“Aku tak tahu dengan siapa aku akan menghabiskan sisa waktuku, tapi siapapun itu, bagaimana jika dia tidak mau menungguku seperti kau menungguku tadi? Kau menungguku dengan sangat sabar, tanpa tergesa sedikitpun, bahkan dengan merayuku di akhir waktu."
"Maka biarkan aku yang selalu menemanimu ke sini, biarkan
aku yang selalu menunggumu ketika kau ingin mengunjungi tempat ini."
"Sungguh?"
Aku menghentikan langkahku, pun ia juga menghentikan langkahnya
karenaku. Aku menghadapkan wajahku padanya, "Pernahkah aku tak
bersungguh-sungguh padamu?"
Matanya menatapku nanar. Mulutnya membisu tapi aku tahu bibir
manis itu sangat ingin meruapkan segalanya. Aku menatapnya dengan senyuman.
Napas kita tertahan oleh kejamnya keadaan.
Aku menikmati wajah rupawannya yang tanpa cela itu. Kemudian
aku terkekeh ringan dan berujar, "Kok bisa ya, ada mata yang selalu indah
setiap waktu seperti milikmu? Ya Tuhan, Kau curang, Kau memperkenalkan aku pada
gadis seindah ini namun Kau tak izinkan aku bersamanya?" Aku mengomel pada
hembusan angin.
Dia tertawa lepas dan menggeleng-gelengkan kepala mendengar
berisiknya mulutku. “Dasar! Kamu selalu berhasil membuatku tertawa!”
Langkahku dan langkahnya terus beriringan menapak debu
jalanan. Sesekali membicarakan pohon mangga atau rumput liar di halaman rumah
tetangga. Beberapa kali angin mengacaukan rambutnya, membuatku terus menerus
membelai kepalanya merapikan poninya yang berantakan itu. Saat aku terkadang mengatakan
sesuatu yang membuatnya terkekeh geli, dia akan memukul lenganku atau
mencubitnya. Tawa dan senyum bergantian menemani sepanjang jalan. Tuhan,
bisakah kau membuat hari ini lebih lama dari biasanya?
Tak terasa kami tiba di depan halaman rumah yang kami tuju.
"Terima kasih, ya”
"Kau tahu kan? Kau selalu punya aku. Aku selalu
milikmu."
“Jangan terlalu baik padaku. Aku sudah bukan milikmu lagi,
kau tahu itu.”
“Apa ada yang salah dari kata-kataku? Kamu memang bukan
milikku lagi. Tapi aku selalu milikmu. Titik. Tak ada perlawanan.”
Dia tersenyum manis. Getir lebih tepatnya. Akupun menggigit
bibir bawahku. Tak tahu harus berkata apa dalam keheningan ini.
“Aku masih ingin bersamamu lebih lama.” Ujarnya membubarkan
keheningan. Hembusan angin tiba-tiba menyerang kencang dua sosok yang sedang
saling menatap nanar ini. Tubuhku tersentak. Hawa dingin dengan seenaknya menerjang
pori-pori sekujur tubuhku. Dadaku sesak. Sangat sesak. Mataku kering penuh
pilu. Mengapa kau tak pernah ditakdirkan untukku?
Aku berdeham membersihkan tenggorokanku. “Aku masih punya
satu jam sebelum berangkat kembali.”
Suara gemuruh terdengar lantang, langit berubah menjadi
kelam seketika. Seakan bumi ikut merasakan pedih dua hati tanpa pilihan ini. Ia
menggosokkan kedua telapak tangannya untuk menemukan kehangatan.
“Dingin ya,” ucapnya. Aku masih benar-benar tidak tahu harus
berbuat dan berkata apa. Aku hanya mengangguk.
“Duduk dulu di teras, aku buatkan teh hangat,” Ia masuk ke
dalam rumahnya sementara aku mengikutinya masuk ke teras rumah dan duduk di
kursi jati. Sembari menunggunya membuat teh, aku melihat beberapa bunga lantana
putih dan ungu bermekaran di halaman rumahnya. Aku melangkah dan mencabut
beberapa bunga itu kemudian merangkainya dan mengikatnya dengan ranting kecil
yang berserakan.
Ia datang bersama dua gelas teh hangat racikannya. Sedangkan
aku baru saja selesai merangkai buket bunga mini ini. Kemudian aku melangkah
perlahan mendekati wajahnya. Kusisipkan rangkaian lantana putih dan ungu
tersebut pada daun telinganya. Napas kami bertemu. Aku mengambil jarak sejenak
menikmati keindahan raut wajahnya, kemudian berbisik lembut, “Ini terlihat
cantik padamu.”
Sesaat sebelum aku mengambil langkah mundur, Ia menahan
tubuhku dan menarik punggungku erat ke dalam tubuhnya. Ia memelukku.
Disampirkannya kepalanya pada dadaku dan kurasakan napasnya menjerit. Tubuhku
kaku, tak bisa melawannya, karena aku juga mendambakan pelukan ini.
Kulingkarkan tanganku pada tubuhnya, kucium lembut kepalanya.
Kalau dipikirkan kembali, kali terakhir aku merasakan
pelukan hangat seperti ini sudah lima tahun lalu lamannya. Aku tak pernah
memeluk siapapun sejak hari itu. Aku terlalu takut. Takut kalau rasanya tidak
setenang aku memeluk wanita ini. Hari ini, Tuhan mengizinkan aku merasakannya
kembali. Satu-satunya pelukan yang bisa menyembuhkanku dari kejahatan apapun.
Untuk sementara, waktu berhenti berputar, membiarkan dua
orang manusia mencoba untuk saling menyembuhkan luka masing-masing dalam aroma
tubuh dan irama detak jantung yang sangat dirindukan sejak lima tahun lalu.
***
Setelah pelukan yang cukup untuk membuat teh kami menjadi
dingin, kami duduk bersandingan di anak tangga teras rumah. Ia memandang
rangkaian bunga amatir yang tadi kubuat sembari tak berhenti tersenyum.
"Kau menyukainya?" tanyaku keheranan. Padahal
rangkaian bunga itu jelek sekali, lusuh.
Matamu berbinar sembari mengangguk cepat, senyummu
menyimpul. Aku tertawa kecil. Mana bisa aku melupakanmu kalau kau terus tersenyum
pada hal-hal kecil tidak penting dari seorang aku ini?
"Kau tahu? Ini hari terbahagiaku sepanjang tahun ini."
Aku berbicara pada langit yang mulai merintikkan air matanya.
"Jangan begitu. Kau jahat," katanya sembari mencubit
lenganku.
"Mengapa?"
"Kita jahat, kita tak seharusnya seperti ini, kau pun
tahu ini dosa."
"Kiranya dosa hadir atas beberapa hal yang menyenangkan,
bukan?"
Wanita disampingku hanya tersenyum getir. Matanya kembali
berair. Aku menyekanya perlahan dengan jari telunjukku.
“Tahun depan kau akan menemaniku ke sini lagi, kan?” tanyanya
padaku.
Sembari memikirkan jawabannya, aku memandang kenangan rumah
ini. Kualihkan mataku pada pohon mangga di ujung kanan, kemudian memandang jauh
ke pagar yang besinya sudah berkarat, tembok samping rumah yang sudah berlumut,
kutoleh ke samping kiriku melihat penyangga kayu yang masih kuat, kutengadahkan
kepalaku melihat lampu teras yang masih awet dengan keantikannya namun sudah
berdebu penuh jaring laba-laba.
“Rumah kakekmu akan selalu menjadi tempatku pulang
bersamamu, Alinda.” Jawabku sembari memegang tangannya.
“Kakek pasti senang melihat kita bisa bercengkrama lagi,
Satya.”
Aku dan dia adalah dua jiwa yang telah sepakat menyerahkan
cintanya pada semesta. Tak ada yang merestui hubungan kami berdua baik dari
keluargaku maupun keluarganya. Aku masih belum terima pada Tuhan yang menciptakan
rasa kasih sayang pada manusia, namun hanya karena status sosial, kelamin, ras,
suku, keyakinan, atau apapun itu dalam penghakiman masyarakat, dua rasa ini tak
bisa menemukan titik penyatuannya.
Pada akhirnya kami memilih untuk membahagiakan mereka yang
selalu ada sejak kami lahir di muka bumi ini. Kita berdua sadar, kita tak hidup
sendiri di dunia ini. Ada orang tua yang harus dibahagiakan, ada adik kakak
yang harus dijaga, ada sahabat yang harus dipedulikan.
Hanya Kakek Alinda yang selalu bahagia jika kami berdua
bahagia. Beliau selalu berkata, “Dua orang yang saling jatuh cinta, hanya ingin
menautkan hatinya satu sama lain, tak peduli apapun itu. Mereka adalah manusia
yang ingin saling membahagiakan, maka tak ada apapun yang bisa menghentikan dua
orang yang sudah memutuskan untuk menyerahkan hatinya kepada satu sama lain.”
“Kalian sangat berhak berbahagia, rumah ini akan selalu
menjadi tempat kalian meruapkan cinta.”
Sebelum akhirnya Kakek meninggal lima tahun lalu, rumah ini benar-benar
diwariskan oleh Kakek pada Alinda, dan kami tidak siap dengan apapun itu yang akan
menerjang kami berdua. Semua orang sangat marah pada hubungan ini dan ingin menghancurkan
segalanya di antara aku dan wanita yang sangat aku cintai ini. Kalau diingat
kembali, pilu sekali. Kita berdua sepakat untuk menghilang tanpa mengabari satu
sama lain. Jariku telah tersemat cincin yang dipakaikan oleh istriku, pun
Alinda akan segera dipinang calon suaminya.
Setelah lima tahun lamanya, semesta benar-benar menunjukkan
kekuatannya. Pagi tadi saat aku akhirnya memutuskan untuk mengunjungi makam
Kakek karena ingin menumpahkan rasa lelah ini, aku tak sengaja bertemu
dengannya yang sudah berada di samping makam Kakek terlebih dahulu. Alinda tahu
ada aku di sekitarnya, namun Ia tetap melanjutkan doa-doa serta segala
ceritanya pada batu nisan. Ia bercerita bahwa calon suaminya maupun orang
tuanya tak ada yang mau menemaninya mengunjungi makam Kakek karena Alinda
selalu menghabiskan berjam-jam bercengkrama dengan kakeknya.
Rasanya semesta tahu, beban yang selama ini bernaung di pundakku
dan di pundak Alinda sudah sangat ingin ditumpahkan dan membutuhkan obatnya. Cinta
yang tulus akan tahu dimana tempat mereka pulang.
Sekali lagi, dua jiwa ini telah sepakat untuk menyerahkan cintanya
pada semesta. Entah semesta ingin mereka tetap saling mengasihi, atau
memberikan kekuatan pada keduanya untuk melenyapkan rasa itu, biarkan semesta
yang bekerja. Meskipun tak tahu harus berapa lama lagi sampai mereka bisa benar-benar
saling merelakan satu sama lain.
Satu jam terakhir telah berlalu dan aku berpamitan untuk
menuju ke stasiun terdekat. Malam ini juga Alinda akan dijemput oleh calon
suaminya untuk kembali ke kota.
"Apakah kau bahagia, Satya?"
"Sangat bahagia, Alinda."
---
Epilog.
Keesokan harinya, setiba aku di rumah, istriku mencoba
mengenakan mantel yang baru sempat kuberikan padanya buah tangan perjalanan
dinasku minggu lalu.
"Aku pikir mantel ini terlihat indah padaku,
bukan?" Ia bertanya padaku sembari mencoba mantel barunya itu.
Mulutku terdiam, mataku menatap matanya kosong, napasku
terhenti sejenak, dadaku sedikit sesak.
Sedetik kemudian aku menjawabnya dengan mereka senyum, "Tentu,
mantel itu terlihat sangat cocok untukmu,"
"Aku pergi merokok sebentar ya," kataku berjalan
menuju teras sembari menikmati hujan yang semakin lebat.
Hembusan asap bercampur dengan tumpahan air langit tepat menari
di hadapanku. Aku melipat tangan mencoba menahan dingin. Hujan memang sejahat
itu, selalu membangunkan memori yang entah sudah coba kubunuh berapa kali.
"Aku suka sekali dengan mantel ini, terima kasih banyak
ya," kata-kata yang terujar dari mulut wanita itu, 5 tahun silam,
seenaknya muncul di kepalaku saat aku melihat istriku mencoba mantel itu tadi.
"Kota ini sedang dipenuhi musim hujan, aku perlu
memastikan kau tetap hangat dan baik-baik saja,"
"Terima kasih ya,” senyumnya cantik, rautnya manis,
matanya indah, Tuhan benar-benar Sebaik-baiknya Pencipta di muka bumi ini.
Aku melangkah perlahan mendekatinya. Terdiam sejenak lima
sentimeter di hadapannya. Tubuhku mendekap tubuhnya erat, kuhirup aroma
tubuhnya, kubisikkan lirih padanya, "Milik siapapun kau nantinya dan milik
siapapun aku nantinya, kau tetap wanitaku dan kau tetap memilikiku. Selamat
tinggal, Alinda."
Aku masih mengingat dengan jelas, air matanya mengalir deras
hari itu, pun air mataku. Wahai semesta, terima kasih telah memelihara rasa
ini, hingga hari ini.
![]() |
| Song: The Avett Brothers-I and Love And You Source: Amazon.com |



