Selasa, 12 November 2019

Satu Hal yang Hanya dimiliki Transportasi Umum: Berbagai Kisah dan Harapan di Pundaknya

"Mbak, silakan duduk Mbak," seorang lelaki tua menawarkan saya tempat duduk prioritas di dalam sebuah kereta rel listrik tujuan akhir Stasiun Tanah Abang.

Tubuh saya tidak terlihat ringkih, sangat segar bugar malah, kadang saya bertanya-sekaligus bersyukur, masih banyak yang menawarkan saya tempat untuk duduk di kereta yang tak jarang penuh sesak itu.
Orang Indonesia baik-baik ternyata, bisik saya dalam batin.

Kereta Rel Listrik (KRL) sebagai salah satu transportasi umum favorit warga ibu kota
(Sumber: instagram @wisnu_adika) 

Namun sudah menjadi kebiasaan, saat perjalanan KRL tidak terlalu jauh saya memilih untuk berdiri dan membiarkan orang lain duduk, toh saya masih kuat berdiri, hitung-hitung olahraga pikir saya.
Seorang pengawal kereta berseragam gagah berdiri mengawasi gerbong yang saya naiki kali ini. Ketika seorang ibu dan anak kecilnya naik, dengan sigap beliau menghampiri bapak-bapak sekiranya umur 40 tahun dan memintakan tempat duduk untuk mereka. Syukurlah, setiap saya menggunakan moda transportasi KRL, saya selalu mendapati ibu dengan anaknya duduk dengan nyaman di kursi prioritas.

Rasa-rasanya 5 tahun lalu fenomena seperti ini masih jarang ditemui di Indonesia. Seiring terus memperbaiki diri, hari ini di setiap ruang tunggu stasiun, bandara, atau terminal, bus Transjakarta, JakLingko, Moda Raya Terpadu (MRT), Lintas Rel Terpadu (LRT), Kereta Rel Listrik (KRL), dan berbagai transportasi umum lainnya penyediaan kursi prioritas adalah sebuah keharusan. Hal tersebut untuk menjamin keselamatan, keamanan, dan kenyamanan para penumpang yang lebih membutuhkan.

Para orang lanjut usia, ibu dengan anak, penyandang disabilitas, kiranya sudah dapat menikmati transportasi umum dengan selamat, aman, nyaman, tanpa perlu merasa takut. Ditambah pengawasan dari setiap petugas yang selalu siap sedia membantu, Indonesia telah menunjukkan kualitas tranportasi umumnya hari ini.
Hadirnya berbagai transportasi umum merupakan upaya yang membuahkan hasil baik bagi kemajuan tanah air.

Bus TransJakarta sebagai salah satu transportasi umum andalan Jakarta
(Sumber: instagram @jakarta.ku)

Berkat pelayanan yang maksimal dari pemerintah, masyarakat menjadi tidak ragu untuk menggunakan transportasi umum hari ini. Data dari PT. Kereta Commuter Indonesia menyatakan bahwa pengguna KRL rata-rata mencapai jumlah 868 ribu setiap harinya. Jumlah tersebut meningkat hingga 12,55% dari tahun 2017. Selama 2017, jumlah pengguna KRL mencapai 315,8 juta jiwa. Sedangkan untuk transportasi Bus TransJakarta jumlah penumpang mencapai 189,77 juta orang selama tahun 2018. Angka tersebut juga meningkat 31% dari tahun sebelumnya. Hal tersebut menunjukkan kepercayaan yang meningkat dari masyarakat.

Berdasarkan hasil survey Tom Tom Traffic Index, sebuah lembaga yang melakukan pengukuran terhadap kepadatan kendaraan di dunia mengklaim bahwa kemacetan di ibukota turun hingga 8%. Angka tersebut juga diakui sebagai penurunan terbesar yang terjadi di dunia pada periode sejak 2017 hingga 2018 kemarin. Level kemacetan di Indonesia yang mulanya menempatkan Indonesia sebagai peringkat ke-3 negara termacet di dunia pada 2017, menurun menjadi peringkat ke-7 pada tahun 2018. Bagi masyarakat Indonesia yang barangkali memang masih merasakan kemacetan hari ini, sepatutnya mengapresiasi sedikit demi sedikit upaya pemerintah yang dalam hal ini diwakili oleh Kementerian Perhubungan Republik Indonesia atas pencapaian tersebut. Perbaikan terus dilakukan hari demi hari demi kesejahteraan bangsa ini.

Dilansir dari laman Jawapos, Plt. Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta, Sigit Widjatmoko mengatakan bahwa penurunan tingkat kemacetan di Jakarra keseluruhannya disumbang oleh peningkatan pelayanan terkait dengan pengaturan lalu lintas serta pengembangan transportasi umum.

Lintas Rel Terpadu (LRT) sebagai harapan baru transportasi modern untuk mengurangi kemacetan
(Sumber: instagram @jakarta_skylines)

Pemerintah melalui Kementerian Perhubungan juga menggencarkan promosi penggunaan transportasi umum kepada masyarakat menggunakan media iklan di berbagai moda transportasi umum. Bukan tanpa tujuan, pemasangan iklan di KRL, MRT, TransJakarta, atau LRT dimaksudkan untuk menggaet lebih banyak warga agar lebih memilih menaiki transportasi umum daripada menggunakan kendaraan pribadi. Hal tersebut selain dapat mengurangi kemacetan, juga mengurangi polusi udara yang dinilai sudah tidak sehat di Jakarta.

Masih banyak lagi upaya yang terus digencarkan Kementerian Perhubungan Republik Indonesia dalam memajukan transportasi umum di Indonesia. Berbagai program, kegiatan, promosi, ajakan, serta inovasi dapat langsung diakses masyarakat melalui website resmi Kementerian Perhubungan RI pada alamat dephub.go.id. Seiring perkembangan teknologi, Kementerian Perhubungan RI juga selalu mengupdate perkembangan transportasi umum tanah air melalui akun instagram @kemenhub151 atau akun twitter di @kemenhub151. Tentu saja agar generasi milenial juga mulai peduli pada upaya pemerintah saat ini.

Kementerian Perhubungan RI juga memposting pada situs websitenya berbagai laporan pencapaian, laporan pertanggungjawaban, laporan keuangan, dan berita perkembangan terkini untuk menunjukkan transparansi serta akuntabilitasnya kepada masyarakat.

Tanpa dukungan dari masyarakat, upaya pemerintah bukan apa-apa. Negara ini membutuhkan kerja sama semua pihak, tidak hanya pemerintah yang berusaha sendiri. Seperti pepatah yang selalu menjadi andalan ketika sekolah pendidikan dasar dahulu, bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh. Sama seperti sebuah hubungan, kalau di antara dua orang yang berusaha hanya salah satunya, rasanya menyakitkan bukan?

Moda Raya Terpadu (MRT) sebagai transportasi umum baru untuk mengurangi kemacetan
(Sumber: instagram @ahmad_thoyyib)

Suatu hari saya bertanya pada kawan yang selalu menggunakan moda transportasi KRL untuk berangkat ke kantornya.
"Memangnya tidak lelah harus berdesakan setiap hari menggunakan KRL? Rumahmu jauh, bukan? Dari Tangerang Selatan menuju Jakarta Pusat bukan jarak yang dekat, lho," begitu saya bertanya penuh heran karena pengalaman naik dari Stasiun Pondok Ranji ke Stasiun Manggarai saja sudah cukup melelahkan bagi saya, lemah memang.

"Lebih enak naik KRL lho zaman sekarang. Daripada saya naik sepeda motor berjejalan dengan kemacetan, naik transportasi umum sudah dijamin kedatangan dan keberangkatannya, selain itu murah pula hanya mengeluarkan kocek 6000 rupiah untuk perjalanan pergi dan pulang, dan juga lebih hemat tenaga pastinya. Hari ini, masyarakat Indonesia sebaiknya tahu bagaimana transportasi umum sudah menjadi lebih nyaman dari pada masa-masa sebelumnya." Jawaban panjang lebar darinya membuat saya manggut-manggut terkesima.

"Lalu, bagaimana dengan keamanannya? Bukankah banyak pencopetan di transportasi umum?" Saya menanyakan hal yang pernah saya alami sendiri dalam sebuah bus antar kota dari Jakarta menuju Malang.

"Kalau hal tersebut, kembali pada pribadi masing-masing. Kamu tidak bisa menyalahkan transportasi umum yang sudah didesain seapik itu. Letakkan tas punggungmu di hadapanmu, masukkan barang berharga ke dalam tasmu, jangan terlalu sering bermain gawai saat perjalanan, luangkan lebih banyak waktu untuk memperhatikan sekitarmu. Kiranya tak akan ada kehilangan apapun bila kamu berhati-hati dengan baik." Kembali saya dibuat diam dengan jawabannya. Benar juga ya, batin saya dalam hati.

Setelah hari itu, ternyata banyak dari relasi saya yang memang lebih memilih untuk menaiki transportasi umum untuk aktivitas sehari-harinya. Selain murah, mengurangi kemacetan, menghemat tenaga, juga mendukung upaya pemerintah dalam memperbaiki negeri ini.

"Naik TransJakarta itu menyenangkan. Halte pemberhentian lebih banyak, kamu bisa ke mana pun hanya dengan 3500 rupiah tanpa perlu mengeluarkan tenaga berpanas-panasan mengendari sepeda motor." Salah seorang rekan kerja yang setiap hari pergi pulang dari rumahnya di Jakarta Selatan menuju pusat ibu kota juga pernah menyatakan kepuasannya pada transportasi umum pada saya.

Saya sendiri yang sudah mencoba menaiki beberapa transportasi umum yang tersedia di Jabodetabek merasa sangat terbantu dengan kehadiran mereka. Bukan hanya ramah di kantong, namun fasilitas yang memadai juga menjadi alasan saya untuk lebih memilih menggunakan KRL atau Bus TransJakarta untuk mengunjungi beberapa titik tertentu di Jabodetabek. Sekitar 2 tahun lalu saat saya pertama kali menginjakkan kaki di tanah Jakarta, saya selalu berpergian menggunakan sepeda motor apabila ingin berkunjung ke Jakarta atau Bogor-dari Tangerang Selatan, domisili saya di Jabodetabek. Namun, sudah 2 tahun terakhir ini pula saya lebih memilih untuk menaiki KRL, MRT, atau TransJakarta untuk mengantar saya sampai tujuan. Sudah murah, dingin, nyaman, cepat, lalu alasan apalagi yang membuat saya tidak memilih untuk menaiki transportasi umum?

"Dik, kereta ini benar menuju stasiun Manggarai, bukan?" Tanya seorang Ibu pada saya. Saya mengangguk dan menjelaskan beberapa rute, kemudian beliau tersenyum dan mulai bercerita banyak hal mengenai kehidupannya.

Satu hal lain yang tak akan kau temukan selain di transportasi umum, mendapati berbagai cerita hidup seseorang, mulai dari susah hingga senang. 

Bagaimana seorang lelaki tua bertahan di ibu kota, seorang remaja menikmati setiap sudut Jakarta, bagaimana seorang anak sekolah dasar berangkat menggunakan KRL menuju sekolahnya setiap hari, bagaimana seorang pedagang atau tengkulak menghabiskan hampir separuh lantai kereta di depan pintu menaruh barang dagangan-sumber penghidupannya-setiap subuh, bagaimana seorang ibu menenangkan anaknya yang terus merengek ingin segera sampai ke rumah, bagaimana sebuah keluarga membawa senyuman untuk bertamasya entah ke Monas atau Pantai Ancol, bagaimana seorang mahasiswa membawa tumpukan berkas skripsinya menuju dosen pembimbingnya untuk mendapat kata setuju, atau seorang bujang dengan kemeja batik dan wajah lelahnya setelah bekerja seharian menanti pundi-pundi tabungannya segera penuh untuk menikahi gadis yang dicintainya.

"Stasiun Tanah Abang. Hati-hati melangkah, perhatikan celah peron." Dengan mantap saya melangkahkan kaki ini keluar kereta, bertekad untuk memulai apapun dengan sebaik-baiknya. Begitu pula Kementerian Perhubungan dengan berbagai upayanya. Izinkan saya membisikkan sesuatu, pencapaianmu selama 5 tahun ini, utamanya transportasi umum di Jabodetabek, sangat membantu setiap orang yang sedang berpeluh mencari penghidupan lebih baik di tanah ini. Terima kasih untuk kalian yang selalu berusaha dan bekerja ikhlas untuk membuat Indonesia selangkah lebih maju setiap harinya. 


Referensi:
Badan Pusat Statistik, Kereta Commuter Jabodetabek, PT, 2018.

Jawapos. (2019). Survei TomTom: Jakarta Alami Penurunan Kemacetan Terbesar di Dunia. Diakses pada 12 November 2019 dari https://www.google.com/amp/s/www.jawapos.com/jpg-today/17/06/2019/survei-tomtom-jakarta-alami-penurunan-kemacetan-terbesar-di-dunia/%3famp

Velarosdela, Rindi Nuris. (2019). Jumlah Penumpang Transjakarta Tahun 2018 Capai 189,77 Juta. Diakses pada 12 November 2019 dari https://megapolitan.kompas.com/read/2019/01/01/19065301/jumlah-penumpang-transjakarta-tahun-2018-capai-18977-juta.

Selasa, 22 Oktober 2019

Garut, Panji Tersembunyi Ibu Pertiwi

“Hirup mah kudu diajar...
Nulung kanu butuh
Nalang kanu susah
Ngahudangkeun kanu sare
Ngajait kanu titeuleum...”
Suatu kali dalam sebuah kesempatan, seorang figur terkemuka bumiputra Sunda, Ridwan Kamil, mengungkapkan sebait pesan sarat akan makna kahirupan,

Hidup itu harus belajar, menolong mereka yang membutuhkan, menalangi mereka yang kesusahan, membangunkan yang ‘tertidur’, mengangkat yang ‘tenggelam’...

Rahim Ibu Pertiwi setia menyediakan limpah ruah, memenuhi bekal kehidupan anak-anak kandungnya, Rakyat Indonesia. Hamparan sawah hijau, jajaran gunung yang perkasa, buah-buahan ranum, lembah berparas elok, madu dan susu yang keluar tiada habisnya. Meski dirusak dan jarang dirawat, surga-surga tersembunyi Ibu Pertiwi terus mengabdikan diri tuk anak kandung negeri.

Barangkali sebait petuah hendak mengingatkan, bahwa kalian yang hidup di tanah terjanji ini, jangan tidur dan diam saja, bergeraklah membangunkan warisan Ibu Pertiwi yang masih tertidur berpuluh tahun lamanya, beranjaklah mengangkat kekayaan tanah air yang masih tenggelam nun di sana. Perpuluhan kekayaan itu ada untuk menolong mereka yang membutuhkan, menalangi mereka yang kesusahan, memenuhi amanat Ibu Pertiwi: menyejahterakan putra-putrinya.

Surga istimewa yang tersembunyi itu salah satunya bersemayam di tanah sunda. Menjajaki 3.074 kilometer persegi tanah sunda yang terbagi menjadi dua wilayah kekuasaan, kabupaten dan kota.  Tak kurang dari 200 tahun silam, tanah ini seringkali dihantam banjir, namun berkat keyakinan para leluhur untuk mengganti nama Kabupaten Limbangan yang dianggap banyak membawa malapetaka, lahirlah Garut, tanah yang tiada hentinya mendermakan saripatinya untuk Indonesia.

Lewo, Malangbong, Garut
Sumber: Instagram @exploregarut
Garut namanya, bagian dari tanah sunda yang selalu istimewa. Berbagai jenis tanaman, sayuran, buah-buahan, memiliki tingkat keanekaragaman yang jauh lebih banyak melampaui wilayah lain di Pulau Jawa. Tak kurang dari 3.882 jenis spesies tumbuhan mampu tumbuh dengan baik di Tanah Sunda, mengalahkan Jawa Timur dan Jawa Tengah dengan 2.717 spesies dan 2.581 spesies tumbuhan.

Garut panggilannya, cerminan tepat sebaris lirik lagu “tongkah kayu dan batu jadi tanaman”, hendak menanam apapun di halaman rumah, cabe rawit, tomat, serai, kunyit, dan sanak saudaranya tak akan pernah tumbuh mengecewakan di alam Garut. Hidup dengan melestarikan kearifan serta pengetahuan leluhur, alam akan menjadi satu-satunya kekasih setia urang Garut, sejak dilahirkan, hingga saat menutup hari nanti.

Garut, surga tersembunyi yang mewarisi dua potensi kekayaan alam sekaligus. Panorama dan hasil alam. Panorama Garut bak lukisan bersejarah dalam museum tua, langit biru, awan putih, matahari terbit, matahari terbenam, memanjakan mata, membuat napas terhenti sejenak. Mulai dari gunung hingga lembah, pantai hingga sungai, danau serta telaga, candi juga perkampungan adat, kebun teh hingga pasar. Limpahan hasil alamnya beragam, mulai dari kulit, dodol, domba, teh, hingga berbagai jenis rempah-rempah yang dicari sepanjang sejarah manusia. Terlebih lagi, olahan bahan baku asli Garut mampu disulap menjadi barang berkualitas dunia yang sudah merambah pasar internasional dan berkontribusi bagi penerimaan ekspor negara. Garut bukan lagi daerah yang semestinya dipandang sebelah mata, Garut berhak mendapat perhatian seluruh mata dunia.

Kerajinan Kulit Garut, Membumi nan Eksklusif
Kekayaan hasil alam Garut yang paling mendunia adalah kerajinan kulit. Warna coklat terpajang di setiap sudut kios, memberikan kesan modern yang tetap menghangatkan, membumi namun bernilai canggih dan mahal, perlambangan kekuatan hidup yang kokoh sekaligus menampakkan kebanggaan, seakan berseru “inilah aku!”

Sentra industri kulit Sukagerang, Kabupaten Garut telah membusungkan dadanya sejak sekitar tahun 1970-an. Tangan-tangan terasah menggarap bahan baku lokal hasil pemeliharaan kelas dunia, membuahkan berbagai sandang dengan kualitas internasional. Berdasarkan data Dinas Perindustrian Perdagangan Kabupaten Garut, pernah tercatat jumlah produksi jaket kulit dari Garut mencapai 250.000 potong. Tidak hanya memenuhi permintaan nasional namun juga pasar internasional, diantaranya Singapura, Malaysia, Taiwan, Hongkong, dan Jepang. Data terakhir pada Desember 2017 mengatakan jaket kulit Garut diekspor ke Singapura, Malaysia, Taiwan, dan Australia dengan volume mencapai 9.488 potong atau senilai sekitar 6,1 miliar rupiah.

Padahal, dilansir dari laman Republika.co.id, pada tahun 2019 ini masih banyak pengusaha kerajinan kulit Garut yang menggunakan metode konvensional untuk memasarkan produknya. Mereka mengaku bahwa mereka masih kesulitan dalam memasarkan produknya yang sebenarnya berpotensi untuk bermain di pasar dunia. Metode konvensional saja mampu mengirim ratusan ribu potong kerajinan kulit, apalagi dengan metode modern dengan pemanfaatan teknologi digital. Para pengusaha tersebut berharap agar mereka terus dibina dari segi pemasaran dan manajemen. Dengan dukungan pemerintah dan masyarakat yang maksimal, mimpi Garut untuk berkacak pinggang di panggung dunia bukan lagi angan belaka.

Domba Garut, Bodyguard Pribadi
Garut juga sangat tersohor dengan kehebatan domba peliharaan warganya. Melihatnya saja serasa memiliki bodyguard pribadi. Tubuh berisi bertemu otot kekar, tanduk melengkung kuat berwarna hitam legam, kulit bersih tanpa goresan luka. Kelihatan sekali dirawat penuh kasih sayang oleh pemiliknya. Bahkan sepertinya domba-domba asli Garut mendapatkan asupan yang jauh lebih sehat daripada masyarakat Indonesia yang suka makan gorengan atau kerupuk setiap hari. Selama dipelihara, domba dipastikan mendapatkan berbagai asupan makanan bergizi, sayur-sayuran, vitamin, obat cacing, hingga asupan khusus berbahan jamu kencur, telur, madu, dan susu untuk memicu ketangkasan dan kebugaran.

Domba Garut
Sumber: Instagram @garutulin_
Domba di Garut sengaja dipelihara sedemikian rupa untuk melestarikan seni budaya adu ketangkasan domba Garut. Semakin sering seekor domba memenangkan kejuaraan ketangkasan, semakin tinggi harga yang ditawar untuk domba tersebut. Selain itu, domba-domba Garut juga menjadi sumber utama Indonesia dalam memenuhi permintaan ekspor domba ke luar negeri. Tahun 2018 lalu, sebanyak 300 ekor domba Garut telah diekspor ke Uni Emirat Arab dan kontrak kerja sama tersebut terus berlangsung hingga hari ini. Transaksi tersebut bernilai ekspor sekitar 3,04 miliar rupiah. Hal tersebut karena domba Garut memiliki keunggulan genetik yang tidak dimiliki oleh negara lain.

Teh Kejek, Kebun Teh ‘Kaki’ Gunung Cikuray
Pepatah pernah mengatakan, bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian. Kiranya pepatah tersebut cocok menggambarkan pembuatan teh di Garut yang harus diinjak-injak terlebih dahulu sebelum diseduh dan mampir memanjakan kerongkongan. Sudah menjadi ciri khas di Garut sejak tahun 1970 untuk menggunakan tenaga injakan kaki dalam proses pembuatan teh. Injakan atau dalam bahasa sunda disebut “kejek” tersebut berguna agar getah teh keluar sempurna, semakin bersih getah dari daun teh, semakin nikmat rasa yang dihasilkan. Hamparan kaki Gunung Cikuray berteman dengan seduhan daun Teh Kejek, rasanya tak ada yang lebih menenangkan dari menghirup aroma harum teh asli langsung dari kebunnya.

Teh Kejek, dalam bahasa Sunda, Kejek artinya Injak
Sumber: Instagram @aditya_herlambang_putra

Dilansir dari laman Liputan6.com, olahan Teh Kejek bahkan sudah menjelajah hingga pasar luar negeri. Namun karena keterbatasan pekerja dan proses pengerjaan yang cukup lama, kebanyakan yang dipenuhi hanya permintaan pasar Garut saja. Sayang sekali melihat potensi melanglang buana Teh Kejek ini yang belum mampu dimaksimalkan dalam dunia global.

Holtikultura, Budidaya Taman Kebun Garut


Bayongbong, Garut
Sumber: Instagram @exploregarut

Garut diberkati Tuhan memiliki tanah gembur berlimpah rempah. Garut layak menjadi sumber utama ekspor produk pertanian Indonesia. Beberapa hasil alam Garut telah dikirim ke berbagai pemesan di luar negeri. Berlari ke dataran Singapura, 1000 ton kentang senilai 20 miliar rupiah berhasil dilepas sepanjang tahun 2018. Tak hanya kentang, ekspor kunyit pun telah melancong hingga India, Singapura, Vietnam, bahkan Amerika Serikat dengan volume ekspor selama 2018 sebanyak 9,541 ton. Buah manggis juga dikirim hingga ke China dengan nilai ekspor mencapai 17,6 miliar rupiah. Serta masih banyak lagi potensi produk pertanian Garut yang berkualitas baik untuk dikirim ke luar negeri seperti jahe, sayuran, dan buah-buahan lainnya.

Belum ke Garut Kalau Belum Beli Dodol Garut
Dodol asli Garut
Sumber: Instagram @oleholehgarut09

Legit, manis, berlapis berbagai varian rasa. Entah tangan macam apa yang mengolah hingga jajanan satu ini mampu menjadi primadona Garut sejak tahun 1926. Sekali menggigitnya, setiap unsur yang membentuk Dodol Garut akan lumer dan memberikan rasa manis tanpa ampun bagi lidah. Kiranya tak cukup satu buah untuk memanjakan lidah, itu mengapa banyak pelancong harus membawa pulang Dodol Garut untuk buah tangan. Karena tak hanya memenuhi pasar Indonesia saja, namun peminat Dodol Garut juga telah merambah pasar luar negeri seperti Malaysia dan Singapura.

Garut, Surga Ekspor Indonesia, Surga Panorama Indonesia
Garut, surga ekspor Indonesia. Kian tahun ekspor Garut menunjukkan peningkatan yang kian cemerlang. Potensi alam yang tiada habisnya semestinya dapat dimanfaatkan dengan baik oleh pemerintah, misalnya dengan menjadikan Garut sebagai wilayah yang diprioritaskan untuk meningkatkan nilai ekspor Indonesia.

Tak hanya ekspor, Garut juga mewarisi keindahan panorama Ibu Pertiwi. The Next Bali, julukan yang tepat untuk mulai mengajak masyarakat dan pemerintah Indonesia melihat, bahwa Garut juga berpotensi tinggi dalam sektor pariwisata.

Pantai Cijeruk Indah, Garut
Sumber: Instagram @exploregarut

Mengutip laman CNBC Indonesia, sektor pariwisata menjadi salah satu fokus pemerintah dalam mendukung perekonomian Indonesia. Hal tersebut dibuktikan dengan alokasi anggaran dalam Rencana APBN 2020 untuk pariwisata yang meningkat dari perkiraan realisasi APBN 2019, yaitu dari 3,89 triliun rupiah menjadi 4,95 triliun rupiah. Sayangnya, pengembangan pariwisata sejak tahun 1969 hanya mengalami peningkatan di Pulau Dewata, Bali. Permasalahan utama terletak pada keterbatasan infrastruktur penunjang untuk mencapai potensi pariwisata di Indonesia yang belum terekspos bagi wisatawan. Garut menjadi salah satunya, The Next Bali yang belum bisa menampakkan wajahnya di mata wisatawan.

Garut, The Next Bali of Indonesia
Bali punya Pantai Kuta dengan manis sunset-nya, Garut punya Pantai Santolo dengan garis pesisirnya yang tiada ujung sejauh mata memandang, pasir putih yang melemaskan kaki, serta semerbak biru laut yang tak pernah habisnya bergelut dengan birunya langit. Berbeda dengan Kuta, Santolo belum terlalu ramai dipadati pengunjung. Berteman dengan batu besar dan ikan bakar, bagaimana kalau tak usah pulang ke rumah? Menghabiskan waktu sejenak di Pantai Santolo tak ada salahnya, bukan?

Pantai Santolo
Sumber: Instagram @senjakopikita

Bali punya Desa Penglipuran, Garut punya Kampung Pulo. Kalau mau dilombakan, Kampung Pulo jauh lebih tercium bangunan tua dan aroma adatnya. Enam bangunan rumah ditambah satu bangunan musola, tidak pernah bertambah bahkan hanya satu bata sejak abad ke-17 Masehi. Katanya sebagai simbol putra-putri peninggalan Eyang, Embah Dalem Arif Muhammad, saat menyebarkan agama Islam di Garut. Ketujuh bangunan itu melambangkan jumlah  putra-putri Embah, enam perempuan dan satu laki-laki. Jauh dari hiruk pikuk kota, Kampung Pulo menawarkan daya tarik wisata tersendiri, menenangkan pikiran serta penuh dengan pelajaran.

Candi Cangkuang di kawasan Kampung Pulo, Garut
Sumber: Instagram @asligarut_

Bali punya Pura Tanah Lot, Garut punya Candi Cangkuang. Satu-satunya candi peninggalan umat hindu yang masih utuh di tanah sunda. Meskipun tidak berteman laut dan karang, Candi Cangkuang menawarkan pesona tersendiri. Untuk tiba di Candi Cangkuang, pengunjung harus menaiki rakit yang menyeberangkan pengunjung melintasi Danau yang sering dikenal Situ Cangkuang.

Bali punya ritual adat tari Kecak, Garut tak mau kalah dengan Kesenian Lais kebanggaannya. Dimainkan dengan dua batang bambu sepanjang 12 meter yang dihubungkan dengan seutas tali tambang sebagai tempat para pemain menunjukkan aksi akrobatik. Beriringkan musik, para pemain seni Lais melakukan berbagai aksi mulai dari berjalan, tidur, bersantai, menari, hingga membelah buah kelapa dengan goloknya. Semua itu dilakukan tanpa alat pengaman sama sekali. Dibumbui humor dan percakapan nyentrik antar pemain, seni Lais mampu mengundang gelak tawa sekaligus membuat jantung berdebar tak karuan karena aksi akrobatik yang disuguhkan.
Aksi Akrobatik Kesenian Lais
Sumber: Instagram @alam.priangan

Bali punya Gunung Batur Kintamani, Garut punya empat gunung sekaligus yang berjajar mengelilingi. Gunung Papandayan dengan pemandangan luar biasa kawah belerangnya, Gunung Guntur bagi pecinta pendakian terjal dan menantang, Gunung Telaga Bodas dengan panorama telaga biru jernih, serta Gunung Cikuray berhias lautan awan dan rona matahari terbit.
Kolam di Kawasan Gunung Papandayan
Sumber: Instagram @indoflashlight

Tak bisa ke Bali, Garut pun jadi! Dengan beragam wisata yang tak kalah dari Pulau Dewata, menurut saya Garut cocok menjadi alternatif destinasi liburan. Tanpa perlu mengeluarkan kocek sebesar untuk berlibur ke Bali, Garut juga menawarkan panorama yang tak kalah elok. Pemerintah sebaiknya mulai menaruh perhatian pada potensi pariwisata di Garut. Harapannya, selain menjadi punggawa dalam ekspor hasil alam, Garut juga mampu menjadi pelopor kemajuan pariwisata di Indonesia.

Bangunlah, Garut! 
Panutan bangsa, Ir. Soekarno pernah berpesan,
“Aku tinggalkan kekayaan alam Indonesia, biar semua negara besar dunia iri dengan Indonesia, dan aku tinggalkan hingga bangsa Indonesia sendiri yang mengolahnya.”  
Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia, mengandung 17.504 pulau, melahirkan nusantara yang tak dimiliki oleh negara lain manapun di dunia. Sepanjang sejarah sebelum kemerdekaan, seluruh negara berbondong-bondong ingin merebut tanah manapun di Indonesia, pun Garut, putra kebanggaan Tanah Sunda. Pahlawan-pahlawan sebelum hari ini telah berjuang untuk menyelamatkan bumi Indonesia dan berhasil mewariskannya pada anak cucu Ibu Pertiwi.

Hari ini, menjadi tugas anak kandung bangsa Indonesia, para pemuda yang bergelora semangatnya, untuk membangunkan dan mengangkat hasil alam dan panorama yang diwariskan di Tanah Garut. Harapannya, akan lebih banyak lagi yang mulai memandang Kota dan Kabupaten Garut untuk memanfaatkan potensi pariwisata dan ekspornya dengan baik, hingga ke depannya mampu berandil lebih dalam peningkatan ekonomi Indonesia.

Garut, warisan berharga, panji tuk mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia.


Referensi

Adharsyah, Taufan. (2019). Jokowi Mau Genjot Infrastruktur Pariwisata, Buat Apa Sih?. Diakses dari https://www.cnbcindonesia.com/news/20190820153746-4-93360/jokowi-mau-genjot-infrastruktur-pariwisata-buat-apa-sih

Asdhiana, I Made. (2013). Alam Pasundan Sebagai Penghidupan. Diakses dari https://travel.kompas.com/read/2013/07/25/1522267/Alam.Pasundan.sebagai.Penghidupan?page=all

Jelajah Garut. Seni Lais: Kesenian Akrobatik Khas Garut. https://www.jelajahgarut.com/seni-lais-seni-akrobatik-khas-garut/

Nattasya. (2019). Ekspor Produk Pertanian Catatkan Garut Sebagai Produsen Berkualitas. Diakses dari https://tabloidsinartani.com/detail/industri-perdagangan/olahan-pasar/8286-Ekspor-Produk-Pertanian-Catatkan-Garut-Sebagai-Produsen-Berkualitas

Prodjo, Wahyu Adityo. (2018). Asal-Usul Kampung Pulo Garut, Kampung dengan 7 Bangunan. Diakses dari https://amp.kompas.com/travel/read/2018/01/20/140000427/asal-usul-kampung-pulo-garut-kampung-dengan-7-bangunan

Putri, Nabilla. (2018). RI Ekspor 300 Domba Garut ke Uni Emirat Arab Senilai Rp 3 M. Diakses dari https://m.detik.com/finance/berita-ekonomi-bisnis/d-4330187/ri-ekspor-300-domba-garut-ke-uni-emirat-arab-senilai-rp-3-m

Republika.co.id. (2019). Mimpi Pengrajin Kulit Garut Menembus Pasar Internasional. Diakses dari https://m.republika.co.id/amp/pu7ade370

Suprapto. (2017). Status Ridwan Kamil Ini Bikin Netizen Benar-benar Baper sampai Bilang: Bapak Jahaaaat. Diakses dari https://wartakota.tribunnews.com/amp/2017/05/04/status-ridwan-kamil-ini-bikin-netizen-benar-benar-baper-sampai-bilang-bapak-jahaaaat

Supriadin, Jayadi. (2019). Rahasia Perawatan Domba Aduan Seharga Ratusan Juta di Garut. Diakses dari https://m.liputan6.com/regional/read/4081879/rahasia-perawatan-domba-aduan-seharga-ratusan-juta-di-garut

Supriadin, Jayadi. (2018). Belanja Murah Produk Kulit Garut, Harga Lokal Rasa Global. Diakses dari https://m.liputan6.com/regional/read/3574707/belanja-murah-produk-kulit-garut-harga-lokal-rasa-global

Supriadin, Jayadi. (2018). Melestarikan Teh Kejek Garut Kesukaan Kaisar Jepang. Diakses dari https://m.liputan6.com/regional/read/3366269/melestarikan-teh-kejek-garut-kesukaan-kaisar-jepang

Senin, 15 Juli 2019

Mobil Bekas dan Kisah-Kisah dalam Putaran, Bernard Batubara

Sudah pernah membaca buku hasil adaptasi dari sebuah film? Kalau saya sudah, dan ini kali pertama saya.

Mobil Bekas dan Kisah-Kisah dalam Putaran atau The Carousel Never Stops Turning. Film ini disutradarai oleh Ismail Basbeth dan pernah diputar pada Busan International Film Festival 2017, Tokyo International Film Festival 2017, Hongkong Asian Film Festival 2017, Jogja-NETPAC Film Festival 2017, Cambodia International Film Festival 2018, Bali International Film Festival 2018, hingga akhirnya rilis resmi di Indonesia pada 25 September 2018.

Saya sendiri belum pernah melihat filmnya dan justru menemukan versi bukunya di pameran buku Mei lalu.

Seorang Bernard Batubara menantang dirinya untuk menuliskan film ini dalam sebuah kumpulan cerita pendek.

Bagi saya karya ini merupakan hal yang unik karena ya baru biasanya buku yang difilmkan, bukan film yang dibukukan. Atau mungkin saya saja yang baru menjumpainya.

Terdiri dari 5 cerita pendek-yang panjang, saya mulai menyukai kalimat ini-dan 1 cerita pendek yang dibagi ke dalam prolog lima bagian cerita pendek tersebut. Entah apa maksudnya tapi menurut saya ini jenius.

Semuanya ingin menyampaikan tentang satu hal, yaitu "...berbicara tentang Indonesia dewasa ini dari berbagai macam sisi...tentang realitas keseharian masyarakat yang masih saja penuh luka dan tak kunjung sembuh"-Ismail Basbeth.

Liar? Ya bagi saya liar sekali dan berani menampakkan realitas dewasa ini. Bukan dari plot twistnya atau ide pokok utamanya atau konfliknya atau penyelesaian masalahnya atau tokohnya atau judul ceritanya, saya menemukan realitas liar tersebut dalam setiap baitnya, dalam setiap lirik kisahnya.

Sebuah kisah bercerita tentang seorang pegawai kantoran yang menjadi kroco bosnya terjebak dalam rutinitas yang sama setiap harinya dan hidup sendiri. Bukan masalah dia belum bisa melupakan almarhumah istrinya, tapi rutinitas setiap harinya yang tak kunjung mampu mengubah dirinya menjadi lebih baik. Bukankah begitu realita hari ini? Banyak orang memilih terjebak dalam zona nyamannya dan tak ingin mengubah sedikitpun kehidupannya, padahal pilihan itu ada.

Dilanjut dengan kisah seorang gadis yang dipersunting seorang tua keladi pembunuh bayaran yang membunuh almarhum kekasihnya yang merupakan ketua BEM sekaligus aktivis di kampusnya. Mahasiswa yang berusaha membongkar kebobrokan rektornya dan kampusnya, malah dibunuh keji atas perintah rektornya. Salahkah mahasiswa yang berbuat benar tersebut? Setidaknya surga menjadi tempat terakhir ia bernanung.

Kemudian kisah tentang tiga orang gadis yang sedang bersenang-senang melepas penat dari berbagai masalahnya, namun masih berusaha berpura-pura baik-baik saja-saya pun merasakan hal ini saat ini.

Juga kisah seorang pelacur sedang kabur dari pikatan seorang lelaki yang tulus menyayanginya-tidak seperti lelaki-lelaki yang membayarnya-namun entah karena lelaki tersebut telah beristri atau pergolakan lain dalam hatinya, ia belum bisa menerimanya. Cerita itu seakan mengatakan bahwa masih banyak gadis yang berprofesi seperti tokoh dan berakhir tidak berani menjalin ikatan dalam hidupnya.

Serta cerita yang dirangkai dalam prolog setiap segmen tentang 2 orang petani yang menolak digusur tanahnya dan melakukan aksi demo di depan kantor gubernur setempat. Yak seperti yang sudah kalian duga, keesokan harinya yang ditemukan hanyalah jasad mereka. Untuk yang satu ini saya geleng-geleng sembari bergumam, masih zamannya kah mereka yang merasa di atas berbuat semena-mena pada rakyat bawah?

Tamparan keras bagi Indonesia hari ini-seharusnya. Saya rasa para pemuda wajib membaca buku ini, lumayan, siapa tahu bisa membangkitkan semangat mereka untuk mengubah nasib negeri ini.

Makna realistis dimasukkan dalam kisah yang liar dengan sebuah mobil bekas-jip hijau-yang menjadi identitas dalam setiap segmen. Mobil bekas memang hanya diam, tapi ia mau menjadi saksi realita Indonesia hari ini. Mobil bekas saja mau menceritakan "indahnya" negeri ini, masa kamu tidak mau? Selamat membaca!

Selasa, 09 Juli 2019

Bu Guru Cantik, Kumpulan Cerpen Hasta Indriyana



Selepas menamatkan kumpulan esai Eka Kurniawan saya menjadi ngebet untuk menghabiskan antrean buku yang sudah menumpuk di rak. Jadilah seharian kemarin saya menghabiskan sebuah kumpulan cerpen dalam buku berjudul “Bu Guru Cantik” karya Hasta Indriyana.

Buku dengan gambar sampul tokoh wayang dengab pakaian ala ibu guru lawas ini menarik perhatian saya kala berkelana di pameran buku terbesar Big Bad Wolf bulan Mei lalu. Berisi 19 cerita pendek yang hampir semuanya pernah diterbitkan di berbagai media sepanjang 2003-2016. Dengan tebal 200 halaman dan diselipkan berbagai gambar lukisan, buku ini ringan dan menyenangkan untuk dibaca.

Hasta Indriyana mengambil latar kebanyakan di Gunungkidul, Yogyakarta-tempat kelahirannya dan mengambil tokoh seorang guru sebagai pemeran utama. Di sini saya berkenalan dengan 19 orang guru yang memiliki latar belakang dan kehidupan yang berbeda-beda. Entah tokoh fiksi atau nyata, karena dalam kata pengantar yang dituliskan oleh Suminto A. Sayuti, disebutkan bahwa Hasta sedang berupaya untuk mengaburkan batas antara fakta dan fiksi. Hal tersebut malah menjadikan perjalanan saya membaca buku ini menjadi lebih seru. Sebabnya saya berpikir setiap selesai membaca sebuah cerita, “hmm ini cerita nyata atau tidak ya? Kalau benar-benar nyata, bagaimana ya kalo beneran ada tokoh kayak gitu? Ah apa hanya fiksi ya?” sebelum akhirnya saya melanjutkan ke cerita berikutnya.

Hal menarik juga disampaikan oleh Suminto A. Sayuti:
“Bagi Hasta, “peristiwa yang terjadi itu menimpa siapa” merupakan pertanyaan yang lebih penting daripada sekadar “apa yang kemudian terjadi”. Itu mengapa cerpen-cerpen Hasta lebih sebagai cerpen tokohan daripada cerpen peristiwaan. Baginya, tokoh merupakan pemegang kunci paling menarik dalam sebuah cerita.

Kausalitas yang terjadi adalah banyaknya plot twist yang terjadi dalam ceritanya. Sepanjang mengikuti perjalanan tokoh-tokohnya, tak jarang saya membelalakkan mata, berkata “Wow”, atau tertawa di setiap kalimat akhir cerita karena seakan telah menemukan jawaban. Bagi para penggemar cerita dengan plot twist, Hasta mampu menghadirkannya untuk kalian dalam kehidupan seorang guru.

Salah satu plot twist favorit saya adalah dalam cerita “Dan Kini Aku pun Menjadi Tua”. Bercerita tentang seorang tokoh yang jatuh cinta pada seorang lelaki yang ternyata adalah saudara sepersusuannya sendiri sehingga menjadikan pernikahan diantara keduanya adalah haram. Tau-tau ternyata si lelaki malah menikah dengan kawan perempuannya yang sempat mencomblangkan mereka saat itu. Hingga di kalimat akhir kawannya mengatakan untuk menjodohkan anak lelakinya dengan anak perempuan si tokoh utama dan tokoh utama mengiyakan dalam hati “Kalau berjodoh, Amri dan Zahra akan kami nikahkan. Ya, setidaknya niatku dulu untuk bisa menikah dengan Sudar, suami Wening, tidak kesampaian-setidaknya biarlah anak kami yang menikah. Tuhan pasti menciptakan alur terbaik buat hamba-Nya.”

Hasta lihai memainkan tokoh-tokohnya dengan plot yang liar-meski tidak seliar cerita pendek Puthut EA atau Eka Kurniawan-dengan kalimat yang ringan dan lugas. Kebanyakan cerita kental dengan romansa-juga ironi kehidupan.

Cerita pendek yang panjang-seperti salah satu judul ceritanya-tepat merepresentasikan kumpulan kisah dalam buku ini. Mengantar pembaca pada kehidupan yang seakan baik-baik saja beriring dengan berbagai problema yang meronta dalam sunyi. Kumpulan cerita pendek “Bu Guru Cantik” ini pas dibaca dalam sekali duduk bagi kalian yang merindukan alur tak terduga sembari menyeruput kopi dan menghisap sebatang rokok. Selamat membaca!

Sabtu, 06 Juli 2019

Senyap yang Lebih Nyaring, Kumpulan Esai Eka Kurniawan



"Menjelajah Pikiran Dunia melalui Senyap yang Lebih Nyaring"

Membaca “Senyap yang Lebih Nyaring” seakan berkelana menikmati bacaan dari berbagai sudut negeri di dunia. Mulai dari karya tanah air, Filipina, Jepang, Spanyol, Argentina, Brazil, Inggris, Amerika, Turki, hingga Italia. Baru saja menyelesaikan sepertiga bukunya, saya bak telah mengenal penulis yang sebelumnya asing di telinga saya seperti Orhan Pamuk, Roberto Bolano, Cesar Aira, Marquiz de Sade, Faulkner, Mc Carthy, Haruki Murakami, Katabawa, Borges, Gabriel Garcia Marquez, dan sejumlah penulis lainnya. Tentu saja penulis ternama pun juga kerap muncul sebut saja William Shakespeare, Hemingway, Pramoedya Ananta Toer, Seno Gumira Ajidarma, dan Eka Kurniawan. Berbagai judul buku dan film juga disebutkan dalam kumpulan esai ini dan sungguh, saya jadi ingin menikmati semuanya. Begitulah kekuatan tulisan Bapak Eka hingga membuat mata saya berbinar-binar, senyum sendiri, tertawa kecil, mengangguk, menggeleng, dan berpikir sepanjang menghabiskan buku ini.

Buku ini berhasil menciptakan sudut pandang baru dalam dunia kepenulisan, seperti novel, esai, cerita pendek, dan khususnya sastra. Tidak membahas dari segi teori, namun lebih dalam dari itu. Dimulai dari hal yang sangat dasar seperti bagaimana cara menulis novel, bagaimana cara menerbitkan karya di sebuah media, kriteria sastra yang baik, apa saja yang dibaca oleh penulis hebat, hingga bagaimana menilai sebuah karya tanpa membacanya.Mungkin hal pertama yang terlintas akan judul tersebut adalah tulisan teoritis. Syukurlah, saya salah. Tulisan hingga 1000 kata Eka Kurniawan tak pernah berbicara seilmiah itu meski dengan segudang pengalaman dan ilmu yang ia miliki. Dengan gaya nyentriknya, tulisan singkat dalam buku ini tak pernah membosankan dan selalu berhasil menyampaikan maksudnya pada pembaca. 

Meski pada salah satu tulisannya ia berkata bahwa tak semua tulisan harus memiliki nilai moral untuk disampaikan, kalau penulis hanya ingin bersenang-senang menulis ceritanya, apakah sebuah pesan masih harus tetap ada di dalamnya? Toh itu karya mereka, bukan untuk menyenangkan kalian, tapi untuk menyenangkan dirinya sendiri.

Buku ini berisi 107 esai sejak 2012-2014 yang ditulis dalam blog pribadinya. Saya menobatkan kumpulan esai tahun 2013-nya adalah yang terbaik-yang lain sama pula baiknya. Bapak Eka mampu menuangkan pikiran berkelitnya dalam kumpulan kata yang sangat efektif-nan indah-namun tetap mengena. Masih menjadi cita-cita saya untuk mampu menulis seperti beliau-setidaknya setelah membaca buku ini.

Menamatkan buku 350 halaman ini membuat saya ingin segera menikmati karya sastra lainnya. Baik dalam negeri maupun luar negeri. Bapak Eka membuka mata hati saya untuk selalu terbuka pada tulisan siapapun-yang sebelumnya skeptis pada sastra luar negeri atau karya penulis tak dikenal. Dalam salah satu esainya ia menyiratkan untuk tidak membaca karya penulis terkenal saja, banyak penulis hebat di luar sana yang karyanya tidak terlalu laris di permukaan, namun berkualitas jauh lebih baik dari itu. Salah satu alasannya ternyata memang penulis-penulis senyap tersebut sengaja tidak memilih penerbit ternama, agar bukunya susah dicari dan hanya penikmat seni tulen yang akhirnya menyentuhnya.

Mencari kutipan bagus? Jangan takut kehabisan kutipan keren dalam tulisan Bapak Eka. Salah tiga yang menjadi favorit saya adalah tentang menciptakan ruang kosong dalam tulisan. Baginya, ruang kosong bukan hanya boleh, namun perlu untuk dimasukkan dalam sebuah cerita. Seperti tanda 0 dalam not musik, jeda dalam sebuah lagu merupakan bagian dari keindahan lagu itu sendiri. Pun dalam lukisan, ruang kosong yang tercipta dalam gambar juga bagian dari gambar itu sendiri. Sama seperti keseharian, manusia juga membutuhkan ruang kosong dalam dirinya. Untuk menghargai orang lain, untuk diisi dengan ilmu-ilmu baru, agar tidak selalu penuh dan menjadi jumawa. Juga ruang kosong dalam kesibukan kita, berilah sedikit jeda dalam setiap harimu. Agar bisa merenungkan hal baik apa yang sudah kita lakukan hari ini dan seberapa besar nikmat Tuhan yang selalu kita dapatkan setiap harinya? Percayalah, kita membutuhkan ruang kosong itu.

Dua kutipan berkelas lainnya:

“Kesadaran akan kerapuhan barangkali akan membuat kita rendah hati, bahwa segala sesuatu tak perlu diperlakukan berlebihan. Sebab segalanya akan mati, punah.”-Eka Kurniawan.
“Ada satu pertanyaan Candide yang sangat menohok di bagian ini: Bagaimana penduduk Eldorado berdoa kepada Tuhan? Jawaban mereka: “Kami tidak berdoa kepada Tuhan, sebab kami tak memiliki apa pun untuk diminta. Tuhan sudah memberikan semua yang kami butuhkan.” Tonjkankeras utuk kaum beragama, bukan? Bahwa orang-orang Eldorado ini, yang tak pernah berdoa, justru mengagungkan Tuhan seagung-agungnya sebagai “memberi semua yang kau butuhkan.”-Eka Kurniawan.
Sekali lagi, itu hanya opini saya. Seperti Bapak Eka bilang, bahwa selera setiap orang bisa berbeda, namun bagi penulis-tak hanya penulis-setiap orang harus belajar bertanggung jawab atas apa yang dikerjakan oleh otaknya-yang menjadi sumber berbagai perkataan, perbuatan, dan prasangka. Berpikir sebelum bertindak, bercakap, dan menilai. Semua orang dilahirkan dengan perasaan, bukan hanya anda saja. Maka sejatinya seni memahami orang lain itu prinsip utama dalam hidup-bagi saya.

Terima kasih Bapak Eka untuk kumpulan esai Senyap yang Lebih Nyaring ini. Berbagai pelajaran hidup sangat banyak saya dapatkan, lebih dari buku berlabel “pengembangan diri.” Tulisan Bapak Eka lainnya dapat dinikmati dalam jurnal pribadinya yang masih aktif hingga hari ini di ekakurniawan.com. Bagi yang sedang haus akan tulisan singkat namun menyenangkan-seperti naik roller coaster, buku ini menjadi rekomendasi saya di paruh tahun 2019 ini, selamat membaca!


Orang Baik

Powered By Blogger

Jejak Istimewa