Senin, 15 Juli 2019

Mobil Bekas dan Kisah-Kisah dalam Putaran, Bernard Batubara

Sudah pernah membaca buku hasil adaptasi dari sebuah film? Kalau saya sudah, dan ini kali pertama saya.

Mobil Bekas dan Kisah-Kisah dalam Putaran atau The Carousel Never Stops Turning. Film ini disutradarai oleh Ismail Basbeth dan pernah diputar pada Busan International Film Festival 2017, Tokyo International Film Festival 2017, Hongkong Asian Film Festival 2017, Jogja-NETPAC Film Festival 2017, Cambodia International Film Festival 2018, Bali International Film Festival 2018, hingga akhirnya rilis resmi di Indonesia pada 25 September 2018.

Saya sendiri belum pernah melihat filmnya dan justru menemukan versi bukunya di pameran buku Mei lalu.

Seorang Bernard Batubara menantang dirinya untuk menuliskan film ini dalam sebuah kumpulan cerita pendek.

Bagi saya karya ini merupakan hal yang unik karena ya baru biasanya buku yang difilmkan, bukan film yang dibukukan. Atau mungkin saya saja yang baru menjumpainya.

Terdiri dari 5 cerita pendek-yang panjang, saya mulai menyukai kalimat ini-dan 1 cerita pendek yang dibagi ke dalam prolog lima bagian cerita pendek tersebut. Entah apa maksudnya tapi menurut saya ini jenius.

Semuanya ingin menyampaikan tentang satu hal, yaitu "...berbicara tentang Indonesia dewasa ini dari berbagai macam sisi...tentang realitas keseharian masyarakat yang masih saja penuh luka dan tak kunjung sembuh"-Ismail Basbeth.

Liar? Ya bagi saya liar sekali dan berani menampakkan realitas dewasa ini. Bukan dari plot twistnya atau ide pokok utamanya atau konfliknya atau penyelesaian masalahnya atau tokohnya atau judul ceritanya, saya menemukan realitas liar tersebut dalam setiap baitnya, dalam setiap lirik kisahnya.

Sebuah kisah bercerita tentang seorang pegawai kantoran yang menjadi kroco bosnya terjebak dalam rutinitas yang sama setiap harinya dan hidup sendiri. Bukan masalah dia belum bisa melupakan almarhumah istrinya, tapi rutinitas setiap harinya yang tak kunjung mampu mengubah dirinya menjadi lebih baik. Bukankah begitu realita hari ini? Banyak orang memilih terjebak dalam zona nyamannya dan tak ingin mengubah sedikitpun kehidupannya, padahal pilihan itu ada.

Dilanjut dengan kisah seorang gadis yang dipersunting seorang tua keladi pembunuh bayaran yang membunuh almarhum kekasihnya yang merupakan ketua BEM sekaligus aktivis di kampusnya. Mahasiswa yang berusaha membongkar kebobrokan rektornya dan kampusnya, malah dibunuh keji atas perintah rektornya. Salahkah mahasiswa yang berbuat benar tersebut? Setidaknya surga menjadi tempat terakhir ia bernanung.

Kemudian kisah tentang tiga orang gadis yang sedang bersenang-senang melepas penat dari berbagai masalahnya, namun masih berusaha berpura-pura baik-baik saja-saya pun merasakan hal ini saat ini.

Juga kisah seorang pelacur sedang kabur dari pikatan seorang lelaki yang tulus menyayanginya-tidak seperti lelaki-lelaki yang membayarnya-namun entah karena lelaki tersebut telah beristri atau pergolakan lain dalam hatinya, ia belum bisa menerimanya. Cerita itu seakan mengatakan bahwa masih banyak gadis yang berprofesi seperti tokoh dan berakhir tidak berani menjalin ikatan dalam hidupnya.

Serta cerita yang dirangkai dalam prolog setiap segmen tentang 2 orang petani yang menolak digusur tanahnya dan melakukan aksi demo di depan kantor gubernur setempat. Yak seperti yang sudah kalian duga, keesokan harinya yang ditemukan hanyalah jasad mereka. Untuk yang satu ini saya geleng-geleng sembari bergumam, masih zamannya kah mereka yang merasa di atas berbuat semena-mena pada rakyat bawah?

Tamparan keras bagi Indonesia hari ini-seharusnya. Saya rasa para pemuda wajib membaca buku ini, lumayan, siapa tahu bisa membangkitkan semangat mereka untuk mengubah nasib negeri ini.

Makna realistis dimasukkan dalam kisah yang liar dengan sebuah mobil bekas-jip hijau-yang menjadi identitas dalam setiap segmen. Mobil bekas memang hanya diam, tapi ia mau menjadi saksi realita Indonesia hari ini. Mobil bekas saja mau menceritakan "indahnya" negeri ini, masa kamu tidak mau? Selamat membaca!

Selasa, 09 Juli 2019

Bu Guru Cantik, Kumpulan Cerpen Hasta Indriyana



Selepas menamatkan kumpulan esai Eka Kurniawan saya menjadi ngebet untuk menghabiskan antrean buku yang sudah menumpuk di rak. Jadilah seharian kemarin saya menghabiskan sebuah kumpulan cerpen dalam buku berjudul “Bu Guru Cantik” karya Hasta Indriyana.

Buku dengan gambar sampul tokoh wayang dengab pakaian ala ibu guru lawas ini menarik perhatian saya kala berkelana di pameran buku terbesar Big Bad Wolf bulan Mei lalu. Berisi 19 cerita pendek yang hampir semuanya pernah diterbitkan di berbagai media sepanjang 2003-2016. Dengan tebal 200 halaman dan diselipkan berbagai gambar lukisan, buku ini ringan dan menyenangkan untuk dibaca.

Hasta Indriyana mengambil latar kebanyakan di Gunungkidul, Yogyakarta-tempat kelahirannya dan mengambil tokoh seorang guru sebagai pemeran utama. Di sini saya berkenalan dengan 19 orang guru yang memiliki latar belakang dan kehidupan yang berbeda-beda. Entah tokoh fiksi atau nyata, karena dalam kata pengantar yang dituliskan oleh Suminto A. Sayuti, disebutkan bahwa Hasta sedang berupaya untuk mengaburkan batas antara fakta dan fiksi. Hal tersebut malah menjadikan perjalanan saya membaca buku ini menjadi lebih seru. Sebabnya saya berpikir setiap selesai membaca sebuah cerita, “hmm ini cerita nyata atau tidak ya? Kalau benar-benar nyata, bagaimana ya kalo beneran ada tokoh kayak gitu? Ah apa hanya fiksi ya?” sebelum akhirnya saya melanjutkan ke cerita berikutnya.

Hal menarik juga disampaikan oleh Suminto A. Sayuti:
“Bagi Hasta, “peristiwa yang terjadi itu menimpa siapa” merupakan pertanyaan yang lebih penting daripada sekadar “apa yang kemudian terjadi”. Itu mengapa cerpen-cerpen Hasta lebih sebagai cerpen tokohan daripada cerpen peristiwaan. Baginya, tokoh merupakan pemegang kunci paling menarik dalam sebuah cerita.

Kausalitas yang terjadi adalah banyaknya plot twist yang terjadi dalam ceritanya. Sepanjang mengikuti perjalanan tokoh-tokohnya, tak jarang saya membelalakkan mata, berkata “Wow”, atau tertawa di setiap kalimat akhir cerita karena seakan telah menemukan jawaban. Bagi para penggemar cerita dengan plot twist, Hasta mampu menghadirkannya untuk kalian dalam kehidupan seorang guru.

Salah satu plot twist favorit saya adalah dalam cerita “Dan Kini Aku pun Menjadi Tua”. Bercerita tentang seorang tokoh yang jatuh cinta pada seorang lelaki yang ternyata adalah saudara sepersusuannya sendiri sehingga menjadikan pernikahan diantara keduanya adalah haram. Tau-tau ternyata si lelaki malah menikah dengan kawan perempuannya yang sempat mencomblangkan mereka saat itu. Hingga di kalimat akhir kawannya mengatakan untuk menjodohkan anak lelakinya dengan anak perempuan si tokoh utama dan tokoh utama mengiyakan dalam hati “Kalau berjodoh, Amri dan Zahra akan kami nikahkan. Ya, setidaknya niatku dulu untuk bisa menikah dengan Sudar, suami Wening, tidak kesampaian-setidaknya biarlah anak kami yang menikah. Tuhan pasti menciptakan alur terbaik buat hamba-Nya.”

Hasta lihai memainkan tokoh-tokohnya dengan plot yang liar-meski tidak seliar cerita pendek Puthut EA atau Eka Kurniawan-dengan kalimat yang ringan dan lugas. Kebanyakan cerita kental dengan romansa-juga ironi kehidupan.

Cerita pendek yang panjang-seperti salah satu judul ceritanya-tepat merepresentasikan kumpulan kisah dalam buku ini. Mengantar pembaca pada kehidupan yang seakan baik-baik saja beriring dengan berbagai problema yang meronta dalam sunyi. Kumpulan cerita pendek “Bu Guru Cantik” ini pas dibaca dalam sekali duduk bagi kalian yang merindukan alur tak terduga sembari menyeruput kopi dan menghisap sebatang rokok. Selamat membaca!

Sabtu, 06 Juli 2019

Senyap yang Lebih Nyaring, Kumpulan Esai Eka Kurniawan



"Menjelajah Pikiran Dunia melalui Senyap yang Lebih Nyaring"

Membaca “Senyap yang Lebih Nyaring” seakan berkelana menikmati bacaan dari berbagai sudut negeri di dunia. Mulai dari karya tanah air, Filipina, Jepang, Spanyol, Argentina, Brazil, Inggris, Amerika, Turki, hingga Italia. Baru saja menyelesaikan sepertiga bukunya, saya bak telah mengenal penulis yang sebelumnya asing di telinga saya seperti Orhan Pamuk, Roberto Bolano, Cesar Aira, Marquiz de Sade, Faulkner, Mc Carthy, Haruki Murakami, Katabawa, Borges, Gabriel Garcia Marquez, dan sejumlah penulis lainnya. Tentu saja penulis ternama pun juga kerap muncul sebut saja William Shakespeare, Hemingway, Pramoedya Ananta Toer, Seno Gumira Ajidarma, dan Eka Kurniawan. Berbagai judul buku dan film juga disebutkan dalam kumpulan esai ini dan sungguh, saya jadi ingin menikmati semuanya. Begitulah kekuatan tulisan Bapak Eka hingga membuat mata saya berbinar-binar, senyum sendiri, tertawa kecil, mengangguk, menggeleng, dan berpikir sepanjang menghabiskan buku ini.

Buku ini berhasil menciptakan sudut pandang baru dalam dunia kepenulisan, seperti novel, esai, cerita pendek, dan khususnya sastra. Tidak membahas dari segi teori, namun lebih dalam dari itu. Dimulai dari hal yang sangat dasar seperti bagaimana cara menulis novel, bagaimana cara menerbitkan karya di sebuah media, kriteria sastra yang baik, apa saja yang dibaca oleh penulis hebat, hingga bagaimana menilai sebuah karya tanpa membacanya.Mungkin hal pertama yang terlintas akan judul tersebut adalah tulisan teoritis. Syukurlah, saya salah. Tulisan hingga 1000 kata Eka Kurniawan tak pernah berbicara seilmiah itu meski dengan segudang pengalaman dan ilmu yang ia miliki. Dengan gaya nyentriknya, tulisan singkat dalam buku ini tak pernah membosankan dan selalu berhasil menyampaikan maksudnya pada pembaca. 

Meski pada salah satu tulisannya ia berkata bahwa tak semua tulisan harus memiliki nilai moral untuk disampaikan, kalau penulis hanya ingin bersenang-senang menulis ceritanya, apakah sebuah pesan masih harus tetap ada di dalamnya? Toh itu karya mereka, bukan untuk menyenangkan kalian, tapi untuk menyenangkan dirinya sendiri.

Buku ini berisi 107 esai sejak 2012-2014 yang ditulis dalam blog pribadinya. Saya menobatkan kumpulan esai tahun 2013-nya adalah yang terbaik-yang lain sama pula baiknya. Bapak Eka mampu menuangkan pikiran berkelitnya dalam kumpulan kata yang sangat efektif-nan indah-namun tetap mengena. Masih menjadi cita-cita saya untuk mampu menulis seperti beliau-setidaknya setelah membaca buku ini.

Menamatkan buku 350 halaman ini membuat saya ingin segera menikmati karya sastra lainnya. Baik dalam negeri maupun luar negeri. Bapak Eka membuka mata hati saya untuk selalu terbuka pada tulisan siapapun-yang sebelumnya skeptis pada sastra luar negeri atau karya penulis tak dikenal. Dalam salah satu esainya ia menyiratkan untuk tidak membaca karya penulis terkenal saja, banyak penulis hebat di luar sana yang karyanya tidak terlalu laris di permukaan, namun berkualitas jauh lebih baik dari itu. Salah satu alasannya ternyata memang penulis-penulis senyap tersebut sengaja tidak memilih penerbit ternama, agar bukunya susah dicari dan hanya penikmat seni tulen yang akhirnya menyentuhnya.

Mencari kutipan bagus? Jangan takut kehabisan kutipan keren dalam tulisan Bapak Eka. Salah tiga yang menjadi favorit saya adalah tentang menciptakan ruang kosong dalam tulisan. Baginya, ruang kosong bukan hanya boleh, namun perlu untuk dimasukkan dalam sebuah cerita. Seperti tanda 0 dalam not musik, jeda dalam sebuah lagu merupakan bagian dari keindahan lagu itu sendiri. Pun dalam lukisan, ruang kosong yang tercipta dalam gambar juga bagian dari gambar itu sendiri. Sama seperti keseharian, manusia juga membutuhkan ruang kosong dalam dirinya. Untuk menghargai orang lain, untuk diisi dengan ilmu-ilmu baru, agar tidak selalu penuh dan menjadi jumawa. Juga ruang kosong dalam kesibukan kita, berilah sedikit jeda dalam setiap harimu. Agar bisa merenungkan hal baik apa yang sudah kita lakukan hari ini dan seberapa besar nikmat Tuhan yang selalu kita dapatkan setiap harinya? Percayalah, kita membutuhkan ruang kosong itu.

Dua kutipan berkelas lainnya:

“Kesadaran akan kerapuhan barangkali akan membuat kita rendah hati, bahwa segala sesuatu tak perlu diperlakukan berlebihan. Sebab segalanya akan mati, punah.”-Eka Kurniawan.
“Ada satu pertanyaan Candide yang sangat menohok di bagian ini: Bagaimana penduduk Eldorado berdoa kepada Tuhan? Jawaban mereka: “Kami tidak berdoa kepada Tuhan, sebab kami tak memiliki apa pun untuk diminta. Tuhan sudah memberikan semua yang kami butuhkan.” Tonjkankeras utuk kaum beragama, bukan? Bahwa orang-orang Eldorado ini, yang tak pernah berdoa, justru mengagungkan Tuhan seagung-agungnya sebagai “memberi semua yang kau butuhkan.”-Eka Kurniawan.
Sekali lagi, itu hanya opini saya. Seperti Bapak Eka bilang, bahwa selera setiap orang bisa berbeda, namun bagi penulis-tak hanya penulis-setiap orang harus belajar bertanggung jawab atas apa yang dikerjakan oleh otaknya-yang menjadi sumber berbagai perkataan, perbuatan, dan prasangka. Berpikir sebelum bertindak, bercakap, dan menilai. Semua orang dilahirkan dengan perasaan, bukan hanya anda saja. Maka sejatinya seni memahami orang lain itu prinsip utama dalam hidup-bagi saya.

Terima kasih Bapak Eka untuk kumpulan esai Senyap yang Lebih Nyaring ini. Berbagai pelajaran hidup sangat banyak saya dapatkan, lebih dari buku berlabel “pengembangan diri.” Tulisan Bapak Eka lainnya dapat dinikmati dalam jurnal pribadinya yang masih aktif hingga hari ini di ekakurniawan.com. Bagi yang sedang haus akan tulisan singkat namun menyenangkan-seperti naik roller coaster, buku ini menjadi rekomendasi saya di paruh tahun 2019 ini, selamat membaca!


Orang Baik

Powered By Blogger

Jejak Istimewa