Senin, 21 Desember 2020

Gita Wiryawan a.k.a Gita Wiryawan


“Kamu mau memilih secara rasional atau emosional? Semuanya kembali ke kamu.”

Beberapa hari sebelum merayakan 20122020 saya dapat wejangan ini dari Mas Gita. Ah seperti biasa, Mas Gita kalau ngasih saran selalu mencerahkan. Kebanyakan bikin tertampar sih. Kalau saya dilahirkan kembali dan diberi kesempatan ingin punya kakak seperti siapa, mungkin Mas Gita jawabannya.

Tiga tahun lalu saya ketemu Mas Gita di salah satu kepanitiaan kampus, awalnya nggak tahu itu siapa, tiba-tiba nanya IPK terus minta saya jadi wakil ketua dalam organisasi yang akan beliau pimpin saat itu. Wah, ini orang kenal saya saja belum tiba-tiba menghakimi hanya dari nilai keberuntungan saya di tahun pertama ngampus.

Kesan pertama memang agak skeptis sih, pemikirannya terlampau visioner, teori dan pengalamannya banyak sekali, cukup bertolak belakang dengan sudut pandang saya waktu itu. Ternyata saya seberuntung itu bisa kenal Mas Gita. Beliau membuka paradigma yang nggak pernah saya tahu sebelumnya, memperkenalkan saya dengan banyak orang baru, keren-keren pula, semakin menyadarkan bahwa saya hanya remahan rinso.

Sebelum kuliah, saya tidak pernah baca buku selain buku pelajaran. Ya terkadang novel-novel teenlit semacam “Love Detective” atau “Pacarku Juniorku”. Mas Gita inilah yang mengimbau saya untuk mulai suka membaca. “Mulai baca aja dulu, buku apa aja boleh.” Seingat saya itu kalimat yang sering beliau ulang-ulang. Mau nggak mau jadi mulai minjem-minjem buku buat dibaca, sampai sekarang jadi suka checkout buku dari @post_santa.

Nggak berhenti di baca buku, disuruh nulis juga. Akhirnya mulailah belajar nulis juga, entah dapet hidayah dari mana pokoknya nulis aja. Saya nggak ingat tulisan saya pertama kali apa, intinya sampai hari ini saya sangat merasakan manfaatnya, senang bukan main, bangga.

Kalau bukan karena Mas Gita ngajarin saya nulis, belum tentu bisa jalan-jalan gratis walaupun baru di sekitar Jawa saja. 

Kalau waktu itu Mas Gita nggak mengomentari tulisan saya, “Paragraf satu ganti pokoknya, aku geli bacanya,” mungkin nggak jadi dapet auto A di salah satu mata kuliah horror.

Kalau nggak disuruh baca tulisan Eka Kurniawan atau Seno Gumira Ajidarma, belum tentu bisa ketemu Pak Jusuf Kalla di kompetisi esai JK tahun 2019 lalu. Kalau nggak dikirimin sepaket buku Muhidin M. Dahlan, nggak mungkin resensi buku “Inilah Esai” saya bisa dilike sama Gus Muh di Instagram. Dan masih banyak kalau-nggak-kalau-nggak lainnya.

Hah intinya bersyukur banget bisa kenal Mas Gita. Hari ini beliau merayakan hari terhebatnya sepanjang hidup. Setelah 5 hari lalu memasuki umur kepala 3, hari ini kamu diberkati oleh seorang teman hidup yang kamu tunggu sejak lama. Seseorang yang kamu nggak bisa kehilangan senyumnya.

Dulu, boro-boro ngomongin pacar, obrolannya politik mulu, kalau nggak ya pajak. Misalnya disuruh bikin bucket list nih, paling Mas Gita cuma nulis 3 poin terus udah. Mas Gita itu orang paling tidak ambisius yang pernah saya kenal, tapi satu per satu cita-citanya terus diraih, tak bersuara. Sekalinya bikin pengumuman, bikin gempar sejagat raya. Nggak pernah mau mengudara, lebih suka mengayomi dari balik layar.  

Selamat ulang tahun dan selamat menempuh hidup baru, Gita Wiryawan a.k.a Gita Wiryawan. Manusia yang mau berapapun versi yang ada di dalam dirinya, kalian tak akan peduli, dia tetap Gita Wiryawan yang kalian kenal. Semoga segala doa-doa yang kamu panjatkan, dikabulkan Yang Maha Kuasa. Jujur, kamu terlihat bahagia beratus kali lipat hari ini dan aku yakin seterusnya. Semoga selalu diberkati oleh Tuhan, menjadi keluarga yang tak putus bahagianya hingga hari tua. Godspeed! As you always said.

Bintaro, Minggu, 20 Desember 2020.

Sabtu, 12 Desember 2020

Sumedang, Agrowisata Masa Depan Indonesia

Bagian paling menyenangkan saat menghabiskan waktu liburan bagi saya dan mungkin kebanyakan orang adalah ketika bisa memanjakan mata dengan hijau-hijaunya alam. Akhir-akhir ini jika ditanya ingin berlibur ke mana, jawaban saya selalu berakhir pada tempat yang belum ramai dikunjungi orang namun memiliki pesona alam yang indah. Utamanya seperti persawahan, perkebunan, hutan, sungai, danau, atau air terjun dan mata air juga boleh. Bagi pegawai kantoran seperti saya yang setiap hari harus berurusan dengan jalan raya dan gedung pencakar, udara segar menjadi hal penting yang selalu menjadi prioritas saat refreshing. Tak ada yang lebih menenangkan dari suara embusan angin menerpa padi-padi di sawah, berjalan di tengah kebun teh, dan mendengar gemericik mata air yang bermuara pada danau sebening kaca.

Sebenarnya di kampung halaman saya di Malang sudah memiliki banyak perkebunan dan pegunungan, namun sayangnya mobil, motor, dan berbagai bangunan sudah memenuhi jalanan di sana, hiruk pikuk di Malang bisa dibilang tidak terelakkan. Maklum, Malang memang cukup terkenal sebagai kota tempat tujuan wisatawan. Sebagai gantinya saya lebih suka melancong ke daerah-daerah di Jawa Barat, selain karena hawanya yang dingin, jalanan lengang, hutan dan sawah banyak bertaburan di sana. Salah satunya adalah Sumedang, nama yang sudah sangat tidak asing di telinga orang Indonesia.

Desa Baginda, Tanah Sumedang, Surga Agrowisata Indonesia
Sumber: @daniel.dahni

Setiap perjalanan berangkat atau pulang kantor, dalam perjalanan menuju makan malam bersama kekasih, atau saat mudik di mana pun kampung kita berada, setidaknya pasti ada sekali dua kali kita menemukan pedagang Tahu Sumedang. Tahu yang satu ini memang enak dan gurih, renyah di luar tapi lembut saat menyentuh lidah. Barangkali sama seperti rasa yang bisa kita rasakan saat berjalan-jalan di tempat aslinya.

Surga Agrowisata Indonesia

“I would rather be on my farm than be emperor of the world.” - George Washington, Bapak Pendiri Amerika

Sebelum viral di media sosial, perkenalkan, sebuah kabupaten yang akan tumbuh menjadi surga agrowisata Indonesia di masa depan, Sumedang. Potensi pertanian dan perkebunan di Sumedang dapat dikatakan sebagai emas yang masih tertimbun di tanah, perlu digali hingga menjadi harta karun tanah air.

Sebanyak 270 desa dan 7 kelurahan dari 26 kecamatan di Sumedang hampir seluruhnya memiliki hamparan sawah yang masih asri dan belum terjamah oleh bangunan. Komoditas utama di Sumedang di antaranya padi, ubi jalar, kedelai, bawang, cabai, tomat, salak, jagung, dan masih banyak lagi. Semuanya tumbuh subur di dan menjadi sumber penghidupan anak kandung tanah Sumedang.

Di Desa Paseh Kaler, Kecamatan Paseh, Kabupaten Sumedang, tanaman pangan yang dilestarikan diantaranya padi, jagung, ubi jalar, dan kacang tanah. Sedangkan untuk komoditas perkebunan antara lain salak, manga, pisang, nangka, dan melinjo. Sejauh mata memandang persawahan di Desa Paseh Kaler membuat ingin tinggal di sana saja. Koperasi Serba Usaha dan Lembaga Keuangan Mikro di desa ini juga menunjang ekonomi penduduk dengan baik.

Desa Paseh Kaler, Sumedang
Sumber: @berry_123

Selain itu hewan ternak juga menjadi keunggulan di beberapa desa di Sumedang salah satunya di Desa Paseh Kaler ini. Warga rata-rata memiliki jenis ternak seperti sapi, domba, kambing, ayam ras, itik, dan kelinci. Tak hanya ternak, sumber Mata Air Cipaingeun di Dusun Parimas Desa Paseh Kaler juga menjadi daya tarik tersendiri. Selain untuk sumber irigasi pertanian, mata air juga bisa menjadi tempat refreshing yang memanjakan pikiran.

Melihat banyaknya potensi alam dalam satu tempat bukan hal mustahil untuk menjadikan Desa Paseh Kaler sebagai tujuan agrowisata. Tak hanya di Desa Paseh Kaler, hampir seluruh desa di Sumedang memiliki iklim agrikultur yang bagus, mayoritas penduduknya adalah petani atau peternak. Ada Desa Citepok, Desa Panyindangan, dan masih banyak lagi. Potensi sawah, kebun, peternakan, dan mata air di Sumedang sangat prospek untuk dijadikan destinasi agrowisata atau bahkan bisa dijadikan destinasi farmstays seperti di luar negeri.

Desa Panyindangan, Kecamatan Buahdua, Kabupaten Sumedang
Sumber: @thesuns192


Bayangkan saja kita bisa menginap di saung bambu yang nyaman dan sunyi, saat bangun tidur yang disuguhkan di depan mata tak lain hijaunya padi dan langit biru sembari disambut oleh nyanyian burung-burung. Siangnya kita bisa berenang di mata air yang jernih kemudian bermain bersama domba di peternakan yang luas. Tak lupa sorenya menjajal camilan tahu sumedang dan opak khas sumedang. Hmmm… membayangkannya saja sudah senyum-senyum sendiri.

Wisata Alam Pangjugjugan sepertinya cocok untuk menginterpretasikan harapan di atas. Hamparan hijau luas ini memiliki motto “Untukmu yang Suka Hijau”. Di kawasan wisata ini kita bisa bermain di hutan pinus, menikmati koleksi flora dan fauna, menyeruput kopi di teras pohon, bahkan ada curug buatan juga. Wisata Alam Pangjugjugan merupakan paket lengkap karena juga difasilitasi dengan area permainan dan edukasi flora fauna untuk anak-anak. Selain itu dilengkapi pula dengan wahana seperti flying fox, kolam renang, berperahu, hingga kolam terapi ikan. Berdasarkan beberapa testimoni pengunjung, suasana di sini masih tenang dan nyaman, kita masih bisa menikmati suara burung-burung dan suara alam di Pangjugjugan ini.

Wisata Alam Pangjugjugan
Sumber: @pangjugjugan

Kawasan agrowisata lainnya yang bisa dikunjungi di Sumedang antara lain Eco Green Park Kampung Karuhun, Kawasan Agrowisata Kampung Nangorak, Kampung Wisata Toga, dan Perkebunan Teh Margawindu. Harapannya desa-desa lain seperti Desa Paseh Kaler dan kawan-kawannya bisa dikembangkan oleh pemerintah setempat sehingga Sumedang mampu populer sebagai destinasi agrowisata di Indonesia.

Eco Green Park Kampung Karuhun
Sumber: @a_mahul


Bupati Sumedang telah memperkenalkan kekayaan Sumedang seperti Ubi Cilembu dan potensi agrikulturnya pada negara tetangga, Prefektur Wakayama, Jepang. Sumedang dan Wakayama telah menjalin kerja sama yang ke depannya berpotensi baik bagi iklim investasi agrikultur serta agrowisata di Sumedang.

“Ketika tiba di Kabupaten Sumedang, saya sudah seperti di Wakayama, Jepang, karena udara dan suasananya hampir sama dengan di sana,” tutur Hisatsugu Tajima, seorang pejabat Wakayama, Jepang, saat mengunjungi Sumedang akhir 2019 lalu.

Ah, tak usah jauh-jauh ke Jepang ya berarti kalau mau merasakan suasana nyaman seperti di negeri jiran. Memang sebenarnya kita perlu lebih membuka mata untuk melihat potensi dalam negeri, barangkali memang tak ada habisnya!

Mata Air, Mata Kehidupan

Sumedang memang anugerah baik dari Tuhan. Sebagai pelengkap agrowisata, mata air di Sumedang pun mengalir tanpa henti untuk menghidupi penghuninya. Enaknya di Sumedang, belum ramai orang, belum viral di tik-tok. Bahasa kerennya hidden gems.

Kalau kita telusuri mbah google, danau terjernih di dunia terletak di Selandia Baru, namanya Blue Lake. Melihat dari fotonya sih memang jernih sekali, bak kaca. Namun tak mau kalah, Sumedang juga punya berbagai jenis mata air yang lebih bersih dari wajah penulis yang penuh jerawat dan kilang minyak ini.

Situ Cilembang namanya. Berlokasi di Desa Hariang, Kecamatan Buahdua, Kabupaten Sumedang. Danau ini memiliki keunggulan berupa warnanya yang biru seperti langit. Cocok untuk spot foto, berenang, atau sekadar menikmati keindahan alam saja. Sepertinya tepat kalau saya beri julukan baru, Blue Lake Van Sumedang.

Blue Lake Van Sumedang, Situ Cilembang
Sumber: @apitooo

Tak hanya satu, Mata Air Cikandung juga menjadi salah satu mata air terjenih di Jawa Barat. Terletak di Dusun Sukasari, Desa Nyalindung, Kecamatan Cimalaka, Kabupaten Sumedang. Sebab belum banyak pengunjung, kebersihan di Mata Air Cikandung masih bersih, meskipun begitu, fasilitas tempat parkir dan kamar mandi sudah tersedia. Konon katanya mata air di sini tidak pernah surut bahkan saat musim kemarau sekalipun. Berhubung namanya saja mata air tentu saja pemandangan yang disuguhkan di sekitarnya tak lain tak bukan hijau-hijau rerumputan dan pegunungan. Kurang segar apa coba?

Mata Air Cikandung
Sumber: @notrip_nochannel


Berfoto di dalam Air Jernih Mata Air Cikandung
Sumber: @sdverdana


Sumedang diberkati Tuhan dengan melimpahnya mata air. Tepat di kaki Gunung Tampomas, Desa Cipamekar, Kecamatan Conggeang, Kabupaten Sumedang, bersembunyi Mata Air Sirah Cipelang. Utamanya mata air ini digunakan sebagai sumber irigasi perkampungan warga. Karena pesonanya yang tak terelakkan, mata air ini dikelola sedemikian rupa agar bisa menjadi tempat wisata. Kamar mandi, mushola, warung makan, bahkan spot foto sudah tersedia di sini. Uniknya di Mata Air Sirah Cipelang kita bisa menemukan ikan-ikan di dalam mata airnya, selain itu pepohonan dan akar menggantung menjadi hiasan alami di sini. Udara yang sejuk dan segar juga menambah nikmatnya menghabiskan waktu di sini.

Mata Air Sirah Cipelang
Sumber: @bubblebyu


Tiga masih kurang? Eits, masih banyak lagi mata air di Sumedang yang bisa dikunjungi dan berpotensi untuk menjadi kawasan wisata ke depannya. Beberapa di antaranya seperti Mata air Cilogang dan Cigirang di Desa Bojongloa, Mata Air dan Pegunungan Dusun Cilumping, Mata Air Narimbang dan Curug Ciputrawangi di Desa Narimbang, Mata Air Cinamalung di Desa Pasireungit, Mata Air dengan pemandangan hutan di Desa Boros, dan sebagainya.

Ada mata air tak lengkap rasanya jika tidak merasakan guyuran air terjun. Tenang, sudah dibilang kan, Sumedang ini karunia alam ibu pertiwi. Mata Air Narimbang yang ditemani Curug Ciputrawangi di Desa Narimbang misalnya. Mata airnya jernih, belum banyak pengunjung, warga sekitar juga sangat menjaga kelestarian alam di sini. Akses menuju Curug Ciputrawangi tidak terlalu sulit, tempat parkir juga memadai. Memiliki dua sumber air yang terjun dengan cantiknya di tengah bebatuan. Sumedang memang indah ya…

Mata Air Narimbang dan Curug Ciputrawangi
Sumber: @sigotik91

Curug Cadasri dan Curug Ciwalur menjadi paket hemat lainnya. Kedua curug tersebut berada dalam satu jalur yang searah. Puas banget bisa dapat dua curug dalam satu kali perjalanan, bukan? Keduanya sama-sama indah dan eksotis, terletak di Dusun Pasir Padang, Desa Jatinunggal, Kecamatan Jatinunggal, Kabupaten Sumedang. Curug Ciwalur memiliki bentuk air terjun yang cantik dan tentunya juga bisa dijadikan tempat untuk berenang dan menyegarkan pikiran.

Berbagai air terjun lainnya yang bisa dikunjungi di Kabupaten Sumedang diantaranya Curug Cigarugak di Desa Awilega, Curug Cigorobog di Desa Citengah yang cukup populer, Curug Cinulang dengan aliran derasnya di Desa Sindulang, Curug Buhud dengan arsitektur yang melebar alias Niagara Van Sumedang di Desa Sukatani, Curug Cipongkor Desa Ciherang dengan aliran deras menjulang lurus ke langit, serta curug-curug lainnya yang tak ada habisnya kalau disebutkan satu per satu.

Curug Cigorobog
Sumber: @adedsukmana


Tanah Sunda tidak hanya Bandung, Sumedang inilah the true hidden gems di Jawa Barat. Selepas mencicipi hiruk pikuk Kota Bandung melipir sedikit satu setengah jam perjalanan ke Sumedang bisa menjadi pilihan yang tepat. Menikmati jalanan legendaris Cadas Pangeran yang merupakan proyek jalan panjang Anyer-Panarukan Gubernur Daendels pada masa penjajahan dulu. Di masa mendatang akses menuju Sumedang akan lebih mudah dengan adanya Tol Cisumdawu yang sedang dalam proses pembangunan dan diperkirakan akan selesai pada 2021 mendatang. Tol Cisumdawu akan menghubungkan Bandara Kertajati, Kabupaten Majalengka hingga ke Sumedang.

Jalan Legendaris menuju Sumedang, Cadas Pangeran
Sumber: @ranggafw


Saya percaya, kita percaya, Sumedang bisa menjadi kawasan agrowisata yang menjanjikan di masa depan. Berlimpahnya wisata alam di Sumedang mulai dari hutan, sawah, kebun, ladang, mata air, danau, hingga air terjun menjadi pesona tersendiri bagi daerah ini.

Teringat sebuah kalimat dari salah seorang aktris hebat dunia, Eleonora Duse, 

“Jika pemandangan langit biru memenuhi hatimu dengan kebahagiaan, jika rerumputan yang tumbuh di ladang memiliki kekuatan untuk menggerakkanmu, jika hal-hal sederhana dari alam memiliki pesan yang kamu pahami, bersukacitalah, karena jiwamu masih hidup.”

Selasa, 01 September 2020

#IniUntukKita - Infrastruktur Negeri: Pembuluh Produktivitas Indonesia


"Sambelnya yang banyak ya, Mbak."

Langitnya mendung, sepertinya mau hujan, paling pas makan bakso pedas selagi panas. Dua jam memacu setir mobil cukup melelahkan juga, untungnya terselamatkan dengan hijau-hijau hutan-gunung sepanjang jalan tol tadi. Melihat bangunan rest area yang cakep membuat saya tidak tahan ingin mampir, maklum, baru pertama kali saya lewat tol Pandaan-Malang ini.

“Jalannya sudah bagus ya, Mas, ini juga sudah ada rest areanya, enak buat istirahat. Nggak takut ngantuk lagi, penumpang juga senang perjalanannya lebih cepat.” Celetuk Bang Juned, sebut saja begitu, seorang sopir bus malam yang sedang menyantap soto ayam di kursi depan saya.

“Zaman Jokowi ini memang banyak banget jalan baru, aku kirim Durian dari Palembang ke Jakarta kemarin bisa hemat sampai 1 hari 1 malam lho, Bang! Jadi nggak takut lagi buahnya busuk di jalan!” seru lelaki muda di sebelahnya yang sedang menyeruput jahe hangat, sebut saja Bang Budi, seorang sopir truk yang suka kirim durian, sawit, ketela, padi, dan barang macam apa saja sudah pernah dia bawa.

“Ini namanya percepatan pembangunan infrastruktur, Bang. Pemerintahan kali ini sedang fokus menciptakan konektivitas dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote. Tujuannya satu: Indonesia-sentris!” seru saya yang tiba-tiba semangat membahas topik infrastruktur Indonesia ini.

Dalam pidatonya sebagai presiden terpilih pada Juli 2019, Jokowi menyampaikan bahwa tahapan pertama untuk menjadi negara yang lebih produktif dan berdaya saing tinggi adalah dengan melanjutkan pembangunan infrastruktur. Pemerataan ekonomi dan kesejahteraan rakyat dapat tercapai dengan menghubungkan kawasan perkotaan dengan pedesaan, kawasan produksi dengan jaringan konsumen yang lebih luas, sehingga tercipta pertumbuhan nilai ekonomi rakyat.

Konektivitas Darat, Laut, dan Udara: Infrastruktur Pertumbuhan Ekonomi Rakyat

Proyek besar jalan Trans-Sumatera, Trans-Jawa, Trans-Kalimantan, Trans-Papua, dan Trans-Sulawesi, secara bertahap diwujudkan perlahan, manfaatnya agar menjadi jalur penghubung antar seluruh provinsi di Indonesia.

sumber: Kompas

Manfaat pertama yang akan dirasakan adalah berkurangnya biaya logistik distribusi produk, sudah hemat tenaga, hemat waktu, hemat uang bensin pula. Kedua, bertambahnya kapasitas pengangkutan barang dan penumpang baik darat, laut, maupun udara. Ketiga, meluasnya jaringan distribusi barang karena akses menuju wilayah yang sebelumnya sulit dicapai sekarang lebih mudah, tidak perlu bingung lagi mau jual barang ke siapa.

Tidak hanya jalan tol, akses jalan raya di daerah terpencil juga memberikan manfaat besar bagi masyarakat di sekitarnya. Pembangunan jalan baru untuk wilayah perbatasan Indonesia di tiga pulau yaitu Kalimantan, NTT, dan Papua juga telah dirampungkan bertahap. Dari yang mulanya harus menginap di jalan, takut ada preman, harus menebas tanaman liar di hutan, lumpur yang bisa merendam sampai selutut, berkat adanya jalan aspal di perbatasan, warga bisa melakukan aktivitas ekonomi lebih mudah dan produktif.

Era ini juga dikenal nama tol laut, sebuah proyek jalur pelayaran bebas hambatan menggunakan kapal besar untuk keperluan logistik yang menghubungkan pelabuhan di rute utama. Dengan adanya tol laut, ongkos kirim barang utamanya sembako ke pulau-pulau terpencil, Pulau Sabu di NTT misalnya, bisa lebih murah. Terbukti selama 2018, harga barang-barang turun hingga 20-30 persen, harapannya tidak ada lagi kelangkaan barang pokok di seluruh wilayah Indonesia.

sumber: Media Indonesia, Detik.com

Bicara tentang air, infrastruktur bendungan di Indonesia juga menjadi perhatian utama pemerintah. Sebanyak 65 bendungan dari penjuru barat hingga timur sudah dan akan dibangun untuk memenuhi pasokan air dan sistem irigasi para petani. Saya jadi ingat kata Ayah saya dulu di desa, “Petani kalau nggak ngandelin taneman ya nggak punya uang.” Dengan terjaminnya ketersediaan air, tanaman bisa panen, ketahanan pangan Indonesia pun menjadi lebih kuat.

Infrastruktur Negeri Mendukung Pemenuhan Kebutuhan Dasar Masyarakat

“Tapi, Mas, kalau bangun jalan saja kok kayaknya dari tadi yang untung besar hanya pedagang dan pengusaha saja, bagaimana dengan orang kecil lainnya, Mas? Katanya mau menyejahterakan rakyat, nggak semua rakyat bisa dagang, to?” pungkas Bang Budi.

“Infrastruktur nggak cuma bangun jalan dan bangunan, kok. Gampangnya begini, manfaat utama yang ingin dicapai pemerintah dalam pembangunan infrastruktur ini ada dua: pertumbuhan ekonomi dan pemenuhan pelayanan dasar rakyat.”

Pertumbuhan ekonomi dapat dicapai dengan meningkatkan konektivitas darat, laut, dan udara mulai dari jalan raya, jembatan gantung, lintasan kereta api maupun listrik,  bandara, pelabuhan, sistem irigasi, dimana kesemuanya itu yang jelas akan membuka ladang penghasilan baru, bukan? Sedangkan untuk pemenuhan pelayanan dasar masyarakat diantaranya ada beberapa aspek infrastruktur yang mesti dicapai seperti sumber listrik dan energi memadai, pemukiman layak, serta jaringan telekomunikasi yang baik.

sumber: etbke.esdm.go.id, youtube.com

Sampai dengan April 2020, rasio elektrifikasi nasional telah mencapai 98,93%, sumber penerangan dan listrik telah hadir di berbagai desa. Salah satu cerita datang dari Desa Ampas di Papua, “Perasaan saya senang, karena sudah ada terang. Sejak Indonesia merdeka tahun 1945, 73 tahun lalu, baru hari ini kita dapat penerangan.”

Sejak ada listrik dan lampu, anak-anak suka belajar di malam hari, padahal dulu langsung tidur karena tidak bisa beraktivitas di malam hari. Warga menjadi lebih produktif, semua orang punya kesempatan pendidikan yang setara, kualitas sumber daya manusia pun menjadi lebih baik.

Penyediaan hunian layak untuk rakyat juga merupakan bagian dari pembangunan infrastruktur negeri. Hingga 2017 telah dibangun banyak proyek Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) seperti di Umbulan, pembangunan pengelolaan persampahan seperti di Nambo, serta pengelolaan sanitasi. Apabila perumahan layak huni, pengelolaan sanitasi, dan persampahan memadai, maka warga bisa buang air pada tempatnya, memiliki lingkungan rumah yang sehat, sehingga kualitas kesehatan masyarakat membaik dan produktivitas pun meningkat.

sumber: economy.okezone.com, bogoronline.com


Proyek Palapa Ring sebagai infrastruktur telekomunikasi juga telah diselesaikan pada Oktober 2019 lalu. Manfaatnya tentu dapat dirasakan seluruh masyarakat yang sebelumnya tidak punya jaringan telepon atau internet, sekarang akses internet di Indonesia sudah menjangkau 34 provinsi. Informasi bisa tersebar lebih luas, akses terhadap internet lebih merata, tidak ada ketimpangan kesempatan antar wilayah.

Secara garis besar, sejak tahun 2014, pembangunan infrastruktur mampu memberikan manfaat nyata pada produktivitas masyarakat Indonesia: lapangan pekerjaan lebih terbuka, sehingga angka pengangguran terus menurun, ketimpangan distribusi pendapatan terus berkurang, angka kemiskinan berkurang, kegiatan ekspor meningkat, pariwisata menjadi primadona, hingga puncaknya mampu menjadikan daya saing global Indonesia lebih maju.

Sebelum melanjutkan perjalanan, saya berterima kasih pada Bang Juned dan Bang Budi yang sudah membuka pandangan saya, bahwa rakyat Indonesia itu... mampu berdaya bersama infrastruktur yang terus berkarya! Seraya mengutip tulisan dari sebuah novel,

“Sebuah negara bukan hanya sebatas kumpulan infrastrukturnya, mereka mengubah batu bata, beton, dan baja, menjadi pembuluh sebagai tempat kemampuan luar biasa manusia mengalir.”-The 5th Wave 

Rabu, 26 Agustus 2020

Helen dan Sukanta, Romansa Pelik dari Tanah Hindia

Saya selalu percaya, tak ada yang namanya cinta beda agama, beda golongan, beda kelamin, apalagi beda kasta. Mereka hanya sesederhana dua manusia yang ingin berbagi kasih, menyayangi satu sama lain. 

Helen dan Sukanta, panggilan sayangnya “Ukan”. Jadi teringat bagaimana dulu saya mengambil sepenggal huruf dari namanya, “Uqie” dari Syauqie. Setuntas membacanya, novel setebal 362 halaman ini cukup memenuhi ekspektasi saya dalam hal penggambaran suasana kota kesukaan saya, Bandung, sejak 1924 hingga tahun 2000. Tjiwidei, Bragaweeg, Oedjoengberoeng, Lembang, Tjihapit, dan berbagai tempat lain terlukis indah, sebelas duabelas dengan yang saya rasakan saat liburan 3 hari ke Bandung minggu lalu.

Pidi Baiq masih mengambil dari sudut pandang pemeran utama wanita, Helen Maria Eleonora, seperti Milea, yang tergila-gila dengan lelaki yang dicintainya. Ukan tak banyak bicara, romansa kali ini lebih banyak menceritakan halang rintang hubungan seorang pribumi dan darah Belanda asli pada masa sebelum kemerdekaan. Masalah lebih banyak datang dari mama, papa, dan keluarga Helen dengan sifat asli darah londo-nya, juga peperangan antar Jepang-Belanda yang membawa ke bagian puncak kisah cinta Helen dan Ukan.

Saya menikmati setiap babnya, meski terkadang kisah cintanya terasa hambar, tidak mengusung banyak aksi pengorbanan, mengalir saja menceritakan bagaimana Helen dan orang-orang di sekitarnya menghabiskan waktu serta menghadapi persoalan dari hari ke hari. Padahal saya ingin menyaksikan bagaimana Ukan merayu Helen sampai Helen tersipu sendiri saking senangnya, seperti Dilan Milea gitu namun dengan balutan kearifan bahasa tempo dulu.

Helen sangat mencintai Sukanta hingga Ia tidak bisa berpaling kepada lelaki manapun, sesekali terasa seperti cinta monyet yang kekanak-kanakan, tapi tak apa, mungkin saja cerita yang sederhana itu sudah menjadi kebahagiaan tersendiri di masa itu, sebelum media sosial dan telepon pintar menyerang.


gambar pribadi

Perjalanan dua manusia saling jatuh cinta, dengan segala usaha mereka melawan batasan yang sialnya diciptakan oleh sesama manusia lainnya, memang menjadi tema yang menyenangkan bagi saya, apalagi sedang sendiri seperti ini, rasanya jadi ingin merajut kisah saya sendiri, hehe. Hindia pernah menjadi saksi romantis Helen dan Ukan, Tjiwidei dan Lembang lebih tepatnya, perkebunan yang saya duga di wilayah Rancabali juga menjadi tempat favorit mereka berdua berbicara hal-hal kecil sehari-harinya. 

Dalam epilog Helen masih tetap mencintai Ukan dengan seluruh hati dan dirinya, di rumahnya di Amsterdam. Pidi Baiq memang lihai membuat pembacanya jatuh cinta pada latar yang diciptanya, entah benar terjadi maupun tidak. Saya belum mencari tahu lagi apakah kisah ini nyata atau tidak, dan rasanya saya tidak mau tahu.

Biarkan Tanah Hindia dan Amsterdam menjadi dua negara yang pernah bermusuhan hebat satu sama lain, namun perkara hati, bahkan horizon dan darah yang mengalir di tubuh pun tak akan bisa memaksa berhenti dua manusia yang sepakat saling menaruh hati.

Saya selalu percaya, tak ada yang namanya cinta beda agama, beda golongan, beda kelamin, apalagi beda kasta. Mereka hanya sesederhana dua manusia yang ingin berbagi kasih dan menyayangi satu sama lain, memutuskan dalam hidupnya, bahwa dengan kamu, saya ingin menghabiskan sisa waktu.

 

 

 

Minggu, 26 Juli 2020

Inilah Resensi, Muhidin M. Dahlan, Belajar Menulis di Perpustakaan Tua


Seorang mentor merekomendasikan buku ini kepada saya, “Inilah Resensi” judulnya, digubah oleh Muhidin M. Dahlan. Ia juga mendorong saya untuk “Ayo, kamu belajarlah menulis mumpung masih muda, aku menyesal karena nggak mulai rajin menulis sejak dulu, sekarang ingin rutin menulis sudah tidak bisa fokus karena pekerjaan ini-itu.”

Kalau dipikir-pikir, substansi Inilah Resensi  tak jauh berbeda dengan buku paket Bahasa Indonesia saat SMA dulu. Isinya menjelaskan secara lengkap mulai dari struktur resensi, ilmu dan pengetahuan dasar mengenai apa itu resensi, bagaimana cara memulai sebuah resensi dan menaklukkan tiap bagiannya judul, pembuka, narasi tubuh, hingga penutup. Poin nomor 3 tentang “Metode Penulisan” dan nomor 7 "Cerita yang Menonjol" pada Bab “Narasi-Narasi di Tubuh Resensi” menjadi pilihan untuk saya coba implementasikan pada resensi kali ini. Muhidin M. Dahlan membaca, mengkompilasi, dan memilah 150 peresensi dan 250 resensi sejak 1902 hingga 2015 untuk menjadi bahan baku terciptanya buku Inilah Resensi. Kurang niat apa beliau?

Bagian kesukaan saya seiring membaca sebuah buku ialah setiap menemukan kata maupun kalimat yang benar asing sebelumnya, kisah dan paragraf yang tak pernah terpikirkan mungkin terjadi, nama-nama tokoh yang aestetik, juga judul berbagai karya yang mungkin susah ditemukan hari ini. Misalnya saja, dulu sebelum media sosial merajalela, resensi pernah menjadi alat untuk saling berkomentar pedas satu sama lain.

Bayangkan saja, pada sebuah koran publik Tjan Kiem Bie meresensi roman Mata Gelap karya Mas Marco Kartodikromo dengan kalimat penutup “… Jadi buang saja (buku) itu di dalam keranjang kotor. Memang di situ, menurut seharusnya, itu buku musti dapat tempat.” (teks asli ditulis dalam ejaan lama).

Kira-kira kalau zaman sekarang ada yang menulis seperti itu di koran apa tidak viral dimana-mana? Tuntutan bermunculan, komentar tidak berdasar bertaburan. Bedanya, Marco justru menanggapi resensi tersebut dengan resensi pula, lengkap dengan kllarifikasi dengan kritis setiap paragraf yang dianggap bermasalah.

Berbagai judul buku ekonomi rekomendasi Soemitro Djojohadikusumo juga muncul dalam Bagian Satu buku ini yaitu menilik bagaimana tokoh yang tidak dikenal sebagai penulis justru menggeluti dunia resensi karena bagi mereka, buku sudah menjadi bagian hidup mereka: Soekarno, Hatta, Purbatjaraka, Swantoro, Sumitro, dan Jassin).

(dokumen pribadi)

Melalui buku ini, saya diingatkan, bahwa kekuatan resensi itu tidak main-main. Resensi mampu memperkenalkan karya satu sama lain, alat penyampaian aspirasi, penggali dukungan orang lain, media untuk mengkritisi tokoh politik, bahkan menjelma sebagai surat untuk menuntut turunnya peredaran sebuah buku yang memang dianggap kurang bisa membawa edukasi baik bagi pembaca. Sayangnya, hari ini sepertinya resensi sudah tidak laku dan tidak seseru seperti yang saya temukan di buku ini.

Kata demi kalimat terangkai apik dan elegan, ringkas, langsung ke poin utamanya dengan menyertakan contoh resensi dari berbagai jenis buku dan penulis pada masanya. Tidak ada alasan untuk tidak membaca buku ini, bagi saya, rasanya membaca buku ini seperti menyusuri lorong perpustakaan tua dengan buku-buku antik yang tak akan kamu temukan di tempat lain.

Satu hal lagi, ada tambahan tips dari penulis pada setiap partisi babnya, kurang lengkap apa coba? Memanggil kembali ajakan mentor saya, menulis resensi ternyata juga bisa menjadi kurikulum mengasah kemampuan menulis seseorang. Selamat membaca! 


Orang Baik

Powered By Blogger

Jejak Istimewa