Minggu, 28 Agustus 2022

Perihal Gairah, Rindu, dan Jakarta

Jam menunjukkan pukul 03.28 WIB ketika saya menyusuri Jalan Senopati menuju arah Jalan Tendean. Rasanya cukup aneh melihat Jakarta sepi, apalagi di jalan protokol seperti ini. Sekilas terasa sejuknya Jakarta dini hari, mobil dan motor yang biasa berkeliaran sedang dipeluk erat oleh para Homo Jakartanesis-panggilan sayang ciptaan Seno Gumira Ajidarma-di alam tidur, jangan sampai lepas titahnya.

Volume hiruk pikuk memang jauh lebih tenang dibandingkan saat jam pulang kerja, tapi namanya juga Jakarta, nggak bisa diem. Sambil menikmati angin sepoi-sepoi, parade knalpot Harley Davidson dan lesatan motor lebih dari 100 km/jam saling berteriak menyemarakkan kuping saya, mungkin supaya miliaran rupiah yang sudah berubah bentuk itu nggak nangkring saja di garasi.

tepi halte SCBD 03.45 WIB

Setelah mengisi bensin di Tendean, saya menyusuri jalan SCBD untuk menjemput seorang rekan. Sembari menunggunya, saya berhenti di depan halte SCBD. Kalau jam segini, hanya ada seorang petugas keamanan ditemani seekor anjing. Sesekali akan ada yang keluar dari gedung megah di sudut SCBD tersebut, kemudian menaiki taksi yang dipesannya. Melihat berkas yang ia tenteng di tangan kanan dan tas laptop di tangan kiri, saya berasumsi mungkin baru selesai lembur, atau baru mau berangkat ke suatu tempat, seperti saya.

Seperti para pengendara Harley tadi, pagi ini saya dalam perjalanan menuju Bogor untuk mengejar sesuatu. Padahal pukul 01.00 tadi, saya baru saja tiba dari Semarang. Beberapa orang mungkin akan bertanya, ngapain dibelain begitu? Karena ada hal yang saya kejar: sesuatu yang saya suka.

Beberapa minggu lalu ketika ada yang menawarkan untuk ikut bergabung dalam sebuah event di Bogor, entah bagaimana gairah itu bangkit, tanpa pikir panjang langsung saya iya-kan. Meski saat itu bahkan saya tidak tahu bagaimana caranya teleportasi dari Semarang ke Bogor dalam waktu singkat. Pun kapasitas yang saya punya untuk bisa bergabung di sana, saya rasa kurang. Teleportasi saya atasi dengan hibernasi selama perjalanan Semarang-Jakarta. Kapasitas? Mbah Google punya jawabannya. Kalau kata Jason Ranti ini namanya Jalan Ninja. “Jadilah apapun yang kamu rindu,” begitu katanya.

Sejak memasuki dunia baru setelah perkuliahan, beberapa situasi membatasi saya untuk kembali mencicipi hal yang dulu membuat saya selalu hidup. Kemarin, akhirnya saya tersadarkan. Perihal waktu, akan selalu ada kalau disisihkan, tak ada yang namanya tak punya waktu. Perkara kemampuan, “belajar” mestinya menjadi kata pertama dalam kamus karier seseorang. Terlebih lagi, berada di Jakarta, kota yang tak pernah tidur ini cocok menjadi tempat bernaung segala gairah di dalamnya.

Hari itu, saya merasakan efek ekstasi itu kembali. Lagi-lagi sama seperti parade Harley tadi pagi, mungkin mereka rindu menunggangi kuda kesayangannya tanpa takut dihakimi. Rindu memang sejatinya mesti dibayar. Ketika rindu akan suatu hal, mendekatlah, genggam dan rasakan bagaimana kembali menjadi hidup. 

Jumat, 29 April 2022

Perihal Jakarta dan Pelarian


Jalan Layang Cawang-Grogol 17.33 WIB

Sore ini dalam laju jalan layang Cawang-Grogol semburat senja berlatar gedung pencakar langit terpotret dalam klise mata, cantik sekali, gorgeous kalau bahasa kerennya. 

Delapan tahun di Jakarta, bolak balik lewat jalanan semrawutnya, tapi tetap saja nggak bisa nggak ngowoh kalau liat senja featuring skyscrapper khas Jakarta. Kenapa saya mengistimewakannya? Karena di Malang gedung paling tinggi juga paling 23 lantai. Itupun hanya sedikit. 

Barangkali hari ini saya menemukan sebutan yang pas buat Jakarta: suaka. Dalam KBBI: su·a·ka n tempat mengungsi (berlindung), menumpang (pada), menumpang hidup (pada). 

Suaka identik dengan pengungsian, pelarian. Driver ojek, abang sate, tukang parkir, coba tanya saja, berapa dari mereka yang orang asli Jakarta? Mayoritas pendatang yang mengadu nasib di Jakarta, menurut mereka kota ini menjanjikan penghasilan yang lebih layak daripada di kampung halaman. Tak terkecuali para "pegawai kantoran" yang dominasinya lebih dari 50% sebagai jenis pekerjaan tertinggi di DKI Jakarta (BPS 2020). Salah satunya saya. 

Kuliah, bekerja, jatuh, bangkit, berelasi, menempa diri, pulang ke kampung saja setahun tiga kali paling banyak, kalau sekali cuti 10 hari, anggap saja 30 hari di kampung, 1 dari 12 bulan, praksis 91,66% hidup saya jalani di Jakarta. 

Konotasi "pelarian" terlanjur buruk di kamus netizen Indonesia. Tadi saat saya menyetir di sepanjang Jalan Sudirman kepikiran, memangnya kenapa kalau betah di tempat pelarian? Apa artinya nggak kangen kampung halaman?

Indeks kebahagiaan warga Jakarta pada 2017 lalu mencapai 70%. Bahagia beneran atau enggak ya urusan lain. 

Kalau Jakarta itu orang, mungkin pahalanya sudah tak terhitung banyaknya. Ia rela dipenuh sesakkan oleh masalah, tapi tetap tinggal untuk "melayani" manusia di dalamnya. Selfless? Bukan. Justru itu ego "sang suaka". Tentang ini saya berminat membahasnya di tulisan selanjutnya.

Saya sendiri jatuh cinta pada Jakarta, suaka bagi saya, namun tak bisa lalu mengabaikan kampung begitu saja.

Idealis itu ego manusia, tapi 100 miliar sel saraf dalam tubuh manusia tak lantas mau dipaksa untuk berhenti mencintai hal yang membuat kita bahagia. 

Siapa, di mana, dan apa suaka bagimu? Mana yang kampung, mana yang rantau? Mana yang rumah, mana yang pelarian? Sudah terlalu tipis benang pembatasnya. Rumah tempat untuk pulang, suaka tempat untuk berlindung. Nah lho? Piye iki?



Senin, 03 Januari 2022

Review "Senja di Jakarta" Mochtar Lubis

Sumber: Wikipedia


๐Ÿ“š Tentang Buku:

Potret dunia Jakarta kala 1950-an di mana Mochtar Lubis menulis buku ini saat masih di penjara. Salah satu buku kritik dalam sastra yang keren dan lugas.

Kisah fiksi di dalamnya menghidupkan beberapa tokoh utama yang terlibat korupsi untuk upaya pemenangan partai dalam pemilu. Bersamanya diselingi tokoh pendukung mulai dari kalangan bangsawan, jurnalis, proletar, hingga medioker.

๐ŸŒŠGaya Penulisan dan Alur:
Meskipun gaya penulisan alurnya dibuat lompat antar tokoh utama, namun benang merah yang dimaksud sangat kentara.

Bagaimana para penguasa memperkaya golongannya, bagaimana media sebenarnya tidak bisa semudah itu dipercaya, bagaimana proletar mudah dibodohi karena tak ada pilihan lain, bagaimana kesemuanya itu menurut saya masih terjadi tipis-tipis di zaman sekarang, hanya dengan metode dan bentuk yang berbeda.

Hingga pada akhirnya semua permainan tersebut merugikan lapisan masyarakat paling rendah dan para biang keroknya dengan mudah hanya mundur dari kabinet untuk kemudian dibentuk kabinet baru untuk kemudian dilawan lagi oleh tim oposisi baru. Begitu saja seterusnya. Pantas saja yang kaya semakin kaya, yang melarat semakin melarat.

๐Ÿง”Penokohan:
Penggambaran kehidupan setiap kelas sosial ditunjukkan dengan relevan di sini. Seperti misalnya bagaimana dua tokoh pemulung, Itam dan Saimun, yang hanya dengan menghirup sebatang kretek saja sudah menjadi kebahagiaan luar biasa. Namun di sisi lain selalu merutuki nasibnya menjadi orang miskin, tak mau berupaya lebih, dan hanya diam menunggu pemerintah yang sebenarnya tidak peduli sama sekali dengan mereka.

Sedangkan misalnya, Pranoto dan Yasrin, sebagai kelas medioker memiliki masalah krisis eksistensialisme pekerjaan di sini. Jurnalis yang selalu merasa menang, Halim, sebenarnya justru iblis paling bahaya dalam konflik ini. Raden Kaslan dan Husin Limbara, politikus dengan segala kemudahannya menghamburkan dan mendapatkan uang.

Satu lagi, jangan lupakan tokoh perempuan dalam kisah ini: Iesye, Fatma, Hasnah, Dahlia, dan Neneng. Kala itu perempuan tak dapat berbuat banyak selain memuaskan gengsi para lelaki. Saya teringat novel Eka Kurniawan, Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas, di mana perempuan juga masih digambarkan tak berdaya, hanya mengikuti arus kehidupan saja. Namun di novel ini, meski tak dapat berbuat, ditunjukkan bahwa cara berpikir para perempuan lebih rasional, fokus, lugas, dan paling penting, intuitif.

๐ŸŽชKeunikan:
Meskipun buku ini mayoritas menggambarkan pesimisme terhadap keadaan sebuah negara, Mochtar Lubis masih menyelipkan perasaan kemanusiaan dan gelisah pada koruptor itu. Suryono dan Sugeng contohnya, dua tokoh yang menurut saya patut diperhatikan dalam pengembangan karakter novel ini.

Pesimisme dan optimisme hidup berdampingan dalam novel ini. Setidaknya, itu yang saya rasakan.

Laporan Kota juga diselipkan dalam setiap bab. Mungkin tujuannya untuk memberi sedikit warna tentang bagaimana keadaan Jakarta di sudut-sudut kota saat itu.

๐ŸŒŸBagian Favorit:
Pendapat Suryono tentang eksistensialisme menjadi bagian favorit saya. Kira-kira apabila saya kutip ulang seperti ini, 

"Nasib manusia dalam sebuah negara tidak dipengaruhi masyarakat sekitarnya maupun susunan ekonominya, akan tetapi dalam dirinya sendiri. Harus yakin bahwa dia itu ada."

Kalau dikaitkan dengan buku The Laws of Human Nature karya Robert Greene, sebenarnya ide eksistensialis ini justru yang paling relevan.

Adegan diskusi sepanjang buku yang dibuat cukup memeras otak, meskipun maksud sebenarnya sebagai sindiran, "kebanyakan analisa dan diskusi tapi tak ada aksi." Saya akui ini bagian paling berkesan.

Kekurangan Menurut Saya:
Beberapa paragraf terkesan terlalu rumit dan diulang-ulang. Kadang agak pusing bacanya. Masalah politik yang kurang komprehensif penjelasannya juga membuat saya kadang kurang paham bagaimana praktik korupsi itu sebenarnya terus lestari di dunia politik. 

Laporan kota yang disajikan kurang relevan dengan kasus utama, namun tak apa, anggap saja sebagai kisah sampingan. Penyelesaian kisah yang cukup pesimis dapat dimaafkan karena tersirat sedikit berkas-berkas harapan.

๐ŸŒKonklusi:
Secara keseluruhan, saya suka bagaimana setiap tokoh memiliki perannya masing-masing untuk menghidupkan novel ini. Salah satu fiksi sejarah Indonesia terbaik sepanjang daftar bacaan saya. Penggambaran Jakarta yang tidak muluk-muluk namun terasa sekali relevansinya, serta membuka wawasan tentang permainan sosial-politik-media secara permukaan.

Kritik tajam tersurat dalam setiap percakapan dan adegannya. Tidak hanya untuk salah satu kalangan, tapi seluruhnya, setidaknya di Jakarta. 

Orang Baik

Powered By Blogger

Jejak Istimewa