Jam menunjukkan pukul 03.28 WIB ketika saya
menyusuri Jalan Senopati menuju arah Jalan Tendean. Rasanya cukup aneh melihat
Jakarta sepi, apalagi di jalan protokol seperti ini. Sekilas terasa
sejuknya Jakarta dini hari, mobil dan motor yang biasa berkeliaran sedang
dipeluk erat oleh para Homo Jakartanesis-panggilan sayang ciptaan Seno Gumira
Ajidarma-di alam tidur, jangan sampai lepas titahnya.
Volume hiruk pikuk memang jauh lebih
tenang dibandingkan saat jam pulang kerja, tapi namanya juga Jakarta, nggak
bisa diem. Sambil menikmati angin sepoi-sepoi, parade knalpot Harley Davidson dan lesatan motor lebih dari 100
km/jam saling berteriak menyemarakkan kuping saya, mungkin supaya miliaran rupiah yang sudah berubah
bentuk itu nggak nangkring saja di garasi.
tepi halte SCBD 03.45 WIB
Setelah mengisi bensin di Tendean,
saya menyusuri jalan SCBD untuk menjemput seorang rekan. Sembari menunggunya,
saya berhenti di depan halte SCBD. Kalau jam segini, hanya ada seorang petugas
keamanan ditemani seekor anjing. Sesekali akan ada yang keluar dari gedung megah
di sudut SCBD tersebut, kemudian menaiki taksi yang dipesannya. Melihat berkas
yang ia tenteng di tangan kanan dan tas laptop di tangan kiri, saya berasumsi mungkin
baru selesai lembur, atau baru mau berangkat ke suatu tempat, seperti saya.
Seperti para pengendara Harley tadi,
pagi ini saya dalam perjalanan menuju Bogor untuk mengejar sesuatu. Padahal
pukul 01.00 tadi, saya baru saja tiba dari Semarang. Beberapa orang mungkin
akan bertanya, ngapain dibelain begitu? Karena ada hal yang saya kejar:
sesuatu yang saya suka.
Beberapa minggu lalu ketika ada
yang menawarkan untuk ikut bergabung dalam sebuah event di Bogor, entah bagaimana
gairah itu bangkit, tanpa pikir panjang langsung saya iya-kan. Meski saat itu
bahkan saya tidak tahu bagaimana caranya teleportasi dari Semarang ke Bogor
dalam waktu singkat. Pun kapasitas yang saya punya untuk bisa bergabung di
sana, saya rasa kurang. Teleportasi saya atasi dengan hibernasi selama perjalanan
Semarang-Jakarta. Kapasitas? Mbah Google punya jawabannya. Kalau kata
Jason Ranti ini namanya Jalan Ninja. “Jadilah apapun yang kamu rindu,” begitu
katanya.
Sejak memasuki dunia baru setelah
perkuliahan, beberapa situasi membatasi saya untuk kembali mencicipi hal yang
dulu membuat saya selalu hidup. Kemarin, akhirnya saya tersadarkan. Perihal
waktu, akan selalu ada kalau disisihkan, tak ada yang namanya tak punya waktu. Perkara
kemampuan, “belajar” mestinya menjadi kata pertama dalam kamus karier seseorang.
Terlebih lagi, berada di Jakarta, kota yang tak pernah tidur ini cocok menjadi
tempat bernaung segala gairah di dalamnya.
Hari itu, saya merasakan efek
ekstasi itu kembali. Lagi-lagi sama seperti parade Harley tadi pagi, mungkin mereka
rindu menunggangi kuda kesayangannya tanpa takut dihakimi. Rindu memang sejatinya mesti dibayar. Ketika rindu akan suatu
hal, mendekatlah, genggam dan rasakan bagaimana kembali menjadi hidup.
Sore ini dalam laju jalan layang Cawang-Grogol semburat senja berlatar gedung pencakar langit terpotret dalam klise mata, cantik sekali, gorgeous kalau bahasa kerennya.
Delapan tahun di Jakarta, bolak balik lewat jalanan semrawutnya, tapi tetap saja nggak bisa nggak ngowoh kalau liat senja featuringskyscrapper khas Jakarta. Kenapa saya mengistimewakannya? Karena di Malang gedung paling tinggi juga paling 23 lantai. Itupun hanya sedikit.
Barangkali hari ini saya menemukan sebutan yang pas buat Jakarta: suaka. Dalam KBBI: su·a·ka n tempat mengungsi (berlindung), menumpang (pada), menumpang hidup (pada).
Suaka identik dengan pengungsian, pelarian. Driver ojek, abang sate, tukang parkir, coba tanya saja, berapa dari mereka yang orang asli Jakarta? Mayoritas pendatang yang mengadu nasib di Jakarta, menurut mereka kota ini menjanjikan penghasilan yang lebih layak daripada di kampung halaman. Tak terkecuali para "pegawai kantoran" yang dominasinya lebih dari 50% sebagai jenis pekerjaan tertinggi di DKI Jakarta (BPS 2020). Salah satunya saya.
Kuliah, bekerja, jatuh, bangkit, berelasi, menempa diri, pulang ke kampung saja setahun tiga kali paling banyak, kalau sekali cuti 10 hari, anggap saja 30 hari di kampung, 1 dari 12 bulan, praksis 91,66% hidup saya jalani di Jakarta.
Konotasi "pelarian" terlanjur buruk di kamus netizen Indonesia. Tadi saat saya menyetir di sepanjang Jalan Sudirman kepikiran, memangnya kenapa kalau betah di tempat pelarian? Apa artinya nggak kangen kampung halaman?
Indeks kebahagiaan warga Jakarta pada 2017 lalu mencapai 70%. Bahagia beneran atau enggak ya urusan lain.
Kalau Jakarta itu orang, mungkin pahalanya sudah tak terhitung banyaknya. Ia rela dipenuh sesakkan oleh masalah, tapi tetap tinggal untuk "melayani" manusia di dalamnya. Selfless? Bukan. Justru itu ego "sang suaka". Tentang ini saya berminat membahasnya di tulisan selanjutnya.
Saya sendiri jatuh cinta pada Jakarta, suaka bagi saya, namun tak bisa lalu mengabaikan kampung begitu saja.
Idealis itu ego manusia, tapi 100 miliar sel saraf dalam tubuh manusia tak lantas mau dipaksa untuk berhenti mencintai hal yang membuat kita bahagia.
Siapa, di mana, dan apa suaka bagimu? Mana yang kampung, mana yang rantau? Mana yang rumah, mana yang pelarian? Sudah terlalu tipis benang pembatasnya. Rumah tempat untuk pulang, suaka tempat untuk berlindung. Nah lho? Piye iki?
Potret dunia Jakarta kala 1950-an di mana Mochtar Lubis menulis buku ini saat masih di penjara. Salah satu buku kritik dalam sastra yang keren dan lugas.
Kisah fiksi di dalamnya menghidupkan beberapa tokoh utama yang terlibat korupsi untuk upaya pemenangan partai dalam pemilu. Bersamanya diselingi tokoh pendukung mulai dari kalangan bangsawan, jurnalis, proletar, hingga medioker.
🌊Gaya Penulisan dan Alur:
Meskipun gaya penulisan alurnya dibuat lompat antar tokoh utama, namun benang merah yang dimaksud sangat kentara.
Bagaimana para penguasa memperkaya golongannya, bagaimana media sebenarnya tidak bisa semudah itu dipercaya, bagaimana proletar mudah dibodohi karena tak ada pilihan lain, bagaimana kesemuanya itu menurut saya masih terjadi tipis-tipis di zaman sekarang, hanya dengan metode dan bentuk yang berbeda.
Hingga pada akhirnya semua permainan tersebut merugikan lapisan masyarakat paling rendah dan para biang keroknya dengan mudah hanya mundur dari kabinet untuk kemudian dibentuk kabinet baru untuk kemudian dilawan lagi oleh tim oposisi baru. Begitu saja seterusnya. Pantas saja yang kaya semakin kaya, yang melarat semakin melarat.
🧔Penokohan:
Penggambaran kehidupan setiap kelas sosial ditunjukkan dengan relevan di sini. Seperti misalnya bagaimana dua tokoh pemulung, Itam dan Saimun, yang hanya dengan menghirup sebatang kretek saja sudah menjadi kebahagiaan luar biasa. Namun di sisi lain selalu merutuki nasibnya menjadi orang miskin, tak mau berupaya lebih, dan hanya diam menunggu pemerintah yang sebenarnya tidak peduli sama sekali dengan mereka.
Sedangkan misalnya, Pranoto dan Yasrin, sebagai kelas medioker memiliki masalah krisis eksistensialisme pekerjaan di sini. Jurnalis yang selalu merasa menang, Halim, sebenarnya justru iblis paling bahaya dalam konflik ini. Raden Kaslan dan Husin Limbara, politikus dengan segala kemudahannya menghamburkan dan mendapatkan uang.
Satu lagi, jangan lupakan tokoh perempuan dalam kisah ini: Iesye, Fatma, Hasnah, Dahlia, dan Neneng. Kala itu perempuan tak dapat berbuat banyak selain memuaskan gengsi para lelaki. Saya teringat novel Eka Kurniawan, Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas, di mana perempuan juga masih digambarkan tak berdaya, hanya mengikuti arus kehidupan saja. Namun di novel ini, meski tak dapat berbuat, ditunjukkan bahwa cara berpikir para perempuan lebih rasional, fokus, lugas, dan paling penting, intuitif.
🎪Keunikan:
Meskipun buku ini mayoritas menggambarkan pesimisme terhadap keadaan sebuah negara, Mochtar Lubis masih menyelipkan perasaan kemanusiaan dan gelisah pada koruptor itu. Suryono dan Sugeng contohnya, dua tokoh yang menurut saya patut diperhatikan dalam pengembangan karakter novel ini.
Pesimisme dan optimisme hidup berdampingan dalam novel ini. Setidaknya, itu yang saya rasakan.
Laporan Kota juga diselipkan dalam setiap bab. Mungkin tujuannya untuk memberi sedikit warna tentang bagaimana keadaan Jakarta di sudut-sudut kota saat itu.
🌟Bagian Favorit:
Pendapat Suryono tentang eksistensialisme menjadi bagian favorit saya. Kira-kira apabila saya kutip ulang seperti ini,
"Nasib manusia dalam sebuah negara tidak dipengaruhi masyarakat sekitarnya maupun susunan ekonominya, akan tetapi dalam dirinya sendiri. Harus yakin bahwa dia itu ada."
Kalau dikaitkan dengan buku The Laws of Human Nature karya Robert Greene, sebenarnya ide eksistensialis ini justru yang paling relevan.
Adegan diskusi sepanjang buku yang dibuat cukup memeras otak, meskipun maksud sebenarnya sebagai sindiran, "kebanyakan analisa dan diskusi tapi tak ada aksi." Saya akui ini bagian paling berkesan.
❄Kekurangan Menurut Saya:
Beberapa paragraf terkesan terlalu rumit dan diulang-ulang. Kadang agak pusing bacanya. Masalah politik yang kurang komprehensif penjelasannya juga membuat saya kadang kurang paham bagaimana praktik korupsi itu sebenarnya terus lestari di dunia politik.
Laporan kota yang disajikan kurang relevan dengan kasus utama, namun tak apa, anggap saja sebagai kisah sampingan. Penyelesaian kisah yang cukup pesimis dapat dimaafkan karena tersirat sedikit berkas-berkas harapan.
🌏Konklusi:
Secara keseluruhan, saya suka bagaimana setiap tokoh memiliki perannya masing-masing untuk menghidupkan novel ini. Salah satu fiksi sejarah Indonesia terbaik sepanjang daftar bacaan saya. Penggambaran Jakarta yang tidak muluk-muluk namun terasa sekali relevansinya, serta membuka wawasan tentang permainan sosial-politik-media secara permukaan.
Kritik tajam tersurat dalam setiap percakapan dan adegannya. Tidak hanya untuk salah satu kalangan, tapi seluruhnya, setidaknya di Jakarta.
Let me introduce you to someone. His name is Sam. Sam
Gardner. In this series titled Atypical, he roles as an 18-year-old on the
autism spectrum. Sam makes me wondering, can I have his real existence here?
Source: Instagram.com/atypicalnetflix
One thing: He got me captivated every time he talks. His
pupils dilate and his eyebrows go up and down, his lips move fast, his two
hands are busy on their own, or sometimes he gonna scratch his tip of back hair
with that frown. He will say "Okay" if he allows it and frankly
"No" if it doesn't peer his way. What I like the most is that he
always be certain with his words, never hesitate at all. He knows for sure what
he says: penguin, hippocampus, The Antarctica, college, or... love.
There's no way you can be mad at him no matter how
bothersome he is. At least I think I am.
With all respect, the producer had consulted with a
professor from UCLA's Center for Autism Research and Treatment, Michelle Dean,
for Sam's character (Keir Gilschrist) and how his environment works. So, I think no offense about
how these series represent people on the spectrum.
As an autistic person, Sam kinda "selective", is
that the right word? But.. I love it and sort of want it! He only has one best
friend, but the real best one, Zahid (Nik Dodani). He got the most loyal girlfriend that he
would never expect he could have, Paige (Jenna Boyd). He got the most protective yet
know-how-to-have-fun sister, Casey (Brigette Lundy-Paine). And of course, the most supportive parents
ever who stay beside him, Elsa and Doug (Jennifer Jason Leigh and Michael Rapaport).
How blessed he is, right? Sam makes me realize that buzz of
having many friends, being nice to people, playing with the trends, oh geez. He
already has those-albeit-only 5 persons who rained him with endless genuine
care and love, what's more to ask? If God let me, I wish I am gonna stay with
that five persons kinda like that for the rest of my life.
Fun fact: this series is practically about Sam and The
Penguin. Adelie, Chinstrap, Emperor, and Gentoo. The four species of penguins
which is also Sam's magic recitation whenever he got stressed. (It's cute tbh!)
Also, there is my favorite line that Sam told about Penguin.
"Unlike most animals, the lens of a penguin’s eye changes shape. When it’s
on land, it becomes flatter like a human’s. When it’s underwater, it becomes
round like a fish. So no matter where a penguin goes, everything it sees is on
focus.”
Source: Netflix
Sam devoted himself to Penguin, ever since her mom taught
about it when he was a kid. Until in the fourth season, he finally decided what
he really wants to do for his life: HE WANTS TO MEET THE PENGUIN AT ANTARCTICA!
I'm delighted with that idea become the main plot of Atypical season 4.
Along with that substance, there are many conflicts that
happen among Sam's people. Zahid with his understanding-relationship with Sam.
Casey with her boyfriend, Evan (Graham Rogers), and her girlfriend, Izzie (Fivel Stewart). I like that love story
too. Paige with her career and lovey-dovey-uneasy dating life with Sam. Elsa
and Doug, both as parents and as a married couple.
They all are grip important roles for Sam and vice versa.
For example, Casey is the frontier for Sam. But so does Sam, as a big brother,
he could take care of Casey too, in his not-so-typical-but-sweet way. Or, Elsa
as Sam's mom. She doubting him too much, but they will find a compromising
point eventually.
Not only between them with Sam, but they also have their
encounter each other among them. Paige with Casey, Casey with Elsa, Elsa with
Doug, Doug with Izzie, Izzie with her mom, and so on.
Source: Instagram.com/atypicalnetflix These two dorks are my favorites! Amazing chemistry and hilarious sibling goals!
Those are the intriguing part about Atypical. Though maybe
they are very uncommon and quirky, what does it really mean to be normal,
anyway?
There is part of me who wants to be admitted as an
"atypical" person. Some things about me cannot be explained because
I'm not sure you will understand them. And maybe.. to have a relationship,
friend, boyfriend, with an atypical person like Sam, I would really love to!
That's why I adore this show very much!
Oh, in the last episode, Sam makes me screaming out loud
about how he could be a freakin so sweet boyfriend for Paige. He said...
"But just because we’re taking a break from being girlfriend and boyfriend
doesn’t mean I’ll ever take a break from being in love with you." That was
so freakin cute looking at how he developed with this character since the first
season.
This is what I said before, to have someone so pure and
genuine like people on the spectrum in my life, I might do not want to lose them ever.
Source: Instagram.com/atypicalnetflix They are jolly!
So, here I am writing this, just want to share the
excitement of Atypical with you all. The lines are witty, hilarious, yet so
relate. Their acts and mimics, make you laugh yet sob within minutes. The flow
and the matters, brought in an entertaining way. With only about 30 minutes of
average duration, this show will never get you bored. And the background music
just perfectly placed every moment!
Wish you had the same joyous as I am watching this series on
Netflix. Gather, Atypicals!
Notes: When I wrote this, I just finished watching the fourth season and didn't rewatch the previous seasons. You will find many more entertaining things than those above. Let's talk about it when you finished it. Reach me at gmail daniahindonesian87@gmail.com or my Instagram @daniahsipidt. Cannot wait to talk about Sam and The Penguins!
“Jakarta, kota yang senantiasa bergegas tapi kerap kita rasa
tak bergerak kemana pun.” -Catatan Editor Cerita Cerita Jakarta, Teddy W.
Kusuma dan Maesy Ang.
Saya benar-benar tertawa saat membacanya. Memang selalu
seperti itu, Jakarta dan segala hiruk pikuknya, lampu merah dimana-mana yang
selalu membuat saya tak berhenti melihat jam tangan, mata yang perih setiap
menghabiskan empat puluh menit perjalanan berangkat dan pulang kantor, memastikan
jam berangkat setiap kereta komuter atau transjakarta jangan sampai ketinggalan
karena sekali ketinggalan hancur sudah rencanamu seharian, atau bagaimana
mengantri obat dan layanan publik yang minimal menghabiskan setengah jam
mungkin? Kita semua tahu itu, Jakarta selalu bergegas, kalau tidak kamu akan
ketinggalan.
Tapi pada kenyataannya, saya hanya terjebak dalam kota penuh
romansa, suka cita, masygul, dan pelik kehidupan ini, yang selalu membuat saya
jatuh cinta lagi dan lagi. Jatuh cinta pada setiap sudut tempat pedagang
asongan atau tukang ojek mangkal, pada proyek-proyek mangkrak yang entah kapan
akan berhasil mengurangi kemacetan Jakarta, pada sudut-sudut kedai romantis di
Blok M atau Jalan Sabang, pada gedung-gedung pencakar yang selalu membuat kepala
saya mendongak sepanjang Jalan Sudirman, pada setiap halte dan trotoar yang
dipenuhi pejalan kaki yang entah kemana tujuan mereka hari itu, hingga pada
setiap langit senja atau malam pekat penuh polusi, namun saat bulan purnama atau
langit jingga tiba, saya tak pernah berhenti bersyukur pernah menjadi bagian
dari kota ini.
Sekali lagi buku atau tulisan tentang Jakarta memang tak
pernah mengecewakan. Setelah sebelumnya menggandrungi Affair yang didapuk sebagai
obrolan urban homojakartanesis oleh Seno Gumira Ajidarma, semalam saya
baru saja menyelesaikan kumpulan cerita pengalaman dari sudut pandang 10 spesies
homojakartanesis lainnya.
Dokumen pribadi
Kumpulan cerita dalam Cerita-Cerita Jakarta terasa ditata sedemikian
rupa sehingga sejak catatan editor, pilihan cerita pembuka, hingga pilihan
cerita penutup, semuanya berhasil mengiringi emosi pembaca dengan sangat tenang
sekaligus menyenangkan. Tidak terkesan buru-buru untuk mencapai klimaks,
menyebut setiap sudut tempat di Jakarta yang ingin disebutkan, menciptakan apapun
tokoh yang ingin diciptakan, memanggil latar peristiwa manapun dan kapanpun
yang ingin diungkit, hingga berakhir dengan bagaimanapun ending yang diinginkan.
Tanpa peduli dengan bagaimana pembaca akan merespon.
Hal itu saya rasakan pada cerita pembuka. Judulnya saja
sudah mengganggu saya sedemikian rupa. B217AN. Ratri Ninditya berhasil membuat
saya menikmati setiap kalimatnya tanpa jeda. Ringan dan cukup membuat saya can
relate. Namun tiba-tiba di akhir bagian, saya hampir dibuat mengamuk dengan
penyelesaiannya yang tak memberi kejelasan. Bahasa kerennya open ending mungkin
ya? Tapi lebih tepatnya yang ada di pikiran saya: apakah saya terlalu bodoh
masa tidak paham dengan ending ceritanya?
Dokumen Pribadi
Karena tak mau dianggap kalah, saya membaca ulang cerita
tersebut, saya telusuri setiap bagian, meski tetap saja saya tak mendapat
jawaban. Apalagi judulnya yang saya kira terbaca “Brijan”? Sampai akhirnya saya
menyerah dan menelusuri google. Setelah mendapat jawaban atas judul
tersebut, saya hanya terkekeh dan merasa benar-benar bodoh. “Berdua Satu Tujuan”.
Sesimpel itu bodoh!
Dan setelah mengetahui arti judul tersebut, barulah cerita
tersebut mulai terasa logis dalam otak saya.
Kisah-kisah berikutnya diwarnai latar yang sangat bervariasi,
dan itu yang saya tunggu! Mulai dari kantor pemerintahan, Jalan Gatot
Subroto-yang sehari-hari saya lewati-hingga Senayan, Kampung Melayu Pulo Gebang
di Jatinegara, Dunia Fantasi di Taman Impian Jaya Ancol, Taman Ismail Marzuki, Stasiun
Pondok Cina dan Margonda City milik Kota Depok, serta Kramat Tunggak dan Pantai
Mutiara di Jakarta Utara.
Salah satu cerita favorit saya jatuh kepada Matahari
Tenggelam di Utara gubahan Cyntha Hariadi. Sebuah realita persahabatan
dua manusia berbeda kelas sosial dalam lingkungan sekolah, dua remaja naif yang
baru tahu rasanya melumat bibir manusia dan menjadi ketagihan, dua jiwa yang meskipun
sedalam apapun kalian jatuh cinta, kalau sudah ditampar dengan kejamnya dunia,
naluri untuk menyelamatkan diri sendiri memang akan selalu menang. Menampik keras
sebuah omong kosong “aku rela melakukan apapun demi kamu, meski harus
mengorbankan nyawaku.” Tai kucing! Realistis bro realistis, Cyntha
berhasil merangkai kenaifan remaja yang kebanyakan ditutup-tutupi oleh anak-anak
zaman sekarang dalam cerita ini. Hats off!
Dari dulu saya selalu jatuh cinta dengan tempat-tempat yang
menemani saya tumbuh, jatuh cinta, tersandung, dan bangkit lagi. Salah satunya
Jakarta, tempat saya tumbuh lima tahun terakhir. Buku ini membuat saya ingin
membuat kompilasi cerita sejenis, namun judulnya saya ganti, Cerita-Cerita
Bintaro. Ya, secara teknis saya memang hidup di pinggiran Jakarta, Bintaro.
Dokumen Pribadi
Sepuluh cerita yang saya rasa tak akan membosankan mau
dibaca berapa kalipun. Menemani masa-masa karantina di ibukota, jauh dari orang
tua dan saudara, pun sahabat dan rekan kerja yang juga sedang menyelamatkan
dirinya masing-masing. Kalian bisa mengunjungi @post_santa untuk mengantarkan buku ini sampai pada rumah tercinta kalian. Selamat membaca!
Sadar atau tidak, pada setiap kerangka waktu memiliki
permulaan, perjalanan, dan perhentian. Pernah sesusah itu untuk memulai? Pernah
seberjuang itu untuk mempertahankan? Pernah serumit itu untuk menentukan perhentian?
Sepertinya titik-titik tersebut yang menemani sepanjang dua puluh empat jam
garis miring tujuh hari dalam hidup.
Kalau diingat, satu tahun silam, tubuh
dan pikiran ini pernah penuh gairah mencapai segala obsesi yang sangat ingin diraih.
Tahu tidak? Mencari titik mulai itu saja sudah sesukar itu. Kontemplasi yang terjadi
benar-benar rumit. Syukurnya, entah mengapa kala itu, seluruh stamina dan lingkungan
alam mendukung upaya-upaya yang berusaha keras dimunculkan.
Prajurit energi yang mengawal petualangan
pun tak terhitung berapa banyak peperangan yang harus mereka lewati. Terkadang
menang, tak jarang pula kalah. Saat itu mayoritas peperangan kami menangkan dan
kami berhasil tetap berada pada jalur. Satu tahun lamanya mendaki gunung
menuruni lembah, tibalah kami menemukan sang fatamorgana. Pemandangan di mana
kami melihat hasil sedikit demi sedikit, namun terlena karena seakan sudah
sedekat itu dengan garis finish.
Di tengah perjalanan itulah, kami
kalah. Di hadapannya hanya terpampang jalur yang porak poranda. Rintangan terhebat
yang tak pernah mereka harapkan: kebebasan. Meski belum mencapai tujuan akhir, pasukan
itu memilih untuk berhenti di sini. Katanya ingin merasakan sedikit kebebasan,
lelah harus berjuang di jalan lurus melulu. Bukankah mereka berhak untuk
merasakan sedikit hingar bingarnya pesta? Padahal mereka tahu, sekali tercebur
dalam pesta memabukkan itu, susah sekali untuk keluar dan menemukan tujuan
akhir.
Hingga detik ini, sang komandan pikiran
masih terombang-ambing. Mereka kelelahan, terlena dalam kebebasan. Sang komandan
belum berhasil menyusun puzzle-puzzle yang berhamburan. Jelas, ini bukan titik
perhentian, tapi secara teknis, perjuangan yang pernah dimulai itu sudah
terhenti di sini. Mereka perlu menyusun rencana kembali untuk mencapai tujuan
semula. Dengan lebih rapi, tertata, dan realistis.
Beruntungnya, kali ini tak perlu
memulai dari nol, pengalaman selama perjalanan yang lalu menjadi bahan
pertimbangan untuk strategi di kesempatan berikutnya.
Dua puluh satu tahun tumbuh
bersama otot, tulang, otak, dan jantung ini, terus saja berulang-ulang seperti
itu. Mencari garis start, berperang dalam perjalanan, terhenti di garis finish,
entah dengan selamat atau alamat. Satu yang selalu menjadi pengingat: mulai saja,
jalani sesuai rencana, jangan berhenti hingga tujuan tercapai. Hahaha, izinkan
saya tertawa, mudah diucapkan, namanya juga pengingat.
Eh, tapi rasanya ada yang
janggal. Mengapa untuk memulai rasa jatuh padamu semudah itu? Sudah begitu
tanpa rencana, berjalan begitu saja tanpa pengawalan. Hingga untuk memutuskan
berhenti saja seluruh elemen semesta harus ikut campur. Memangnya kau ini
siapa? Tujuanku saja bukan, tapi semerdeka itu mengomandoi perasaan ini. Ah
sudahlah, toh ini hanya tentangku, bukan tentangmu, apalagi tentang kita.
Notes: Coba dengarkan lagu gubahan Tyler Ward berjudul Plans in Pencil ini, siapa tahu cocok masuk ke dalam daftar putarmu.
Private document: Photographed at Central Jakarta November, 2019
Mengendarai motor malam hari
memang selalu menyenangkan bagi Prapti. Melihat suasana kota dan menikmati hiruk
pikuknya. Menghirup udara penuh polusi dan merasakan angin malam menerjang. Setiap
hari Prapti harus menempuh perjalanan 30 menit lamanya untuk pulang dari kantor
menuju kos, vice versa. Kadang berhenti sebentar kalau tiba-tiba sliwer ngantuk di jalan.
Tapi kalau ada teman yang nebeng pulang bareng, Prapti sangat senang, jadi ada
teman ngobrol di jalan dan nggak ngantuk.
“Loh kok belok sini, Ti? Kosmu
kan masih jalan lurus lagi?” tanya Rini yang nebeng Prapti malam itu. Katanya malam
ini Rini menghabiskan waktu di rumah saudaranya yang kebetulan satu kawasan
dengan kosan Prapti.
“Aku mau mampir beli jajan sama teh
botol, Rin. Di kompleks nggak ada kelontong, kudu belok ke kampung sini dulu,”
jawab Prapti.
“Bukannya ada Indomaret to di depan
gangmu?” tanya Rini.
“Kalau mau ngabisin duit itu
mending ke warung kelontong di kampung gini, Rin. Biar laris dagangan mereka.
Kalau Indomaret sama Alfamart mah pasti laris tiap hari!”
“Halah kamu ini sok baik,
Prapti..”
“Lho beneran, Rin.. Setiap hari aku
ganti-ganti kalo beli jajan. Kalau hari ini sudah di kelontong depan pos satpam,
besok aku ke kelontong yang di deket tukang nasi goreng di dalem. Besoknya lagi
beli di warung yang 24 jam itu, kadang juga mampir beli pia coklat di warung sebelah
portal.”
Kata Prapti biar adil, nggak satu warung aja yang dia larisin, yang lain-lainnya juga biar laris.Rini hanya menggeleng-gelengkan kepala sembari
tertawa kecil mendengar cerita temannya itu. Prapti memarkir motornya di depan
warung kelontong depan pos satpam yang dia sebutkan tadi. Kata Prapti lagi, warung
kelontong yang satu ini jual dimsum terenak sekampung ini.
“Bu mau dimsumnya yang isi 6.
Campur saja, Bu” pesan Prapti pada Ibu warung.
“Jalanan rame nggak, Mbak?” tanya
Si Ibu sambil menyiapkan dimsum pesanan Prapti.
“Sepi banget, Bu. Sudah pada
pulang kampung kalau nggak ya lagi makan opor ayam kali di rumah.” Jawab Prapti
sambil memilih-milih jajan yang sedang ingin Ia cemil malam ini.
“Iya ya sepi. Aku ya bingung mau
kemana, Mbak. Ini tadi aja aku pas buka puasa nangis Mbak, kangen Ibu nggak
bisa pulang kampung. Mangkannya ya jualan aja kayak biasa, biar nggak nangis.” Curhat
Si Ibu.
“Hehe iya Bu, yang sabar ya Bu..”
kata Prapti.
“Aku kalau sendiri gini Sukanya masak,
Mbak. Ini aku masak opor ayam banyak banget sampai om-om ojek online yang
mampir tak suruh makan dulu pas buka puasa tadi. Nggak bisa bagi-bagi duit ya
bagi-bagi makanan to Mbak, Om-Om Ojol tadi aja pada seneng katanya baru kali
ini makan opor pas malam lebaran,” Curhat Si Ibu lagi.
“Wah iya to, Bu? Bener bu, kalau
di kampung juga saya mesti disuruh anter-anter lontong sayur ke tetangga.” Kata
Prapti sambil menyerahkan uang pas kemudian mengambil kresek dimsum dan
jajannya seraya mengucap terima kasih. Sembari
menyalakan motornya kembali Prapti bilang ingin beli opor ayam dulu di warteg
pincuk belakang. Rini hanya mengangguk ngikut saja. Sesampainya di warteg, Si
Bapak Warteg langsung berdiri dan menyambut Prapti dengan senyuman.
“Bungkus, Mbak?” tanya Si Bapak
Warteg.
“Iya Pak, pakai nasi setengah
saja ya Pak, sama opor sama orek tempe.” Prapti memesan makanannya.
“Mbak kalau nggak kemana-mana besok
lebaran kesini saja mbak, makan opor bareng.” Kata Si Bapak sembari menyendok
opor ayam dan menuangkan ke nasi bungkus.
Prapti sedikit terkejut mendengar
ucapan si Bapak. Kemudian tertawa kecil dan mengiyakan, membayar, dan mengucap
banyak terima kasih. Saat hendak menaiki motornya, Ia terlihat menyeka matanya.
“Loh? Kamu ngapain nangis,
Prapti?” tanya Rini kebingungan.
“Kangen rumah, Rin.” Jawab Prapti.
Rini baru sadar Prapti terharu karena ucapan Bapak warteg tadi. Sebagai anak
rantau, Prapti sudah dua tahun ini tidak pulang kampung di hari besar yang
mestinya dirayakan bersama keluarga.
“Kamu emang deket ya sama bapak
ibu warung di kampung ini,” kata Rini sambil tersenyum.
“Ya meskipun nggak kenal namanya,
tapi mereka kalau aku datang pasti diajak ngobrol, baik-baik emang mereka,
kadang juga dibonusin gorengan gitu.” Jawab Prapti.
Rini mengangguk-angguk mendengar
cerita Prapti. Kata Prapti lagi, tujuan dia ganti-ganti warung juga biar cerita yang dia dengar setiap hari beda-beda. Ngobrol bersama orang-orang yang jauh dari pekerjaan
gedung-gedung pencakar setelah seharian duduk di depan komputer menjadi hiburan tersendiri bagi Prapti, jadi ada teman berbagi dan cerita kata Prapti.
Setelah mengantar Rini sampai ke tujuannya,
Rini turun dari motor, dan menerima dimsum pemberian Prapti.
“Lah kamu nggak makan dimsumnya?”
tanya Rini.
“Kamu harus cobain, itu enak
banget, paling enak yang pernah aku makan.” Seru Prapti dengan mata berbinar-binar.
“Makasih banyak, Prapti..” Rini
mengucap sambil menatap mata Prapti.
“Cuma dimsum lho, Rin..” jawab
Prapti.
“Nggak cuma dimsum.. kamu
ngasih pelajaran banyak buat aku malam ini.” Kata Rini sembari masih menatap mata Prapti.
Prapti tersenyum lebar kemudian
pamit. “Kapan-kapan kamu ikut aku ya makan pecel kesukaanku di belakang,
mas-masnya kocak.”
Rini hanya tertawa kemudian menyampaikan
hati-hati pada Prapti. Prapti melambaikan tangan dan melajukan motornya menuju
ke kosan. Sepertinya inilah alasan Prapti rela menempuh 30 menit setiap hari
pulang pergi ke kantor padahal banyak kosan juga di dekat kantor Prapti. Dia selalu
menyukai interaksi-interaksi kecil bersama ibu warung kelontong, bapak warteg
pincuk, mas-mas pecel di jalan belakang, mbak-mbak laundry beranak tiga, bapak
satpam yang suka patroli naik sepeda, bapak tukang bakso yang suka berkeliling hingga
pukul 11 malam, dan semua kehidupan di kampung ini. Semuanya terasa hidup dan hangat,
meski dibalik itu, ada perjuangan yang tak tahu kapan usai.
Empat tahun Prapti tumbuh di
kampung ini selama hidup merantau di Jakarta dan Ia menemukan kehidupannya. Ia merasa
beruntung dan selalu nyaman mendengarkan cerita sehari-hari dari mereka. Prapti
merasa di rumah setiap berada di kampung ini. Mereka tidak hidup dalam rumah
mewah dengan mobil mahal, tapi hatinya luar biasa tak ternilai harganya.
Setelah memarkirkan motornya, Prapti
membuka pintu kosan, berjalan menuju ke tangga, melihat tiga orang di lantai dasar
yang sedang masak opor ayam bersama. Setahu Prapti mereka bekerja di kantor dekat
sini. Prapti kemudian naik ke lantai dua menuju kamarnya, kemudian menyantap
nasi opor ayam kesukaannya itu. Sembari menyantap makan malamnya, Prapti membuka
handphonenya dan mengirim pesan kepada ayah bundanya.
Bunda:
Kakak sama siapa di kosan?
Prapti:
Ada teman bun
yang tidak mudik juga, berempat ini di kosan.
Bunda:
Alhamdulillah tidak sendirian ya,
selamat lebaran ya, Kakak, semoga bisa segera pulang ke rumah.
Prapti tersenyum dan membalas "aamiin" pada bundanya. Sambil meneteskan satu dua titik
air mata, mendengar letusan kembang api sana sini, Prapti tersenyum, menghabiskan malam lebaran sendirian di tanah rantau.