Kamis, 13 Mei 2021

Sebuah Malam di Sebuah Kampung


Mengendarai motor malam hari memang selalu menyenangkan bagi Prapti. Melihat suasana kota dan menikmati hiruk pikuknya. Menghirup udara penuh polusi dan merasakan angin malam menerjang. Setiap hari Prapti harus menempuh perjalanan 30 menit lamanya untuk pulang dari kantor menuju kos,
vice versa. Kadang berhenti sebentar kalau tiba-tiba sliwer ngantuk di jalan. Tapi kalau ada teman yang nebeng pulang bareng, Prapti sangat senang, jadi ada teman ngobrol di jalan dan nggak ngantuk.

“Loh kok belok sini, Ti? Kosmu kan masih jalan lurus lagi?” tanya Rini yang nebeng Prapti malam itu. Katanya malam ini Rini menghabiskan waktu di rumah saudaranya yang kebetulan satu kawasan dengan kosan Prapti.

“Aku mau mampir beli jajan sama teh botol, Rin. Di kompleks nggak ada kelontong, kudu belok ke kampung sini dulu,” jawab Prapti.

“Bukannya ada Indomaret to di depan gangmu?” tanya Rini.

“Kalau mau ngabisin duit itu mending ke warung kelontong di kampung gini, Rin. Biar laris dagangan mereka. Kalau Indomaret sama Alfamart mah pasti laris tiap hari!”

“Halah kamu ini sok baik, Prapti..”

“Lho beneran, Rin.. Setiap hari aku ganti-ganti kalo beli jajan. Kalau hari ini sudah di kelontong depan pos satpam, besok aku ke kelontong yang di deket tukang nasi goreng di dalem. Besoknya lagi beli di warung yang 24 jam itu, kadang juga mampir beli pia coklat di warung sebelah portal.”

Kata Prapti biar adil, nggak satu warung aja yang dia larisin, yang lain-lainnya juga biar laris.Rini hanya menggeleng-gelengkan kepala sembari tertawa kecil mendengar cerita temannya itu. Prapti memarkir motornya di depan warung kelontong depan pos satpam yang dia sebutkan tadi. Kata Prapti lagi, warung kelontong yang satu ini jual dimsum terenak sekampung ini.

“Bu mau dimsumnya yang isi 6. Campur saja, Bu” pesan Prapti pada Ibu warung.

“Jalanan rame nggak, Mbak?” tanya Si Ibu sambil menyiapkan dimsum pesanan Prapti.

“Sepi banget, Bu. Sudah pada pulang kampung kalau nggak ya lagi makan opor ayam kali di rumah.” Jawab Prapti sambil memilih-milih jajan yang sedang ingin Ia cemil malam ini.

“Iya ya sepi. Aku ya bingung mau kemana, Mbak. Ini tadi aja aku pas buka puasa nangis Mbak, kangen Ibu nggak bisa pulang kampung. Mangkannya ya jualan aja kayak biasa, biar nggak nangis.” Curhat Si Ibu.

“Hehe iya Bu, yang sabar ya Bu..” kata Prapti.

“Aku kalau sendiri gini Sukanya masak, Mbak. Ini aku masak opor ayam banyak banget sampai om-om ojek online yang mampir tak suruh makan dulu pas buka puasa tadi. Nggak bisa bagi-bagi duit ya bagi-bagi makanan to Mbak, Om-Om Ojol tadi aja pada seneng katanya baru kali ini makan opor pas malam lebaran,” Curhat Si Ibu lagi.

“Wah iya to, Bu? Bener bu, kalau di kampung juga saya mesti disuruh anter-anter lontong sayur ke tetangga.” Kata Prapti sambil menyerahkan uang pas kemudian mengambil kresek dimsum dan jajannya seraya mengucap terima kasih.  Sembari menyalakan motornya kembali Prapti bilang ingin beli opor ayam dulu di warteg pincuk belakang. Rini hanya mengangguk ngikut saja. Sesampainya di warteg, Si Bapak Warteg langsung berdiri dan menyambut Prapti dengan senyuman.

“Bungkus, Mbak?” tanya Si Bapak Warteg.

“Iya Pak, pakai nasi setengah saja ya Pak, sama opor sama orek tempe.” Prapti memesan makanannya.

“Mbak kalau nggak kemana-mana besok lebaran kesini saja mbak, makan opor bareng.” Kata Si Bapak sembari menyendok opor ayam dan menuangkan ke nasi bungkus.

Prapti sedikit terkejut mendengar ucapan si Bapak. Kemudian tertawa kecil dan mengiyakan, membayar, dan mengucap banyak terima kasih. Saat hendak menaiki motornya, Ia terlihat menyeka matanya.

“Loh? Kamu ngapain nangis, Prapti?” tanya Rini kebingungan.

“Kangen rumah, Rin.” Jawab Prapti. Rini baru sadar Prapti terharu karena ucapan Bapak warteg tadi. Sebagai anak rantau, Prapti sudah dua tahun ini tidak pulang kampung di hari besar yang mestinya dirayakan bersama keluarga.

“Kamu emang deket ya sama bapak ibu warung di kampung ini,” kata Rini sambil tersenyum.

“Ya meskipun nggak kenal namanya, tapi mereka kalau aku datang pasti diajak ngobrol, baik-baik emang mereka, kadang juga dibonusin gorengan gitu.” Jawab Prapti.

Rini mengangguk-angguk mendengar cerita Prapti. Kata Prapti lagi, tujuan dia ganti-ganti warung juga biar cerita yang dia dengar setiap hari beda-beda. Ngobrol bersama orang-orang yang jauh dari pekerjaan gedung-gedung pencakar setelah seharian duduk di depan komputer menjadi hiburan tersendiri bagi Prapti, jadi ada teman berbagi dan cerita kata Prapti.

Setelah mengantar Rini sampai ke tujuannya, Rini turun dari motor, dan menerima dimsum pemberian Prapti.

“Lah kamu nggak makan dimsumnya?” tanya Rini.

“Kamu harus cobain, itu enak banget, paling enak yang pernah aku makan.” Seru Prapti dengan mata berbinar-binar.

“Makasih banyak, Prapti..” Rini mengucap sambil menatap mata Prapti.

“Cuma dimsum lho, Rin..” jawab Prapti.

“Nggak cuma dimsum.. kamu ngasih pelajaran banyak buat aku malam ini.” Kata Rini sembari masih menatap mata Prapti.

Prapti tersenyum lebar kemudian pamit. “Kapan-kapan kamu ikut aku ya makan pecel kesukaanku di belakang, mas-masnya kocak.”

Rini hanya tertawa kemudian menyampaikan hati-hati pada Prapti. Prapti melambaikan tangan dan melajukan motornya menuju ke kosan. Sepertinya inilah alasan Prapti rela menempuh 30 menit setiap hari pulang pergi ke kantor padahal banyak kosan juga di dekat kantor Prapti. Dia selalu menyukai interaksi-interaksi kecil bersama ibu warung kelontong, bapak warteg pincuk, mas-mas pecel di jalan belakang, mbak-mbak laundry beranak tiga, bapak satpam yang suka patroli naik sepeda, bapak tukang bakso yang suka berkeliling hingga pukul 11 malam, dan semua kehidupan di kampung ini. Semuanya terasa hidup dan hangat, meski dibalik itu, ada perjuangan yang tak tahu kapan usai.

Empat tahun Prapti tumbuh di kampung ini selama hidup merantau di Jakarta dan Ia menemukan kehidupannya. Ia merasa beruntung dan selalu nyaman mendengarkan cerita sehari-hari dari mereka. Prapti merasa di rumah setiap berada di kampung ini. Mereka tidak hidup dalam rumah mewah dengan mobil mahal, tapi hatinya luar biasa tak ternilai harganya.

Setelah memarkirkan motornya, Prapti membuka pintu kosan, berjalan menuju ke tangga, melihat tiga orang di lantai dasar yang sedang masak opor ayam bersama. Setahu Prapti mereka bekerja di kantor dekat sini. Prapti kemudian naik ke lantai dua menuju kamarnya, kemudian menyantap nasi opor ayam kesukaannya itu. Sembari menyantap makan malamnya, Prapti membuka handphonenya dan mengirim pesan kepada ayah bundanya.

 

Bunda:

Kakak sama siapa di kosan?

Prapti:

Ada teman bun yang tidak mudik juga, berempat ini di kosan.

Bunda:

Alhamdulillah tidak sendirian ya, selamat lebaran ya, Kakak, semoga bisa segera pulang ke rumah.

 

Prapti tersenyum dan membalas "aamiin" pada bundanya. Sambil meneteskan satu dua titik air mata, mendengar letusan kembang api sana sini, Prapti tersenyum, menghabiskan malam lebaran sendirian di tanah rantau.

Song: Bisma Karisma-Rumah
Source: music.apple.com


0 komentar:

Posting Komentar

Orang Baik

Powered By Blogger

Jejak Istimewa