Saya selalu percaya, tak ada yang namanya cinta beda agama, beda golongan, beda kelamin, apalagi beda kasta. Mereka hanya sesederhana dua manusia yang ingin berbagi kasih, menyayangi satu sama lain.
Helen dan Sukanta, panggilan sayangnya “Ukan”. Jadi teringat bagaimana dulu saya mengambil sepenggal huruf dari namanya, “Uqie” dari Syauqie. Setuntas membacanya, novel setebal 362 halaman ini cukup memenuhi ekspektasi saya dalam hal penggambaran suasana kota kesukaan saya, Bandung, sejak 1924 hingga tahun 2000. Tjiwidei, Bragaweeg, Oedjoengberoeng, Lembang, Tjihapit, dan berbagai tempat lain terlukis indah, sebelas duabelas dengan yang saya rasakan saat liburan 3 hari ke Bandung minggu lalu.
Pidi Baiq masih mengambil dari sudut
pandang pemeran utama wanita, Helen Maria Eleonora, seperti Milea, yang
tergila-gila dengan lelaki yang dicintainya. Ukan tak banyak bicara, romansa
kali ini lebih banyak menceritakan halang rintang hubungan seorang pribumi dan
darah Belanda asli pada masa sebelum kemerdekaan. Masalah lebih banyak datang
dari mama, papa, dan keluarga Helen dengan sifat asli darah londo-nya, juga
peperangan antar Jepang-Belanda yang membawa ke bagian puncak kisah cinta Helen
dan Ukan.
Saya menikmati setiap babnya, meski
terkadang kisah cintanya terasa hambar, tidak mengusung banyak aksi pengorbanan,
mengalir saja menceritakan bagaimana Helen dan orang-orang di sekitarnya
menghabiskan waktu serta menghadapi persoalan dari hari ke hari. Padahal saya
ingin menyaksikan bagaimana Ukan merayu Helen sampai Helen tersipu sendiri saking
senangnya, seperti Dilan Milea gitu namun dengan balutan kearifan bahasa tempo
dulu.
Helen sangat mencintai Sukanta hingga Ia
tidak bisa berpaling kepada lelaki manapun, sesekali terasa seperti cinta monyet
yang kekanak-kanakan, tapi tak apa, mungkin saja cerita yang sederhana itu
sudah menjadi kebahagiaan tersendiri di masa itu, sebelum media sosial dan
telepon pintar menyerang.
![]() |
| gambar pribadi |
Perjalanan dua manusia saling jatuh cinta, dengan segala usaha mereka melawan batasan yang sialnya diciptakan oleh sesama manusia lainnya, memang menjadi tema yang menyenangkan bagi saya, apalagi sedang sendiri seperti ini, rasanya jadi ingin merajut kisah saya sendiri, hehe. Hindia pernah menjadi saksi romantis Helen dan Ukan, Tjiwidei dan Lembang lebih tepatnya, perkebunan yang saya duga di wilayah Rancabali juga menjadi tempat favorit mereka berdua berbicara hal-hal kecil sehari-harinya.
Dalam epilog Helen masih tetap mencintai Ukan dengan seluruh hati dan dirinya, di rumahnya di Amsterdam. Pidi Baiq memang lihai membuat pembacanya jatuh cinta pada latar yang diciptanya, entah benar terjadi maupun tidak. Saya belum mencari tahu lagi apakah kisah ini nyata atau tidak, dan rasanya saya tidak mau tahu.
Biarkan Tanah Hindia dan Amsterdam menjadi dua negara yang pernah bermusuhan hebat satu sama lain, namun perkara hati, bahkan horizon dan darah yang mengalir di tubuh pun tak akan bisa memaksa berhenti dua manusia yang sepakat saling menaruh hati.
Saya selalu percaya, tak ada yang namanya cinta beda agama, beda golongan, beda kelamin, apalagi beda kasta. Mereka hanya sesederhana dua manusia yang ingin berbagi kasih dan menyayangi satu sama lain, memutuskan dalam hidupnya, bahwa dengan kamu, saya ingin menghabiskan sisa waktu.

