Kamis, 22 April 2021

Semesta dan Kisah Cinta



“Aku tak tahu dengan siapa aku akan menghabiskan sisa waktuku, tapi siapapun itu, bagaimana jika dia tidak mau menungguku seperti kau menungguku tadi? Kau menungguku dengan sangat sabar, tanpa tergesa sedikitpun, bahkan dengan merayuku di akhir waktu."

"Maka biarkan aku yang selalu menemanimu ke sini, biarkan aku yang selalu menunggumu ketika kau ingin mengunjungi tempat ini."

"Sungguh?"

Aku menghentikan langkahku, pun ia juga menghentikan langkahnya karenaku. Aku menghadapkan wajahku padanya, "Pernahkah aku tak bersungguh-sungguh padamu?"

Matanya menatapku nanar. Mulutnya membisu tapi aku tahu bibir manis itu sangat ingin meruapkan segalanya. Aku menatapnya dengan senyuman. Napas kita tertahan oleh kejamnya keadaan.

Aku menikmati wajah rupawannya yang tanpa cela itu. Kemudian aku terkekeh ringan dan berujar, "Kok bisa ya, ada mata yang selalu indah setiap waktu seperti milikmu? Ya Tuhan, Kau curang, Kau memperkenalkan aku pada gadis seindah ini namun Kau tak izinkan aku bersamanya?" Aku mengomel pada hembusan angin.

Dia tertawa lepas dan menggeleng-gelengkan kepala mendengar berisiknya mulutku. “Dasar! Kamu selalu berhasil membuatku tertawa!”

Langkahku dan langkahnya terus beriringan menapak debu jalanan. Sesekali membicarakan pohon mangga atau rumput liar di halaman rumah tetangga. Beberapa kali angin mengacaukan rambutnya, membuatku terus menerus membelai kepalanya merapikan poninya yang berantakan itu. Saat aku terkadang mengatakan sesuatu yang membuatnya terkekeh geli, dia akan memukul lenganku atau mencubitnya. Tawa dan senyum bergantian menemani sepanjang jalan. Tuhan, bisakah kau membuat hari ini lebih lama dari biasanya?

Tak terasa kami tiba di depan halaman rumah yang kami tuju.

"Terima kasih, ya”

"Kau tahu kan? Kau selalu punya aku. Aku selalu milikmu."

“Jangan terlalu baik padaku. Aku sudah bukan milikmu lagi, kau tahu itu.”

“Apa ada yang salah dari kata-kataku? Kamu memang bukan milikku lagi. Tapi aku selalu milikmu. Titik. Tak ada perlawanan.”

Dia tersenyum manis. Getir lebih tepatnya. Akupun menggigit bibir bawahku. Tak tahu harus berkata apa dalam keheningan ini.

“Aku masih ingin bersamamu lebih lama.” Ujarnya membubarkan keheningan. Hembusan angin tiba-tiba menyerang kencang dua sosok yang sedang saling menatap nanar ini. Tubuhku tersentak. Hawa dingin dengan seenaknya menerjang pori-pori sekujur tubuhku. Dadaku sesak. Sangat sesak. Mataku kering penuh pilu. Mengapa kau tak pernah ditakdirkan untukku?

Aku berdeham membersihkan tenggorokanku. “Aku masih punya satu jam sebelum berangkat kembali.”

Suara gemuruh terdengar lantang, langit berubah menjadi kelam seketika. Seakan bumi ikut merasakan pedih dua hati tanpa pilihan ini. Ia menggosokkan kedua telapak tangannya untuk menemukan kehangatan.

“Dingin ya,” ucapnya. Aku masih benar-benar tidak tahu harus berbuat dan berkata apa. Aku hanya mengangguk.

“Duduk dulu di teras, aku buatkan teh hangat,” Ia masuk ke dalam rumahnya sementara aku mengikutinya masuk ke teras rumah dan duduk di kursi jati. Sembari menunggunya membuat teh, aku melihat beberapa bunga lantana putih dan ungu bermekaran di halaman rumahnya. Aku melangkah dan mencabut beberapa bunga itu kemudian merangkainya dan mengikatnya dengan ranting kecil yang berserakan.

Ia datang bersama dua gelas teh hangat racikannya. Sedangkan aku baru saja selesai merangkai buket bunga mini ini. Kemudian aku melangkah perlahan mendekati wajahnya. Kusisipkan rangkaian lantana putih dan ungu tersebut pada daun telinganya. Napas kami bertemu. Aku mengambil jarak sejenak menikmati keindahan raut wajahnya, kemudian berbisik lembut, “Ini terlihat cantik padamu.”

Sesaat sebelum aku mengambil langkah mundur, Ia menahan tubuhku dan menarik punggungku erat ke dalam tubuhnya. Ia memelukku. Disampirkannya kepalanya pada dadaku dan kurasakan napasnya menjerit. Tubuhku kaku, tak bisa melawannya, karena aku juga mendambakan pelukan ini. Kulingkarkan tanganku pada tubuhnya, kucium lembut kepalanya.

Kalau dipikirkan kembali, kali terakhir aku merasakan pelukan hangat seperti ini sudah lima tahun lalu lamannya. Aku tak pernah memeluk siapapun sejak hari itu. Aku terlalu takut. Takut kalau rasanya tidak setenang aku memeluk wanita ini. Hari ini, Tuhan mengizinkan aku merasakannya kembali. Satu-satunya pelukan yang bisa menyembuhkanku dari kejahatan apapun.

Untuk sementara, waktu berhenti berputar, membiarkan dua orang manusia mencoba untuk saling menyembuhkan luka masing-masing dalam aroma tubuh dan irama detak jantung yang sangat dirindukan sejak lima tahun lalu.

***

Setelah pelukan yang cukup untuk membuat teh kami menjadi dingin, kami duduk bersandingan di anak tangga teras rumah. Ia memandang rangkaian bunga amatir yang tadi kubuat sembari tak berhenti tersenyum.

"Kau menyukainya?" tanyaku keheranan. Padahal rangkaian bunga itu jelek sekali, lusuh.

Matamu berbinar sembari mengangguk cepat, senyummu menyimpul. Aku tertawa kecil. Mana bisa aku melupakanmu kalau kau terus tersenyum pada hal-hal kecil tidak penting dari seorang aku ini?

"Kau tahu? Ini hari terbahagiaku sepanjang tahun ini." Aku berbicara pada langit yang mulai merintikkan air matanya.

"Jangan begitu. Kau jahat," katanya sembari mencubit lenganku.

"Mengapa?"

"Kita jahat, kita tak seharusnya seperti ini, kau pun tahu ini dosa."

"Kiranya dosa hadir atas beberapa hal yang menyenangkan, bukan?"

Wanita disampingku hanya tersenyum getir. Matanya kembali berair. Aku menyekanya perlahan dengan jari telunjukku.

“Tahun depan kau akan menemaniku ke sini lagi, kan?” tanyanya padaku.

Sembari memikirkan jawabannya, aku memandang kenangan rumah ini. Kualihkan mataku pada pohon mangga di ujung kanan, kemudian memandang jauh ke pagar yang besinya sudah berkarat, tembok samping rumah yang sudah berlumut, kutoleh ke samping kiriku melihat penyangga kayu yang masih kuat, kutengadahkan kepalaku melihat lampu teras yang masih awet dengan keantikannya namun sudah berdebu penuh jaring laba-laba.  

“Rumah kakekmu akan selalu menjadi tempatku pulang bersamamu, Alinda.” Jawabku sembari memegang tangannya.

“Kakek pasti senang melihat kita bisa bercengkrama lagi, Satya.”

Aku dan dia adalah dua jiwa yang telah sepakat menyerahkan cintanya pada semesta. Tak ada yang merestui hubungan kami berdua baik dari keluargaku maupun keluarganya. Aku masih belum terima pada Tuhan yang menciptakan rasa kasih sayang pada manusia, namun hanya karena status sosial, kelamin, ras, suku, keyakinan, atau apapun itu dalam penghakiman masyarakat, dua rasa ini tak bisa menemukan titik penyatuannya.

Pada akhirnya kami memilih untuk membahagiakan mereka yang selalu ada sejak kami lahir di muka bumi ini. Kita berdua sadar, kita tak hidup sendiri di dunia ini. Ada orang tua yang harus dibahagiakan, ada adik kakak yang harus dijaga, ada sahabat yang harus dipedulikan.

Hanya Kakek Alinda yang selalu bahagia jika kami berdua bahagia. Beliau selalu berkata, “Dua orang yang saling jatuh cinta, hanya ingin menautkan hatinya satu sama lain, tak peduli apapun itu. Mereka adalah manusia yang ingin saling membahagiakan, maka tak ada apapun yang bisa menghentikan dua orang yang sudah memutuskan untuk menyerahkan hatinya kepada satu sama lain.”

“Kalian sangat berhak berbahagia, rumah ini akan selalu menjadi tempat kalian meruapkan cinta.”

Sebelum akhirnya Kakek meninggal lima tahun lalu, rumah ini benar-benar diwariskan oleh Kakek pada Alinda, dan kami tidak siap dengan apapun itu yang akan menerjang kami berdua. Semua orang sangat marah pada hubungan ini dan ingin menghancurkan segalanya di antara aku dan wanita yang sangat aku cintai ini. Kalau diingat kembali, pilu sekali. Kita berdua sepakat untuk menghilang tanpa mengabari satu sama lain. Jariku telah tersemat cincin yang dipakaikan oleh istriku, pun Alinda akan segera dipinang calon suaminya.

Setelah lima tahun lamanya, semesta benar-benar menunjukkan kekuatannya. Pagi tadi saat aku akhirnya memutuskan untuk mengunjungi makam Kakek karena ingin menumpahkan rasa lelah ini, aku tak sengaja bertemu dengannya yang sudah berada di samping makam Kakek terlebih dahulu. Alinda tahu ada aku di sekitarnya, namun Ia tetap melanjutkan doa-doa serta segala ceritanya pada batu nisan. Ia bercerita bahwa calon suaminya maupun orang tuanya tak ada yang mau menemaninya mengunjungi makam Kakek karena Alinda selalu menghabiskan berjam-jam bercengkrama dengan kakeknya.

Rasanya semesta tahu, beban yang selama ini bernaung di pundakku dan di pundak Alinda sudah sangat ingin ditumpahkan dan membutuhkan obatnya. Cinta yang tulus akan tahu dimana tempat mereka pulang.

Sekali lagi, dua jiwa ini telah sepakat untuk menyerahkan cintanya pada semesta. Entah semesta ingin mereka tetap saling mengasihi, atau memberikan kekuatan pada keduanya untuk melenyapkan rasa itu, biarkan semesta yang bekerja. Meskipun tak tahu harus berapa lama lagi sampai mereka bisa benar-benar saling merelakan satu sama lain.

Satu jam terakhir telah berlalu dan aku berpamitan untuk menuju ke stasiun terdekat. Malam ini juga Alinda akan dijemput oleh calon suaminya untuk kembali ke kota.

"Apakah kau bahagia, Satya?"

"Sangat bahagia, Alinda."

---

Epilog.

Keesokan harinya, setiba aku di rumah, istriku mencoba mengenakan mantel yang baru sempat kuberikan padanya buah tangan perjalanan dinasku minggu lalu.

"Aku pikir mantel ini terlihat indah padaku, bukan?" Ia bertanya padaku sembari mencoba mantel barunya itu.

Mulutku terdiam, mataku menatap matanya kosong, napasku terhenti sejenak, dadaku sedikit sesak.

Sedetik kemudian aku menjawabnya dengan mereka senyum, "Tentu, mantel itu terlihat sangat cocok untukmu,"

"Aku pergi merokok sebentar ya," kataku berjalan menuju teras sembari menikmati hujan yang semakin lebat.

Hembusan asap bercampur dengan tumpahan air langit tepat menari di hadapanku. Aku melipat tangan mencoba menahan dingin. Hujan memang sejahat itu, selalu membangunkan memori yang entah sudah coba kubunuh berapa kali.

"Aku suka sekali dengan mantel ini, terima kasih banyak ya," kata-kata yang terujar dari mulut wanita itu, 5 tahun silam, seenaknya muncul di kepalaku saat aku melihat istriku mencoba mantel itu tadi.

"Kota ini sedang dipenuhi musim hujan, aku perlu memastikan kau tetap hangat dan baik-baik saja,"

"Terima kasih ya,” senyumnya cantik, rautnya manis, matanya indah, Tuhan benar-benar Sebaik-baiknya Pencipta di muka bumi ini.

Aku melangkah perlahan mendekatinya. Terdiam sejenak lima sentimeter di hadapannya. Tubuhku mendekap tubuhnya erat, kuhirup aroma tubuhnya, kubisikkan lirih padanya, "Milik siapapun kau nantinya dan milik siapapun aku nantinya, kau tetap wanitaku dan kau tetap memilikiku. Selamat tinggal, Alinda."

Aku masih mengingat dengan jelas, air matanya mengalir deras hari itu, pun air mataku. Wahai semesta, terima kasih telah memelihara rasa ini, hingga hari ini.

 

Song: The Avett Brothers-I and Love And You
Source: Amazon.com

 

Rabu, 21 April 2021

The Old Man and The Sea (Review Buku)

127 halaman 1 bab: penuh dengan lelaki tua, sampan, ikan, dan laut. 

Seringkali orang berpikir, bahkan saya sebelum membaca buku ini,

"Ah, baca sastra klasik kok kayaknya berat banget gitu. Pasti susah memahaminya, otak nggak nyampe."

Coba nikmati karya Hemingway yang satu ini. Karya klasik sebenarnya tidak butuh otak pemirsa. Ia hanya membutuhkan perasaan dan kemurnian.

Membaca buku ini seperti nunggu adzan maghrib, butuh kesabaran, parah, hampir menyerah membacanya kalau bukan karena geregetan Santiago tak kunjung menangkap ikannya. Sebuah refleksi pergelutan "memancing ikan" pada nilai kehidupan.

The Old Man and The Sea menjadi karya Ernest Hemingway yang pertama kali saya selesaikan. Saya membaca versi inggrisnya. Kadang saya baca sambil menunggu koneksi internet laman pekerjaan atau saat menjelang tidur. 

Sumber: amazon.fr


Apa hikmah terbesar yang saya ambil dari buku ini?

Bahwa sesungguhnya ternyata keberadaan sebuah bab atau chapter dalam buku itu penting, hahaha. Rasanya sedikit menjengkelkan membaca buku tanpa ada jeda babak sama sekali. Seperti sesak napas, haha.

Namun justru itu yang membuat buku ini unik dan kental sekali dengan sastra klasik. Artinya apa? Karya klasik didapuk sebagai tulisan yang tak kenal waktu, akan selalu hidup kapanpun kamu membacanya. Saya pikir tepat sekali dengan isi buku ini hehe.

Mula dari kisah ini cukup hangat. Bagaimana Santiago sang lelaki tua bersama seorang anak laki-laki yang dianggapnya seperti anak sendiri. Menggambarkan bagaimana dua orang manusia dapat saling berkorban, peduli, meski tak sedarah daging atau tak ditakdirkan menjadi tulang rusuk satu sama lain.

"The thousand times that he had proved it meant nothing. Now he was proving it again. Each time was a new time and he never thought about the past when he was doing it."

Lelaki tua selalu berkata pada anak lelaki itu, bahwa Ia bukan nelayan hebat kendati Ia sungguh dihormati oleh seluruh nelayan di penjuru pesisir tersebut. Ia merasa perlu untuk selalu bekerja keras setiap hari baru yang datang. Every tomorrow is a second chance.

Hingga kemudian dimulailah perjalanan nelayan tua yang memulai pergelutan dengan batinnya. Sederhana, saat memancing ikan. Begitulah bagaimana 2.5/3 buku ini menceritakan tentang "orang tua  yang sedang memancing ikan di tengah lautan" tak disangka mengajarkan banyak hal mengenai kasih sayang, kepedulian, saling merasakan, kerendahan hati, ketekunan, bahkan sebuah rasa syukur.


Sumber: medium.com


Lelaki tua itu bahkan pernah merasa pilu ketika menusuk seekor ikan betina dengan tombaknya. Ia meminta maaf dengan sangat sopan pada ikan jantan yang selalu menemani berenang berputar-putar di sisi ikan betina sampai akhirnya mendarat di sampan lelaki tua. Sang jantan bahkan melompat lebih tinggi hingga ke mulut sampan, Ia berduka kekasihnya telah menjadi santapan lelaki tua. Sejak saat itu Santiago selalu berkontemplasi dengan batinnya saat hendak menangkap ikan apapun itu. Padahal Ia tahu, namanya juga nelayan, pekerjaannya apalagi kalau bukan menangkap ikan?

Bahwa sesungguhnya di dunia ini manusia tidak hidup sendiri. Bumi bukan hanya punya manusia. Ada hewan, lautan, bintang, dan angin malam yang bernafas bersama manusia.

"You did not kill the fish only to keep alive and to sell for food, he thought. You killed him for pride and because you are a fisherman. You loved him when he was alive and you loved him after. If you love him, it is not a sin to kill him."

Lihatlah bagaimana Santiago berdebat dengan batinnya. Rumit. Saya selalu mengernyitkan dahi setiap membaca bagian ini. Jadi teringat saat Ibrahim menyembelih Ismail karena Tuhan. Mungkin ini jawaban yang tepat ya, Ibrahim pasti mencintai Ismail, dan Ia tak membuat dosa dengan menyembelihnya. Maka Tuhan memang Maha Penyayang. 

***

"I wish I had a stone for the knife," the old man said after he had checked the lashing on the oar butt. "I should have brought a stone." You should have brought many things, he thought. But you did not bring them, old man.

Now is no time to think of what you do not have. Think of what you can do with what there is.

Salah satu pepatah yang banyak muncul di halaman motivasi saat ini dengan berbagai versi ternyata sudah lahir dari mulut lelaki tua sejak tahun 1951. Karya klasik membuka jalur yang luar biasa pengaruhnya pada kehidupan modern hari ini. 

Alur ceritanya mungkin akan terkesan monoton. Saya akui sangat monoton. Tapi entah mengapa setiap perjalanannya di lautan terasa menenangkan dan hidup. Mengajarkan banyak hal. Utamanya kesabaran dan ketekunan. Classic yet unique, this is Heming-way.

Selamat membaca!

Orang Baik

Powered By Blogger

Jejak Istimewa