Jam menunjukkan pukul 03.28 WIB ketika saya
menyusuri Jalan Senopati menuju arah Jalan Tendean. Rasanya cukup aneh melihat
Jakarta sepi, apalagi di jalan protokol seperti ini. Sekilas terasa
sejuknya Jakarta dini hari, mobil dan motor yang biasa berkeliaran sedang
dipeluk erat oleh para Homo Jakartanesis-panggilan sayang ciptaan Seno Gumira
Ajidarma-di alam tidur, jangan sampai lepas titahnya.
Volume hiruk pikuk memang jauh lebih
tenang dibandingkan saat jam pulang kerja, tapi namanya juga Jakarta, nggak
bisa diem. Sambil menikmati angin sepoi-sepoi, parade knalpot Harley Davidson dan lesatan motor lebih dari 100
km/jam saling berteriak menyemarakkan kuping saya, mungkin supaya miliaran rupiah yang sudah berubah
bentuk itu nggak nangkring saja di garasi.
![]() |
| tepi halte SCBD 03.45 WIB |
Setelah mengisi bensin di Tendean,
saya menyusuri jalan SCBD untuk menjemput seorang rekan. Sembari menunggunya,
saya berhenti di depan halte SCBD. Kalau jam segini, hanya ada seorang petugas
keamanan ditemani seekor anjing. Sesekali akan ada yang keluar dari gedung megah
di sudut SCBD tersebut, kemudian menaiki taksi yang dipesannya. Melihat berkas
yang ia tenteng di tangan kanan dan tas laptop di tangan kiri, saya berasumsi mungkin
baru selesai lembur, atau baru mau berangkat ke suatu tempat, seperti saya.
Seperti para pengendara Harley tadi,
pagi ini saya dalam perjalanan menuju Bogor untuk mengejar sesuatu. Padahal
pukul 01.00 tadi, saya baru saja tiba dari Semarang. Beberapa orang mungkin
akan bertanya, ngapain dibelain begitu? Karena ada hal yang saya kejar:
sesuatu yang saya suka.
Beberapa minggu lalu ketika ada
yang menawarkan untuk ikut bergabung dalam sebuah event di Bogor, entah bagaimana
gairah itu bangkit, tanpa pikir panjang langsung saya iya-kan. Meski saat itu
bahkan saya tidak tahu bagaimana caranya teleportasi dari Semarang ke Bogor
dalam waktu singkat. Pun kapasitas yang saya punya untuk bisa bergabung di
sana, saya rasa kurang. Teleportasi saya atasi dengan hibernasi selama perjalanan
Semarang-Jakarta. Kapasitas? Mbah Google punya jawabannya. Kalau kata
Jason Ranti ini namanya Jalan Ninja. “Jadilah apapun yang kamu rindu,” begitu
katanya.
Sejak memasuki dunia baru setelah
perkuliahan, beberapa situasi membatasi saya untuk kembali mencicipi hal yang
dulu membuat saya selalu hidup. Kemarin, akhirnya saya tersadarkan. Perihal
waktu, akan selalu ada kalau disisihkan, tak ada yang namanya tak punya waktu. Perkara
kemampuan, “belajar” mestinya menjadi kata pertama dalam kamus karier seseorang.
Terlebih lagi, berada di Jakarta, kota yang tak pernah tidur ini cocok menjadi
tempat bernaung segala gairah di dalamnya.
Hari itu, saya merasakan efek
ekstasi itu kembali. Lagi-lagi sama seperti parade Harley tadi pagi, mungkin mereka
rindu menunggangi kuda kesayangannya tanpa takut dihakimi. Rindu memang sejatinya mesti dibayar. Ketika rindu akan suatu
hal, mendekatlah, genggam dan rasakan bagaimana kembali menjadi hidup.

