. Akhirnya mulailah belajar nulis juga, entah dapet hidayah dari mana pokoknya nulis aja. Saya nggak ingat tulisan saya pertama kali apa, intinya sampai hari ini saya sangat merasakan manfaatnya, senang bukan main, bangga.
Kalau bukan karena Mas Gita ngajarin saya nulis, belum tentu bisa jalan-jalan gratis walaupun baru di sekitar Jawa saja.
Kalau waktu itu Mas Gita nggak mengomentari tulisan saya, “Paragraf satu ganti pokoknya, aku geli bacanya,” mungkin nggak jadi dapet auto A di salah satu mata kuliah horror.
Kalau nggak disuruh baca tulisan Eka Kurniawan atau Seno Gumira Ajidarma, belum tentu bisa ketemu Pak Jusuf Kalla di kompetisi esai JK tahun 2019 lalu. Kalau nggak dikirimin sepaket buku Muhidin M. Dahlan, nggak mungkin resensi buku “Inilah Esai” saya bisa dilike sama Gus Muh di Instagram. Dan masih banyak kalau-nggak-kalau-nggak lainnya.
Hah intinya bersyukur banget bisa kenal Mas Gita. Hari ini
beliau merayakan hari terhebatnya sepanjang hidup. Setelah 5 hari lalu memasuki
umur kepala 3, hari ini kamu diberkati oleh seorang teman hidup yang kamu
tunggu sejak lama. Seseorang yang kamu nggak bisa kehilangan senyumnya.
Dulu, boro-boro ngomongin pacar, obrolannya politik mulu,
kalau nggak ya pajak. Misalnya disuruh bikin bucket list nih, paling Mas Gita cuma
nulis 3 poin terus udah. Mas Gita itu orang paling tidak ambisius yang pernah
saya kenal, tapi satu per satu cita-citanya terus diraih, tak bersuara. Sekalinya
bikin pengumuman, bikin gempar sejagat raya. Nggak pernah mau mengudara, lebih suka mengayomi dari balik layar.
Selamat ulang tahun dan selamat menempuh hidup baru, Gita Wiryawan a.k.a Gita Wiryawan. Manusia yang mau berapapun versi yang ada di dalam dirinya, kalian tak akan peduli, dia tetap Gita Wiryawan yang kalian kenal. Semoga segala doa-doa yang kamu panjatkan, dikabulkan Yang Maha Kuasa. Jujur, kamu terlihat bahagia beratus kali lipat hari ini dan aku yakin seterusnya. Semoga selalu diberkati oleh Tuhan, menjadi keluarga yang tak putus bahagianya hingga hari tua. Godspeed! As you always said.
Bintaro, Minggu, 20 Desember 2020.

0 komentar:
Posting Komentar