Sadar atau tidak, pada setiap kerangka waktu memiliki
permulaan, perjalanan, dan perhentian. Pernah sesusah itu untuk memulai? Pernah
seberjuang itu untuk mempertahankan? Pernah serumit itu untuk menentukan perhentian?
Sepertinya titik-titik tersebut yang menemani sepanjang dua puluh empat jam
garis miring tujuh hari dalam hidup.
Kalau diingat, satu tahun silam, tubuh
dan pikiran ini pernah penuh gairah mencapai segala obsesi yang sangat ingin diraih.
Tahu tidak? Mencari titik mulai itu saja sudah sesukar itu. Kontemplasi yang terjadi
benar-benar rumit. Syukurnya, entah mengapa kala itu, seluruh stamina dan lingkungan
alam mendukung upaya-upaya yang berusaha keras dimunculkan.
Prajurit energi yang mengawal petualangan
pun tak terhitung berapa banyak peperangan yang harus mereka lewati. Terkadang
menang, tak jarang pula kalah. Saat itu mayoritas peperangan kami menangkan dan
kami berhasil tetap berada pada jalur. Satu tahun lamanya mendaki gunung
menuruni lembah, tibalah kami menemukan sang fatamorgana. Pemandangan di mana
kami melihat hasil sedikit demi sedikit, namun terlena karena seakan sudah
sedekat itu dengan garis finish.
Di tengah perjalanan itulah, kami
kalah. Di hadapannya hanya terpampang jalur yang porak poranda. Rintangan terhebat
yang tak pernah mereka harapkan: kebebasan. Meski belum mencapai tujuan akhir, pasukan
itu memilih untuk berhenti di sini. Katanya ingin merasakan sedikit kebebasan,
lelah harus berjuang di jalan lurus melulu. Bukankah mereka berhak untuk
merasakan sedikit hingar bingarnya pesta? Padahal mereka tahu, sekali tercebur
dalam pesta memabukkan itu, susah sekali untuk keluar dan menemukan tujuan
akhir.
Hingga detik ini, sang komandan pikiran
masih terombang-ambing. Mereka kelelahan, terlena dalam kebebasan. Sang komandan
belum berhasil menyusun puzzle-puzzle yang berhamburan. Jelas, ini bukan titik
perhentian, tapi secara teknis, perjuangan yang pernah dimulai itu sudah
terhenti di sini. Mereka perlu menyusun rencana kembali untuk mencapai tujuan
semula. Dengan lebih rapi, tertata, dan realistis.
Beruntungnya, kali ini tak perlu
memulai dari nol, pengalaman selama perjalanan yang lalu menjadi bahan
pertimbangan untuk strategi di kesempatan berikutnya.
Dua puluh satu tahun tumbuh
bersama otot, tulang, otak, dan jantung ini, terus saja berulang-ulang seperti
itu. Mencari garis start, berperang dalam perjalanan, terhenti di garis finish,
entah dengan selamat atau alamat. Satu yang selalu menjadi pengingat: mulai saja,
jalani sesuai rencana, jangan berhenti hingga tujuan tercapai. Hahaha, izinkan
saya tertawa, mudah diucapkan, namanya juga pengingat.
Eh, tapi rasanya ada yang
janggal. Mengapa untuk memulai rasa jatuh padamu semudah itu? Sudah begitu
tanpa rencana, berjalan begitu saja tanpa pengawalan. Hingga untuk memutuskan
berhenti saja seluruh elemen semesta harus ikut campur. Memangnya kau ini
siapa? Tujuanku saja bukan, tapi semerdeka itu mengomandoi perasaan ini. Ah
sudahlah, toh ini hanya tentangku, bukan tentangmu, apalagi tentang kita.
Notes: Coba dengarkan lagu gubahan Tyler Ward berjudul Plans in Pencil ini, siapa tahu cocok masuk ke dalam daftar putarmu.
Private document: Photographed at Central Jakarta November, 2019
Mengendarai motor malam hari
memang selalu menyenangkan bagi Prapti. Melihat suasana kota dan menikmati hiruk
pikuknya. Menghirup udara penuh polusi dan merasakan angin malam menerjang. Setiap
hari Prapti harus menempuh perjalanan 30 menit lamanya untuk pulang dari kantor
menuju kos, vice versa. Kadang berhenti sebentar kalau tiba-tiba sliwer ngantuk di jalan.
Tapi kalau ada teman yang nebeng pulang bareng, Prapti sangat senang, jadi ada
teman ngobrol di jalan dan nggak ngantuk.
“Loh kok belok sini, Ti? Kosmu
kan masih jalan lurus lagi?” tanya Rini yang nebeng Prapti malam itu. Katanya malam
ini Rini menghabiskan waktu di rumah saudaranya yang kebetulan satu kawasan
dengan kosan Prapti.
“Aku mau mampir beli jajan sama teh
botol, Rin. Di kompleks nggak ada kelontong, kudu belok ke kampung sini dulu,”
jawab Prapti.
“Bukannya ada Indomaret to di depan
gangmu?” tanya Rini.
“Kalau mau ngabisin duit itu
mending ke warung kelontong di kampung gini, Rin. Biar laris dagangan mereka.
Kalau Indomaret sama Alfamart mah pasti laris tiap hari!”
“Halah kamu ini sok baik,
Prapti..”
“Lho beneran, Rin.. Setiap hari aku
ganti-ganti kalo beli jajan. Kalau hari ini sudah di kelontong depan pos satpam,
besok aku ke kelontong yang di deket tukang nasi goreng di dalem. Besoknya lagi
beli di warung yang 24 jam itu, kadang juga mampir beli pia coklat di warung sebelah
portal.”
Kata Prapti biar adil, nggak satu warung aja yang dia larisin, yang lain-lainnya juga biar laris.Rini hanya menggeleng-gelengkan kepala sembari
tertawa kecil mendengar cerita temannya itu. Prapti memarkir motornya di depan
warung kelontong depan pos satpam yang dia sebutkan tadi. Kata Prapti lagi, warung
kelontong yang satu ini jual dimsum terenak sekampung ini.
“Bu mau dimsumnya yang isi 6.
Campur saja, Bu” pesan Prapti pada Ibu warung.
“Jalanan rame nggak, Mbak?” tanya
Si Ibu sambil menyiapkan dimsum pesanan Prapti.
“Sepi banget, Bu. Sudah pada
pulang kampung kalau nggak ya lagi makan opor ayam kali di rumah.” Jawab Prapti
sambil memilih-milih jajan yang sedang ingin Ia cemil malam ini.
“Iya ya sepi. Aku ya bingung mau
kemana, Mbak. Ini tadi aja aku pas buka puasa nangis Mbak, kangen Ibu nggak
bisa pulang kampung. Mangkannya ya jualan aja kayak biasa, biar nggak nangis.” Curhat
Si Ibu.
“Hehe iya Bu, yang sabar ya Bu..”
kata Prapti.
“Aku kalau sendiri gini Sukanya masak,
Mbak. Ini aku masak opor ayam banyak banget sampai om-om ojek online yang
mampir tak suruh makan dulu pas buka puasa tadi. Nggak bisa bagi-bagi duit ya
bagi-bagi makanan to Mbak, Om-Om Ojol tadi aja pada seneng katanya baru kali
ini makan opor pas malam lebaran,” Curhat Si Ibu lagi.
“Wah iya to, Bu? Bener bu, kalau
di kampung juga saya mesti disuruh anter-anter lontong sayur ke tetangga.” Kata
Prapti sambil menyerahkan uang pas kemudian mengambil kresek dimsum dan
jajannya seraya mengucap terima kasih. Sembari
menyalakan motornya kembali Prapti bilang ingin beli opor ayam dulu di warteg
pincuk belakang. Rini hanya mengangguk ngikut saja. Sesampainya di warteg, Si
Bapak Warteg langsung berdiri dan menyambut Prapti dengan senyuman.
“Bungkus, Mbak?” tanya Si Bapak
Warteg.
“Iya Pak, pakai nasi setengah
saja ya Pak, sama opor sama orek tempe.” Prapti memesan makanannya.
“Mbak kalau nggak kemana-mana besok
lebaran kesini saja mbak, makan opor bareng.” Kata Si Bapak sembari menyendok
opor ayam dan menuangkan ke nasi bungkus.
Prapti sedikit terkejut mendengar
ucapan si Bapak. Kemudian tertawa kecil dan mengiyakan, membayar, dan mengucap
banyak terima kasih. Saat hendak menaiki motornya, Ia terlihat menyeka matanya.
“Loh? Kamu ngapain nangis,
Prapti?” tanya Rini kebingungan.
“Kangen rumah, Rin.” Jawab Prapti.
Rini baru sadar Prapti terharu karena ucapan Bapak warteg tadi. Sebagai anak
rantau, Prapti sudah dua tahun ini tidak pulang kampung di hari besar yang
mestinya dirayakan bersama keluarga.
“Kamu emang deket ya sama bapak
ibu warung di kampung ini,” kata Rini sambil tersenyum.
“Ya meskipun nggak kenal namanya,
tapi mereka kalau aku datang pasti diajak ngobrol, baik-baik emang mereka,
kadang juga dibonusin gorengan gitu.” Jawab Prapti.
Rini mengangguk-angguk mendengar
cerita Prapti. Kata Prapti lagi, tujuan dia ganti-ganti warung juga biar cerita yang dia dengar setiap hari beda-beda. Ngobrol bersama orang-orang yang jauh dari pekerjaan
gedung-gedung pencakar setelah seharian duduk di depan komputer menjadi hiburan tersendiri bagi Prapti, jadi ada teman berbagi dan cerita kata Prapti.
Setelah mengantar Rini sampai ke tujuannya,
Rini turun dari motor, dan menerima dimsum pemberian Prapti.
“Lah kamu nggak makan dimsumnya?”
tanya Rini.
“Kamu harus cobain, itu enak
banget, paling enak yang pernah aku makan.” Seru Prapti dengan mata berbinar-binar.
“Makasih banyak, Prapti..” Rini
mengucap sambil menatap mata Prapti.
“Cuma dimsum lho, Rin..” jawab
Prapti.
“Nggak cuma dimsum.. kamu
ngasih pelajaran banyak buat aku malam ini.” Kata Rini sembari masih menatap mata Prapti.
Prapti tersenyum lebar kemudian
pamit. “Kapan-kapan kamu ikut aku ya makan pecel kesukaanku di belakang,
mas-masnya kocak.”
Rini hanya tertawa kemudian menyampaikan
hati-hati pada Prapti. Prapti melambaikan tangan dan melajukan motornya menuju
ke kosan. Sepertinya inilah alasan Prapti rela menempuh 30 menit setiap hari
pulang pergi ke kantor padahal banyak kosan juga di dekat kantor Prapti. Dia selalu
menyukai interaksi-interaksi kecil bersama ibu warung kelontong, bapak warteg
pincuk, mas-mas pecel di jalan belakang, mbak-mbak laundry beranak tiga, bapak
satpam yang suka patroli naik sepeda, bapak tukang bakso yang suka berkeliling hingga
pukul 11 malam, dan semua kehidupan di kampung ini. Semuanya terasa hidup dan hangat,
meski dibalik itu, ada perjuangan yang tak tahu kapan usai.
Empat tahun Prapti tumbuh di
kampung ini selama hidup merantau di Jakarta dan Ia menemukan kehidupannya. Ia merasa
beruntung dan selalu nyaman mendengarkan cerita sehari-hari dari mereka. Prapti
merasa di rumah setiap berada di kampung ini. Mereka tidak hidup dalam rumah
mewah dengan mobil mahal, tapi hatinya luar biasa tak ternilai harganya.
Setelah memarkirkan motornya, Prapti
membuka pintu kosan, berjalan menuju ke tangga, melihat tiga orang di lantai dasar
yang sedang masak opor ayam bersama. Setahu Prapti mereka bekerja di kantor dekat
sini. Prapti kemudian naik ke lantai dua menuju kamarnya, kemudian menyantap
nasi opor ayam kesukaannya itu. Sembari menyantap makan malamnya, Prapti membuka
handphonenya dan mengirim pesan kepada ayah bundanya.
Bunda:
Kakak sama siapa di kosan?
Prapti:
Ada teman bun
yang tidak mudik juga, berempat ini di kosan.
Bunda:
Alhamdulillah tidak sendirian ya,
selamat lebaran ya, Kakak, semoga bisa segera pulang ke rumah.
Prapti tersenyum dan membalas "aamiin" pada bundanya. Sambil meneteskan satu dua titik
air mata, mendengar letusan kembang api sana sini, Prapti tersenyum, menghabiskan malam lebaran sendirian di tanah rantau.
Pagi ini sudah hari keempat saya mendengus kesal karena kemacetan sepanjang Jalan Gunawarman hingga tikungan Apotek Senopati. Mobil dan motor benar-benar padat merayap akibat sesuatu yang tak asing terjadi di Jakarta, selalu ada
dimana-mana setiap tahun, kok kayaknya nggak beres-beres gitu lho.. Tak lain
tak bukan: proyek galian!
Sekitar 8 buah bilik bertuliskan “MOHON
MAAF PERJALANAN ANDA TERGANGGU” “SEDANG ADA PEKERJAAN” berjejer rapi di kanan dan kiri jalan. Dalam hati sudah berteriak sumpah
serapah. Proyek siapa lagi ini wahai pejabat yang mulia?!! Ah tapi percuma saja, jalan ini akan tetap macet selama
beberapa bulan ke depan.
Melihat proyek-proyek galian pagi ini, saya jadi teringat
buku yang baru saya selesaikan tadi malam. Buku gubahan Ahmad Tohari yang
berjudul Orang-Orang Proyek. Buku super berani yang pernah saya temui, entah
itu fiksi atau fakta yang ada di dalamnya. Ahmad Tohari menggambarkan kebobrokan
pemerintah, rekayasa anggaran, kepentingan partai politik, dalam satu proyek pembangunan
jembatan di Desa Cibawor pada tahun 1991.
Sumber: ebooks.gramedia.com
Tersebutlah seorang insinyur muda, Mas Kabul, yang ditunjuk
sebagai pelaksana proyek jembatan tersebut. Insinyur yang kokoh dengan idealismenya,
bahwa seorang kontraktor proyek, yang membangun jembatan untuk rakyat, harus menyelesaikan
jembatan tersebut dengan masa manfaat minimal 10 tahun. Kualitas bahan bangunan
harus yang terbaik, masa pengerjaan harus sesuai dengan linimasa. Tidak lebih
cepat dan tidak lebih lambat.
Naasnya Ia harus berhadapan dengan atasannya yang tamak dan
para penguasa proyek yang ingin menjadikan jembatan ini sebagai bahan kampanye Pemilu
1992 mendatang. Dari sinilah Kabul mulai membenci pekerjaan lapangan. Betapa
joroknya keserakahan manusia menistakan kehidupan rakyat miskin yang mengharapkan
kesejahteraan dari pemerintah.
Pembaca diajak menebak, apakah Kabul akan tetap teguh pada
pendiriannya untuk membangun jembatan dengan kualitas super namun sebagai ancamannya
Ia akan kehilangan pekerjaan dan reputasi, atau akan menyerah mengikuti kemauan
atasan yang rakus akan harta, membangun jembatan dengan kualitas buruk, namun arus
kas mengalir deras dalam kantongnya.
Sembari menemukan jawaban, tokoh-tokoh sampingan akan muncul
untuk mewarnai kisah Mas Kabul. Mulai dari romansa dengan Wati, Mas Kabul yang
malu-malu kucing itu saya rasa sosok yang peduli dalam diam, tidak suka berkoar
kalau memang belum pasti, sosok yang menunjukkan dan bukan hanya kebanyakan
bicara. Juga kisah persahabatannya dengan kepala desa, kalian pasti punya,
teman yang kalau sudah bertemu ngobrolinnya tentang negara, berat sekali
kelihatannya, hehe. Serta kisah pensiunan PNS, Pak Tarya, yang menjadi sosok
haha hihi untuk menghibur Mas Kabul dengan hobi mancingnya.
"Mas aku hanya minta satu pisang. Kenapa Mas bawakan sesisir?" tanya Wati kebingungan pada Kabul.
"Tidak apa-apa, kan? Kalau kamu minta satu sisir, akan saya bawakan satu tandan."
Saat membaca dialog ini saya senyum-senyum sendiri. Kabul bisa so sweet juga ternyata. Romantisnya orang zaman dulu kadang terasa lebih menyenangkan. Tidak melulu tentang kemewahan seperti anak muda zaman sekarang. Restoran mewah, coklat mahal, kado Iphone terbaru, wah anak muda zaman sekarang kurang menghargai kesederhanaan menurut saya.
Sumber: ebooks.gramedia.com
Ada sedikit nuansa klasik yang saya rasakan. Dengan latar tempat
yang hanya berputar-putar di lokasi proyek, tepi sungai, warung Mak Sumeh, jalanan
terik menuju proyek, dan jembatan. Serta penggambaran suasana desanya yang terasa
nyata. Saya bisa merasakan bagaimana teriknya lokasi proyek, bau ikan asin di
warung Mak Sumeh, hingga berisiknya suara dentuman atau mesin-mesin proyek. Tak lupa pula nyanyian gahar Tante Ana yang menjadi satu-satunya hiburan bagi buruh-buruh proyek ini. Kabul selalu merasa berhutang budi besar pada Tante Ana karena telah membuat pejuang nafkah ini tertawa dan berjoget ria, melupakan sejenak beban kehidupan, permasalahan proyek, serta menerima kenyataan bahwa rakyat miskin inilah yang menjadi korban utama penistaan proyek pembangunan di Indonesia.
Ahmad Tohari sosok yang realistis, konfliknya sederhana, alurnya rapi dan tidak
terburu-buru. 258 halaman mengalir saja seperti kehidupan sehari-hari. Tokoh-tokohnya pun
tak muluk-muluk. Namun pesannya, sangat sampai to the point kepada
pembaca. Bagaimana “Orang-Orang Proyek” tersebut menjadi pelajaran berharga
bagi para pemimpin hari ini. Agar menyadari bahwa dengan menyalahi proyek
pembangunan rakyat, ada berjuta kepala yang sengsara karena sifat tamak harta.
Kalau boleh mengutip Ahmad Tohari dalam buku ini,
“Trima sing nglakoni, ora trima sing ngemongi”
“Artinya?” tanya Kabul pada Pak Tarya.
“Jangan anggap enteng orang-orang tertindas tapi hanya bisa
diam. Sebab yang ngemong, Gusti Allah, ada di belakang mereka..”