Sudah pernah membaca buku hasil adaptasi dari sebuah film? Kalau saya sudah, dan ini kali pertama saya.
Mobil Bekas dan Kisah-Kisah dalam Putaran atau The Carousel Never Stops Turning. Film ini disutradarai oleh Ismail Basbeth dan pernah diputar pada Busan International Film Festival 2017, Tokyo International Film Festival 2017, Hongkong Asian Film Festival 2017, Jogja-NETPAC Film Festival 2017, Cambodia International Film Festival 2018, Bali International Film Festival 2018, hingga akhirnya rilis resmi di Indonesia pada 25 September 2018.
Saya sendiri belum pernah melihat filmnya dan justru menemukan versi bukunya di pameran buku Mei lalu.
Seorang Bernard Batubara menantang dirinya untuk menuliskan film ini dalam sebuah kumpulan cerita pendek.
Bagi saya karya ini merupakan hal yang unik karena ya baru biasanya buku yang difilmkan, bukan film yang dibukukan. Atau mungkin saya saja yang baru menjumpainya.
Terdiri dari 5 cerita pendek-yang panjang, saya mulai menyukai kalimat ini-dan 1 cerita pendek yang dibagi ke dalam prolog lima bagian cerita pendek tersebut. Entah apa maksudnya tapi menurut saya ini jenius.
Semuanya ingin menyampaikan tentang satu hal, yaitu "...berbicara tentang Indonesia dewasa ini dari berbagai macam sisi...tentang realitas keseharian masyarakat yang masih saja penuh luka dan tak kunjung sembuh"-Ismail Basbeth.
Liar? Ya bagi saya liar sekali dan berani menampakkan realitas dewasa ini. Bukan dari plot twistnya atau ide pokok utamanya atau konfliknya atau penyelesaian masalahnya atau tokohnya atau judul ceritanya, saya menemukan realitas liar tersebut dalam setiap baitnya, dalam setiap lirik kisahnya.
Sebuah kisah bercerita tentang seorang pegawai kantoran yang menjadi kroco bosnya terjebak dalam rutinitas yang sama setiap harinya dan hidup sendiri. Bukan masalah dia belum bisa melupakan almarhumah istrinya, tapi rutinitas setiap harinya yang tak kunjung mampu mengubah dirinya menjadi lebih baik. Bukankah begitu realita hari ini? Banyak orang memilih terjebak dalam zona nyamannya dan tak ingin mengubah sedikitpun kehidupannya, padahal pilihan itu ada.
Dilanjut dengan kisah seorang gadis yang dipersunting seorang tua keladi pembunuh bayaran yang membunuh almarhum kekasihnya yang merupakan ketua BEM sekaligus aktivis di kampusnya. Mahasiswa yang berusaha membongkar kebobrokan rektornya dan kampusnya, malah dibunuh keji atas perintah rektornya. Salahkah mahasiswa yang berbuat benar tersebut? Setidaknya surga menjadi tempat terakhir ia bernanung.
Kemudian kisah tentang tiga orang gadis yang sedang bersenang-senang melepas penat dari berbagai masalahnya, namun masih berusaha berpura-pura baik-baik saja-saya pun merasakan hal ini saat ini.
Juga kisah seorang pelacur sedang kabur dari pikatan seorang lelaki yang tulus menyayanginya-tidak seperti lelaki-lelaki yang membayarnya-namun entah karena lelaki tersebut telah beristri atau pergolakan lain dalam hatinya, ia belum bisa menerimanya. Cerita itu seakan mengatakan bahwa masih banyak gadis yang berprofesi seperti tokoh dan berakhir tidak berani menjalin ikatan dalam hidupnya.
Serta cerita yang dirangkai dalam prolog setiap segmen tentang 2 orang petani yang menolak digusur tanahnya dan melakukan aksi demo di depan kantor gubernur setempat. Yak seperti yang sudah kalian duga, keesokan harinya yang ditemukan hanyalah jasad mereka. Untuk yang satu ini saya geleng-geleng sembari bergumam, masih zamannya kah mereka yang merasa di atas berbuat semena-mena pada rakyat bawah?
Tamparan keras bagi Indonesia hari ini-seharusnya. Saya rasa para pemuda wajib membaca buku ini, lumayan, siapa tahu bisa membangkitkan semangat mereka untuk mengubah nasib negeri ini.
Makna realistis dimasukkan dalam kisah yang liar dengan sebuah mobil bekas-jip hijau-yang menjadi identitas dalam setiap segmen. Mobil bekas memang hanya diam, tapi ia mau menjadi saksi realita Indonesia hari ini. Mobil bekas saja mau menceritakan "indahnya" negeri ini, masa kamu tidak mau? Selamat membaca!
Mobil Bekas dan Kisah-Kisah dalam Putaran atau The Carousel Never Stops Turning. Film ini disutradarai oleh Ismail Basbeth dan pernah diputar pada Busan International Film Festival 2017, Tokyo International Film Festival 2017, Hongkong Asian Film Festival 2017, Jogja-NETPAC Film Festival 2017, Cambodia International Film Festival 2018, Bali International Film Festival 2018, hingga akhirnya rilis resmi di Indonesia pada 25 September 2018.
Saya sendiri belum pernah melihat filmnya dan justru menemukan versi bukunya di pameran buku Mei lalu.
Seorang Bernard Batubara menantang dirinya untuk menuliskan film ini dalam sebuah kumpulan cerita pendek.
Bagi saya karya ini merupakan hal yang unik karena ya baru biasanya buku yang difilmkan, bukan film yang dibukukan. Atau mungkin saya saja yang baru menjumpainya.
Terdiri dari 5 cerita pendek-yang panjang, saya mulai menyukai kalimat ini-dan 1 cerita pendek yang dibagi ke dalam prolog lima bagian cerita pendek tersebut. Entah apa maksudnya tapi menurut saya ini jenius.
Semuanya ingin menyampaikan tentang satu hal, yaitu "...berbicara tentang Indonesia dewasa ini dari berbagai macam sisi...tentang realitas keseharian masyarakat yang masih saja penuh luka dan tak kunjung sembuh"-Ismail Basbeth.
Liar? Ya bagi saya liar sekali dan berani menampakkan realitas dewasa ini. Bukan dari plot twistnya atau ide pokok utamanya atau konfliknya atau penyelesaian masalahnya atau tokohnya atau judul ceritanya, saya menemukan realitas liar tersebut dalam setiap baitnya, dalam setiap lirik kisahnya.
Sebuah kisah bercerita tentang seorang pegawai kantoran yang menjadi kroco bosnya terjebak dalam rutinitas yang sama setiap harinya dan hidup sendiri. Bukan masalah dia belum bisa melupakan almarhumah istrinya, tapi rutinitas setiap harinya yang tak kunjung mampu mengubah dirinya menjadi lebih baik. Bukankah begitu realita hari ini? Banyak orang memilih terjebak dalam zona nyamannya dan tak ingin mengubah sedikitpun kehidupannya, padahal pilihan itu ada.
Dilanjut dengan kisah seorang gadis yang dipersunting seorang tua keladi pembunuh bayaran yang membunuh almarhum kekasihnya yang merupakan ketua BEM sekaligus aktivis di kampusnya. Mahasiswa yang berusaha membongkar kebobrokan rektornya dan kampusnya, malah dibunuh keji atas perintah rektornya. Salahkah mahasiswa yang berbuat benar tersebut? Setidaknya surga menjadi tempat terakhir ia bernanung.
Kemudian kisah tentang tiga orang gadis yang sedang bersenang-senang melepas penat dari berbagai masalahnya, namun masih berusaha berpura-pura baik-baik saja-saya pun merasakan hal ini saat ini.
Juga kisah seorang pelacur sedang kabur dari pikatan seorang lelaki yang tulus menyayanginya-tidak seperti lelaki-lelaki yang membayarnya-namun entah karena lelaki tersebut telah beristri atau pergolakan lain dalam hatinya, ia belum bisa menerimanya. Cerita itu seakan mengatakan bahwa masih banyak gadis yang berprofesi seperti tokoh dan berakhir tidak berani menjalin ikatan dalam hidupnya.
Serta cerita yang dirangkai dalam prolog setiap segmen tentang 2 orang petani yang menolak digusur tanahnya dan melakukan aksi demo di depan kantor gubernur setempat. Yak seperti yang sudah kalian duga, keesokan harinya yang ditemukan hanyalah jasad mereka. Untuk yang satu ini saya geleng-geleng sembari bergumam, masih zamannya kah mereka yang merasa di atas berbuat semena-mena pada rakyat bawah?
Tamparan keras bagi Indonesia hari ini-seharusnya. Saya rasa para pemuda wajib membaca buku ini, lumayan, siapa tahu bisa membangkitkan semangat mereka untuk mengubah nasib negeri ini.
Makna realistis dimasukkan dalam kisah yang liar dengan sebuah mobil bekas-jip hijau-yang menjadi identitas dalam setiap segmen. Mobil bekas memang hanya diam, tapi ia mau menjadi saksi realita Indonesia hari ini. Mobil bekas saja mau menceritakan "indahnya" negeri ini, masa kamu tidak mau? Selamat membaca!



