![]() |
| Jalan Layang Cawang-Grogol 17.33 WIB |
Sore ini dalam laju jalan layang Cawang-Grogol semburat senja berlatar gedung pencakar langit terpotret dalam klise mata, cantik sekali, gorgeous kalau bahasa kerennya.
Delapan tahun di Jakarta, bolak balik lewat jalanan semrawutnya, tapi tetap saja nggak bisa nggak ngowoh kalau liat senja featuring skyscrapper khas Jakarta. Kenapa saya mengistimewakannya? Karena di Malang gedung paling tinggi juga paling 23 lantai. Itupun hanya sedikit.
Barangkali hari ini saya menemukan sebutan yang pas buat Jakarta: suaka. Dalam KBBI: su·a·ka n tempat mengungsi (berlindung), menumpang (pada), menumpang hidup (pada).
Suaka identik dengan pengungsian, pelarian. Driver ojek, abang sate, tukang parkir, coba tanya saja, berapa dari mereka yang orang asli Jakarta? Mayoritas pendatang yang mengadu nasib di Jakarta, menurut mereka kota ini menjanjikan penghasilan yang lebih layak daripada di kampung halaman. Tak terkecuali para "pegawai kantoran" yang dominasinya lebih dari 50% sebagai jenis pekerjaan tertinggi di DKI Jakarta (BPS 2020). Salah satunya saya.
Kuliah, bekerja, jatuh, bangkit, berelasi, menempa diri, pulang ke kampung saja setahun tiga kali paling banyak, kalau sekali cuti 10 hari, anggap saja 30 hari di kampung, 1 dari 12 bulan, praksis 91,66% hidup saya jalani di Jakarta.
Konotasi "pelarian" terlanjur buruk di kamus netizen Indonesia. Tadi saat saya menyetir di sepanjang Jalan Sudirman kepikiran, memangnya kenapa kalau betah di tempat pelarian? Apa artinya nggak kangen kampung halaman?
Indeks kebahagiaan warga Jakarta pada 2017 lalu mencapai 70%. Bahagia beneran atau enggak ya urusan lain.
Kalau Jakarta itu orang, mungkin pahalanya sudah tak terhitung banyaknya. Ia rela dipenuh sesakkan oleh masalah, tapi tetap tinggal untuk "melayani" manusia di dalamnya. Selfless? Bukan. Justru itu ego "sang suaka". Tentang ini saya berminat membahasnya di tulisan selanjutnya.
Saya sendiri jatuh cinta pada Jakarta, suaka bagi saya, namun tak bisa lalu mengabaikan kampung begitu saja.
Idealis itu ego manusia, tapi 100 miliar sel saraf dalam tubuh manusia tak lantas mau dipaksa untuk berhenti mencintai hal yang membuat kita bahagia.
Siapa, di mana, dan apa suaka bagimu? Mana yang kampung, mana yang rantau? Mana yang rumah, mana yang pelarian? Sudah terlalu tipis benang pembatasnya. Rumah tempat untuk pulang, suaka tempat untuk berlindung. Nah lho? Piye iki?

