Seorang mentor merekomendasikan buku ini kepada saya, “Inilah
Resensi” judulnya, digubah oleh Muhidin M. Dahlan. Ia juga mendorong saya
untuk “Ayo, kamu belajarlah menulis mumpung masih muda, aku menyesal karena
nggak mulai rajin menulis sejak dulu, sekarang ingin rutin menulis sudah tidak
bisa fokus karena pekerjaan ini-itu.”
Kalau dipikir-pikir, substansi Inilah Resensi tak jauh berbeda dengan buku paket Bahasa Indonesia saat SMA dulu. Isinya menjelaskan secara lengkap mulai dari struktur resensi, ilmu dan pengetahuan dasar mengenai apa itu resensi, bagaimana cara memulai sebuah resensi dan menaklukkan tiap bagiannya judul, pembuka, narasi tubuh, hingga penutup. Poin nomor 3 tentang “Metode Penulisan” dan nomor 7 "Cerita yang Menonjol" pada Bab “Narasi-Narasi di Tubuh Resensi” menjadi pilihan untuk saya coba implementasikan pada resensi kali ini. Muhidin M. Dahlan membaca, mengkompilasi, dan memilah 150 peresensi dan 250 resensi sejak 1902 hingga 2015 untuk menjadi bahan baku terciptanya buku Inilah Resensi. Kurang niat apa beliau?
Bagian kesukaan saya seiring membaca sebuah buku ialah setiap
menemukan kata maupun kalimat yang benar asing sebelumnya, kisah dan paragraf
yang tak pernah terpikirkan mungkin terjadi, nama-nama tokoh yang aestetik, juga
judul berbagai karya yang mungkin susah ditemukan hari ini. Misalnya saja, dulu sebelum media sosial merajalela, resensi
pernah menjadi alat untuk saling berkomentar pedas satu sama lain.
Bayangkan saja, pada sebuah koran publik Tjan Kiem Bie meresensi roman Mata Gelap karya Mas Marco Kartodikromo dengan kalimat penutup “… Jadi buang saja (buku) itu di dalam keranjang kotor. Memang di situ, menurut seharusnya, itu buku musti dapat tempat.” (teks asli ditulis dalam ejaan lama).
Kira-kira kalau zaman sekarang ada yang menulis seperti itu di koran apa tidak viral dimana-mana? Tuntutan bermunculan, komentar tidak berdasar bertaburan. Bedanya, Marco justru menanggapi resensi tersebut dengan resensi pula, lengkap dengan kllarifikasi dengan kritis setiap paragraf yang dianggap bermasalah.
Berbagai judul buku ekonomi rekomendasi Soemitro Djojohadikusumo
juga muncul dalam Bagian Satu buku ini yaitu menilik bagaimana tokoh yang tidak
dikenal sebagai penulis justru menggeluti dunia resensi karena bagi mereka, buku
sudah menjadi bagian hidup mereka: Soekarno, Hatta, Purbatjaraka, Swantoro, Sumitro,
dan Jassin).
Melalui buku ini, saya diingatkan, bahwa kekuatan resensi itu
tidak main-main. Resensi mampu memperkenalkan karya satu sama lain, alat penyampaian
aspirasi, penggali dukungan orang lain, media untuk mengkritisi tokoh politik,
bahkan menjelma sebagai surat untuk menuntut turunnya peredaran sebuah buku
yang memang dianggap kurang bisa membawa edukasi baik bagi pembaca. Sayangnya,
hari ini sepertinya resensi sudah tidak laku dan tidak seseru seperti yang saya
temukan di buku ini.
Kata demi kalimat terangkai apik dan elegan, ringkas, langsung
ke poin utamanya dengan menyertakan contoh resensi dari berbagai jenis buku dan
penulis pada masanya. Tidak ada alasan untuk tidak membaca buku ini, bagi saya,
rasanya membaca buku ini seperti menyusuri lorong perpustakaan tua dengan buku-buku antik yang tak akan kamu temukan di tempat lain.
Satu hal lagi, ada tambahan tips dari penulis pada setiap
partisi babnya, kurang lengkap apa coba? Memanggil kembali ajakan mentor saya, menulis resensi ternyata juga bisa menjadi kurikulum mengasah kemampuan menulis seseorang. Selamat membaca!

