Rabu, 26 Agustus 2020

Helen dan Sukanta, Romansa Pelik dari Tanah Hindia

Saya selalu percaya, tak ada yang namanya cinta beda agama, beda golongan, beda kelamin, apalagi beda kasta. Mereka hanya sesederhana dua manusia yang ingin berbagi kasih, menyayangi satu sama lain. 

Helen dan Sukanta, panggilan sayangnya “Ukan”. Jadi teringat bagaimana dulu saya mengambil sepenggal huruf dari namanya, “Uqie” dari Syauqie. Setuntas membacanya, novel setebal 362 halaman ini cukup memenuhi ekspektasi saya dalam hal penggambaran suasana kota kesukaan saya, Bandung, sejak 1924 hingga tahun 2000. Tjiwidei, Bragaweeg, Oedjoengberoeng, Lembang, Tjihapit, dan berbagai tempat lain terlukis indah, sebelas duabelas dengan yang saya rasakan saat liburan 3 hari ke Bandung minggu lalu.

Pidi Baiq masih mengambil dari sudut pandang pemeran utama wanita, Helen Maria Eleonora, seperti Milea, yang tergila-gila dengan lelaki yang dicintainya. Ukan tak banyak bicara, romansa kali ini lebih banyak menceritakan halang rintang hubungan seorang pribumi dan darah Belanda asli pada masa sebelum kemerdekaan. Masalah lebih banyak datang dari mama, papa, dan keluarga Helen dengan sifat asli darah londo-nya, juga peperangan antar Jepang-Belanda yang membawa ke bagian puncak kisah cinta Helen dan Ukan.

Saya menikmati setiap babnya, meski terkadang kisah cintanya terasa hambar, tidak mengusung banyak aksi pengorbanan, mengalir saja menceritakan bagaimana Helen dan orang-orang di sekitarnya menghabiskan waktu serta menghadapi persoalan dari hari ke hari. Padahal saya ingin menyaksikan bagaimana Ukan merayu Helen sampai Helen tersipu sendiri saking senangnya, seperti Dilan Milea gitu namun dengan balutan kearifan bahasa tempo dulu.

Helen sangat mencintai Sukanta hingga Ia tidak bisa berpaling kepada lelaki manapun, sesekali terasa seperti cinta monyet yang kekanak-kanakan, tapi tak apa, mungkin saja cerita yang sederhana itu sudah menjadi kebahagiaan tersendiri di masa itu, sebelum media sosial dan telepon pintar menyerang.


gambar pribadi

Perjalanan dua manusia saling jatuh cinta, dengan segala usaha mereka melawan batasan yang sialnya diciptakan oleh sesama manusia lainnya, memang menjadi tema yang menyenangkan bagi saya, apalagi sedang sendiri seperti ini, rasanya jadi ingin merajut kisah saya sendiri, hehe. Hindia pernah menjadi saksi romantis Helen dan Ukan, Tjiwidei dan Lembang lebih tepatnya, perkebunan yang saya duga di wilayah Rancabali juga menjadi tempat favorit mereka berdua berbicara hal-hal kecil sehari-harinya. 

Dalam epilog Helen masih tetap mencintai Ukan dengan seluruh hati dan dirinya, di rumahnya di Amsterdam. Pidi Baiq memang lihai membuat pembacanya jatuh cinta pada latar yang diciptanya, entah benar terjadi maupun tidak. Saya belum mencari tahu lagi apakah kisah ini nyata atau tidak, dan rasanya saya tidak mau tahu.

Biarkan Tanah Hindia dan Amsterdam menjadi dua negara yang pernah bermusuhan hebat satu sama lain, namun perkara hati, bahkan horizon dan darah yang mengalir di tubuh pun tak akan bisa memaksa berhenti dua manusia yang sepakat saling menaruh hati.

Saya selalu percaya, tak ada yang namanya cinta beda agama, beda golongan, beda kelamin, apalagi beda kasta. Mereka hanya sesederhana dua manusia yang ingin berbagi kasih dan menyayangi satu sama lain, memutuskan dalam hidupnya, bahwa dengan kamu, saya ingin menghabiskan sisa waktu.

 

 

 

Orang Baik

Powered By Blogger

Jejak Istimewa